Menuju konten utama

Menyusui Bukan Sekadar Perkara Menempelkan Payudara ke Mulut Bayi

Proses menyusui harus dipersiapkan sejak kehamilan karena masa-masa ini bisa lebih menguras fisik ketimbang saat persalinan.

Menyusui Bukan Sekadar Perkara Menempelkan Payudara ke Mulut Bayi
Ilustrasi ibu menyusui. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ketika perempuan hamil orang-orang di sekitarnya akan banyak bercerita tentang proses kelahiran yang begini dan begitu, merekomendasi bidan atau dokter yang bagus, dan memberi petuah-petuah jitu supaya melahirkan dengan nyaman.

Perempuan kebanjiran informasi tentang proses melahirkan, tapi mereka lupa bahkan tidak menyadari bahwa proses menyusui bisa jadi lebih menantang dibandingkan persalinan. Bahkan saking dianggap sebagai hal sepele, wejangan dari rekan atau kerabat soal beratnya masa menyusui bisa dibilang nihil.

Dulu saya juga berpikir bahwa menyusui adalah aktivitas alami, tak butuh keterampilan khusus, semua ibu otomatis bisa menyusui setelah melahirkan. Apa sulitnya menempelkan payudara ke mulut bayi?

Dugaan saya jelas salah besar. Layaknya pelajaran atau pekerjaan anyar, butuh adaptasi dan keterampilan yang terus diasah supaya mahir. Tak ada yang mudah dari rutinitas memberi makan bayi setiap 1-2 jam sekali.

Masa-masa ini membuat perempuan yang baru terlahir sebagai manusia baru bernama “ibu” harus kehilangan ratusan jam waktu tidur, merasakan puting lecet, berdarah, sampai pusing soal berat badan bayi yang stagnan. Belum lagi ditambah drama per-ASI-an dari orang tua hingga tetangga.

Semuanya sangat menguras fisik dan emosi. Meski begitu tetap saja informasi tentang seluk beluk menyusui tak banyak diangkat ke ruang publik. Bahkan di lingkup pengumpulan data, survei pemberian makan bayi dengan skala besar belum diperbaharui sejak sekitar satu dekade lalu (2010).

Responden dalam survei tersebut mengungkap kesulitan-kesulitan mereka semasa menyusui. Mayoritas (62 persen) mengeluhkan rasa nyeri di bagian puting atau payudara saat menyusui. Kejadian ini menimpa tiga dari lima ibu.

“Puting lecet, pecah, dan berdarah dialami 34 persen responden, puting sakit meski tidak luka sebanyak 26 persen responden, dan area payudara sakit dialami 31 persen responden,” demikian ungkap survei tersebut.

Pada masa awal menyusui, saya sampai harus menggigit kain untuk menahan rasa sakit saat menyusui. Jika sulit membayangkan, saya beri gambaran sederhana: sakitnya melebihi luka robek yang terkena air garam dan tergesek secara bersamaan.

Menyusui: Masa-Masa Rentan Terserang Depresi

Sekitar sebulan lalu ketika saya membagikan pengalaman menyusui secara terbuka di media sosial, seorang ibu mengirimkan pesan lewat akun media sosial. Ia menanyakan perihal cara mengatasi puting melesak (inverted nipple) supaya bisa sukses menyusui.

Kondisi ini terjadi ketika puting payudara masuk ke dalam, dialami oleh 9-10 persen perempuan. Ibu S sudah tiga bulan memberikan ASI lewat botol, ia belum berhasil menyusui langsung lantaran bayinya sulit melakukan perlekatan mulut dengan payudara.

Di kotanya, Palembang, tak ada dokter konselor laktasi, sehingga ia hanya bisa mencurahkan permasalahannya ke dokter anak dan bidan. Kedua tenaga kesehatan itu hanya bilang bahwa S punya sedikit saluran susu, sehingga ASI-nya tidak lancar.

“Saya down, stres, menyerah, dan akhirnya memberi anak saya dot. ASI dikombinasikan sufor karena diperah lama-lama jadi sedikit,” cerita S kala itu.

Perjuangannya semakin payah lantaran bayinya mengalami lip tie dan tongue tie. Kondisi ketika bawah lidah dan bibir rahang memiliki selaput yang mengganggu pergerakan lidah dan bibir, sehingga menyulitkan bayi untuk mengisap dan menempel sempurna pada payudara.

Pengalaman negatif terhadap proses menyusui membuat S terserang depresi. Ia menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuan menyusui, berpikir bahwa dirinya tidak berusaha cukup keras, dan telah gagal menjadi ibu. Untungnya 3 bulan setelahnya ia berhasil relaktasi dengan bantuan konselor laktasi.

Infografik Sulitnya Masa Menyusui

Infografik Sulitnya Masa Menyusui. tirto.id/Rangga

Kondisi putus menyusui sudah lama dikaitkan dengan faktor risiko kecemasan dan depresi. Keduanya punya hubungan timbal balik, semakin cepat periode putus menyusui, maka risiko depresi pascapersalinan (PPD) semakin besar. Sementara depresi pada ibu menyusui dapat menghambat produksi ASI.

“Perempuan dengan pengalaman menyusui negatif dan rasa sakit parah saat menyusui berpeluang besar mengalami depresi pada dua bulan pertama pascapersalinan,” ungkap sebuah penelitian pada lebih 2.500 perempuan menyusui yang terbit di jurnal Obstetrics and Gynecology (2011).

Minggu-minggu pertama setelah melahirkan merupakan masa kritis bagi ibu dan bayi. Studi tersebut mengungkap banyak perempuan menderita kegagalan laktasi dan PPD. Bahkan 8,6 persen responden mereka masuk dalam kriteria depresi berat.

Secara global PPD terjadi pada sekitar 1 dari 7 perempuan dalam tahun pertama setelah melahirkan. Gejalanya ditandai dengan perasaan sedih terus menerus, merasa tidak berharga, dan putus asa.

Sebuah studi keterkaitan antara aktivitas menyusui dengan depresi mengungkap sekitar 50 persen perempuan dalam sampel mengalami depresi berat selama satu tahun pascapersalinan. Sementara 30 persen lainnya mengalami PPD hingga dua tahun pascapersalinan.

Begitu beratnya proses dan tantangan menyusui, seharusnya promosi menyusui dibuat lebih realisitis: Memuat informasi jujur ​​​​tentang betapa sulitnya menyusui, informasi pertumbuhan bayi, dan frekuensi menyusui, sehingga para ibu bisa membuat keputusan tepat tentang proses menyusui.

Selain persiapan persalinan, sudah saatnya persiapan menyusui masuk dalam daftar perencanaan kehamilan. Tujuannya jelas sebagai upaya preventif menghindari pengalaman negatif menyusui dan PPD.

Perlu minimal 7 kontak dengan konselor laktasi untuk meningkatkan peluang keberhasilan menyusui ekslusif selama 6 bulan, dilanjutkan 2 tahun. Dua kunjungan sebelum proses kelahiran untuk membahas manfaat, manajemen, dan persiapan menyusui.

Kontak selanjutnya dilakukan sesaat setelah kelahiran dengan melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Kemudian kontak keempat dilakukan dalam 24 jam berupa bimbingan posisi menyusui dan perlekatan mulut bayi ke payudara.

Kontak kelima dilakukan dalam 1 minggu kelahiran sebagai bentuk dukungan menyusui. Dua kontak terakhir dilakukan 1 dan 2 bulan setelah kelahiran.

Ingat bahwa semua anak berhak memiliki ibu yang sehat, dan semua ibu berhak dapat kesempatan menikmati hidup mereka. Jika Anda merasa tertekan selama proses menyusui, segara cari pertolongan dan berkunjung ke konselor laktasi.

Baca juga artikel terkait MENYUSUI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Irfan Teguh Pribadi