tirto.id - Coba kamu perhatikan, ketika kamu atau temanmu sedang hamil, apa saja topik yang dibahas oleh orang-orang di sekitar kalian?
Lazimnya, orang-orang akan banyak bercerita tentang proses kelahiran yang begini dan begitu, merekomendasikan bidan atau dokter yang bagus, dan memberikan petuah-petuah jitu agar kamu dapat melahirkan dengan nyaman.
Terlebih pada era kemudahan akses berita melalui sentuhan layar smartphone, kita kebanjiran informasi tentang proses melahirkan. Seiring itu, tak sedikit dari kita yang lupa, atau mungkin tidak menyadari, bahwa proses menyusui bisa jadi lebih menantang dibandingkan persalinan.
Bahkan, karena dianggap terlampau sepele, wejangan dari rekan atau kerabat soal tantangan semasa menyusui bisa dibilang nihil.
Aku pun dulu pernah juga berpikir bahwa menyusui adalah aktivitas alamiah. Tak butuh keterampilan khusus, semua ibu otomatis dapat menyusui setelah melahirkan. Apa sulitnya menempelkan payudara ke mulut bayi?
Oh, dugaanku jelas salah besar.
Tidak ada yang mudah dari rutinitas memberi makan bayi setiap satu-dua jam sekali.
Masa-masa pascapersalinan membuat perempuan yang baru memulai peran sebagai “ibu” harus kehilangan ratusan jam waktu tidur, merasakan puting lecet, berdarah, sampai pusing soal berat badan bayi yang stagnan. Belum lagi dipusingkan dengan "drama" per-ASI-an dari orang tua hingga tetangga.
Semua sangat menguras fisik dan emosi. Meski begitu, tetap saja informasi tentang seluk beluk menyusui tak banyak diangkat ke ruang publik. Di lingkup pengumpulan data, survei pemberian makan bayi dengan skala besar belum diperbaharui sejak sekitar satu dekade lalu (2010).
Responden dalam survei tersebut mengungkap kesulitan-kesulitan mereka semasa menyusui. Mayoritas (62 persen) mengeluhkan rasa nyeri di bagian puting atau payudara saat menyusui. Kejadian ini menimpa tiga dari lima ibu.
“Puting lecet, pecah, dan berdarah dialami 34 persen responden, puting sakit meski tidak luka sebanyak 26 persen responden, dan area payudara sakit dialami 31 persen responden,” demikian ungkap survei tersebut.
Pada masa awal menyusui, aku sampai harus menggigit kain untuk menahan rasa sakit saat menyusui.
Jika sulit membayangkan, begini gambaran sederhananya: sakitnya melebihi luka robek yang terkena air garam dan tergesek secara bersamaan.
Menyusui: Masa-Masa Rentan Terserang Depresi
Aku pernah membagikan pengalamanku menyusui secara terbuka di media sosial. Tak lama kemudian, seorang ibu, sebut saja S, mengirimkan pesan. Ia bertanya perihal cara mengatasi puting melesak (inverted nipple) supaya bisa sukses menyusui.
Kondisi ini terjadi ketika puting payudara masuk ke dalam. Sekitar 9-10 persen perempuan mengalaminya.
Ibu S sudah tiga bulan memberikan ASI lewat botol. Ia belum berhasil menyusui langsung lantaran bayinya sulit melakukan perlekatan mulut dengan payudara.
Di kotanya, Palembang, tak ada dokter konselor laktasi, sehingga ia hanya bisa mencurahkan permasalahannya ke dokter anak dan bidan. Kedua tenaga kesehatan itu hanya bilang bahwa S punya sedikit saluran susu, sehingga ASI-nya tidak lancar.
“Saya down, stres, menyerah, dan akhirnya memberi anak saya dot. ASI dikombinasikan sufor karena diperah lama-lama jadi sedikit,” cerita S kala itu.
Perjuangannya semakin payah lantaran bayinya mengalami lip tie dan tongue tie—kondisi bawah lidah dan bibir rahang memiliki selaput yang mengganggu pergerakan lidah dan bibir. Akibatnya, bayi jadi kesulitan untuk mengisap dan menempel sempurna pada payudara.
Kabar baiknya, tiga bulan kemudian, S berhasil relaktasi dengan bantuan konselor laktasi.
Kondisi putus menyusui sudah lama dikaitkan dengan faktor risiko kecemasan dan depresi. Keduanya punya hubungan timbal balik: semakin cepat periode putus menyusui, maka risiko depresi pascapersalinan (PPD) semakin besar. Sementara itu, depresi pada ibu menyusui dapat menghambat produksi ASI.
Minggu-minggu pertama setelah melahirkan merupakan masa kritis bagi ibu dan bayi. Studi tersebut mengungkap banyak perempuan menderita kegagalan laktasi dan PPD. Bahkan 8,6 persen responden mereka masuk dalam kriteria depresi berat.
Secara global, PPD terjadi pada sekitar satu dari tujuh perempuan dalam tahun pertama setelah melahirkan. Gejalanya ditandai dengan perasaan sedih terus-menerus, merasa tidak berharga, dan putus asa.
Menurut studi tentang keterkaitan antara aktivitas menyusui dengan depresi yang terbit di jurnal Depression Research and Treatment (2016), sekitar 50 persen perempuan dalam sampel mengalami depresi berat selama satu tahun pascapersalinan. Sementara 30 persen lainnya mengalami PPD hingga dua tahun pascapersalinan.
Tak bisa dimungkiri, proses dan tantangan menyusui sangatlah berat. Maka seharusnya promosi menyusui dibuat lebih realisitis: memuat informasi jujur tentang betapa sulitnya menyusui, informasi pertumbuhan bayi, dan frekuensi menyusui, sehingga ibu-ibu bisa membuat keputusan tepat tentang proses menyusui.
Selain persiapan persalinan, sudah saatnya persiapan menyusui masuk dalam daftar perencanaan kehamilan. Tujuannya jelas, sebagai upaya preventif untuk menghindari pengalaman negatif menyusui dan PPD.
Dua kunjungan pertama dilakukan sebelum proses kelahiran untuk membahas manfaat, manajemen, dan persiapan menyusui.
Kontak selanjutnya dilakukan sesaat setelah kelahiran dengan melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Kemudian kontak keempat dilakukan dalam 24 jam berupa bimbingan posisi menyusui dan perlekatan mulut bayi ke payudara.
Kontak kelima dilakukan dalam satu minggu kelahiran sebagai bentuk dukungan menyusui, kemudian dua kontak terakhir dilakukan satu dan dua bulan setelah kelahiran.
Jika kamu merasa tertekan selama proses menyusui, segara cari pertolongan dan berkunjung ke konselor laktasi, ya!
* Artikel ini pernah tayang di tirto.idpada 15 Desember 2021. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk keperluan redaksional Diajeng.
Editor: Irfan Teguh Pribadi & Sekar Kinasih