tirto.id - Rabu (27/3/19) lalu, seorang perempuan di Purwakarta mengubur bayi kandungnya hidup-hidup. Seperti dikabarkan Pikiran Rakyat, bayi berusia lima bulan tersebut dikubur oleh ibunya di tanah sedalam 30 sentimeter.
Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika meyakini tindakan sang ibu dipicu faktor kejiwaan setelah melahirkan anaknya—sebuah gejala yang lazim disebut sebagai sindrom baby blues. “Kejadian ini harus jadi peringatan semuanya dan kejadian ini baru pertama kali di Purwakarta,” kata Anne dilansir Pikiran Rakyat.
Sebelumnya, Kapolsek Kiarapedes Toto Herman Permana mengatakan bahwa ibu sang bayi telah mengalami depresi sejak usia kandungan tujuh bulan. “Dugaan awal pelaku mengalami depresi,” ujar Toto dikutip Detik.
Beda Sindrom Baby Blues dan Postpartum Depression (PPD)
Tak banyak orang yang mengerti bahwa sindrom baby blues dan postpartum depression atau depresi pasca-melahirkan (PPD) adalah dua hal yang berbeda. Seperti dijelaskan dalam artikel yang dipublikasikan oleh National Institute of Mental Health (NIH) di Amerika Serikat, baby blues merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan perasaan khawatir, tidak bahagia, dan kelelahan yang dialami banyak perempuan setelah melahirkan.
Baby blues muncul dari kekhawatiran seorang ibu dan merupakan sesuatu yang wajar, sebab bayi yang bayi yang baru lahir membutuhkan perawatan ekstra. Namun, sindrom ini biasanya hanya bertahan selama satu hingga dua minggu, sehingga ibu yang mengalami gejala ini tak memerlukan perawatan serius.
Berbeda dengan depresi pasca-persalinan, perasaan sedih dan cemas yang dialami oleh ibu melahirkan menjadi ekstrem sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari. Depresi yang muncul juga bisa mengakibatkan sang ibu tak mampu merawat dirinya sendiri dan berdampak pada aktivitas sosial mereka.
Penyebab PPD tidak tunggal. Sangat mungkin kemunculan PPD disebabkan perpaduan antara faktor fisik dan emosional sang ibu. Salah satu kemungkinannya adalah kadar hormon esterogen dan progesteron dalam tubuh perempuan yang turun dengan cepat setelah melahirkan.
Inilah yang memicu perubahan kimia di otak sehingga suasana hati sang ibu berubah. Apalagi setelah melahirkan, waktu istirahat sang ibu menjadi berkurang, padahal mereka belum sepenuhnya pulih. Sangat mungkin faktor ini membuat perempuan pasca-melahirkan lelah dan mendorong gejala depresi.
Kejadian Depresi Pasca-Melahirkan
Michael W. O’Hara dari University of Iowa dalam artikelnya “Postpartum Depression: What We Know” (2009) yang dimuat di Journal of Clinical Psychology menyebutkan bahwa sebanyak 7,1 persen perempuan memiliki kemungkinan episode depresi berat pada tiga bulan pertama setelah melahirkan, sedangkan kemungkinan terjadinya depresi ringan sebesar 19,2 persen.
Artikel yang dipublikasikan oleh O’Hara sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Andrea Lanes, bersama dua orang kawannya. Pada studi bertajuk “Prevalence and characteristic of Postpartum Depression symptomatology among Canadian women: a cross-sectional study” (PDF, 2011) tersebut, mereka hendak melihat prevalensi dan karakteristik gejala depresi pasca-persalinan pada perempuan di Kanada.
Dalam penelitian ini mereka memperoleh data dari 6.421 perempuan yang menanggapi Maternity Experince Survey (MES). Survei ini dilakukan pada periode 23 Oktober 2006 hingga 31 Januari 2007, dengan komponen penelitian seperti pengalaman kehamilan, persalinan, dan pasca-melahirkan.
Untuk menilai hasil surveinya, Lanes, dkk menggunakan skor berdasarkan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), sebuah alat screening untuk mendeteksi gejala PPD. Variabel gejala depresi yang mereka tangkap pun tak terbatas pada perasaan cemas, gangguan tidur, “penolakan” terhadap bayi, mudah marah, dan kelelahan.
Selain itu, mereka juga menyelidiki latar belakang sang ibu, karakteristik pribadi, tingkat konsumsi obat-obatan anti-depresan, hingga tingkat stres selama kehamilan.
Hasil studi tersebut menunjukkan 8,46 persen responden mengalami gejala depresi minor atau ringan, dan 8,69 persen responden mengalami depresi mayor atau berat. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah tingkat stres, ketersediaan dukungan setelah kehamilan, dan diagnosis depresi sebelumnya.
Hasil tersebut tak berbeda jauh dengan studi berjudul “Prevalence of postpartum depression and interventions utilized for its management” (PDF, 2018) yang dilakukan oleh Reindolf Anokye dengan tiga peneliti lainnya. Anokye, dkk menemukan bahwa 7 persen dari 257 perempuan yang mereka survei mengalami PPD dalam taraf ringan hingga berat.
Di Indonesia, Sri Idaiani dan Bastaman Basuki juga pernah melakukan studi serupa (PDF). Mereka melakukan penelitian terhadap 18.937 perempuan yang sudah menikah pada usia 10 hingga 59 tahun. Riset dilakukan sejak 1 Januari 2015 hingga 31 Agustus 2010.
Hasilnya, 2,32% perempuan mengalami depresi pasca-melahirkan. Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan depresi adalah ukuran bayi yang dilahirkan dan komplikasi pasca-persalinan.
Depresi dan Dampak Bagi Ibu dan Bayi
Perubahan suasana hati pada ibu setelah melahirkan tak hanya berdampak pada interaksi sosial mereka. Situs Mayoclinic pernah mempublikasikan dampak dari depresi ini. Banyak orang malu untuk mengakui gejala depresi yang mereka alami, apalagi jika ada kemungkinan dihakimi secara sosial.
Padahal, gejala ini bisa membuat sang ibu kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka sehari-hari. Tak jarang muncul pula pemikiran untuk melukai diri sendiri hingga bunuh diri.
Muray dan Cooper mengatakan bahwa peningkatan depresi pada ibu bisa berpengaruh pada perkembangan mental dan motorik bayi. Mereka yang memiliki ibu penderita PPD biasanya akan mengalami kegagalan pada Tahap V dari Tugas Konsep Objek Piaget, sebuah teori tentang intepretasi anak terhadap kejadian di sekitar mereka.
Tak hanya itu, perkembangan mental bayi pun bisa terganggu jika ibu mengalami PPD, sebab mereka memiliki interaksi yang rumit dengan sang bunda akibat riwayat kondisi mental tersebut.
Dalam hal emosi, bayi dengan orangtua depresi akan mengalami tingkat interaksi dan konsentrasi yang rendah, serta respons yang kurang baik. Umumnya mereka menjadi susah bergaul dengan orang lain.
Psikolog Klinis Nirmala Ika tak menampik jika depresi tersebut bisa berdampak pada sang buah hati. Nirmala pun menganjurkan kepada ibu melahirkan yang mengalami mood swing dalam periode yang panjang untuk berkonsultasi. Apalagi jika perubahan emosional tersebut menyebabkan bunda berjarak dengan lingkungan sosialnya.
“Tapi baby blues itu mestinya tidak berlangsung lama dengan berjalannya waktu. Ketika kita bisa kembali menata ritme kita, itu akan hilang. Nah, kalau PPD itu lebih lama, jadi setelah lebih dari itu gejalanya masih ada, gejalanya bukannya berkurang tapi makin meningkat karena, kan, harusnya dengan berjalannya waktu itu jadi berkurang,” ujar Nirmala kepada Tirto.
Nirmala khawatir, jika ibu yang mengalami depresi setelah melahirkan tak segera mendapat bantuan, mereka akan mengalami psikosis postpartum.
“Nah, pada kasus yang sampai ke gangguan mental itu sampai psikosis post-partum itu mungkin sampai muncul gejala seperti paranoid, halusinasi, sehingga mungkin muncul dorongan untuk juga membunuh atau menghilangkan anak,” ungkap Nirmala.
Oleh sebab itu, Nirmala menganjurkan orang (khususnya sang ayah) agar peduli terhadap perempuan yang baru melahirkan. Mereka pun diminta oleh Nirmala untuk lebih peka dengan emosi sang istri, terlebih jika sang bunda memiliki riwayat depresi.
Meski begitu, Nirmala tak menyarankan mereka untuk menjauhkan sang anak dengan ibu, sebab ikatan yang terbentuk dari bayi yang baru lahir berawal dari ibu.
“Kalau orang biasa melihat anak kecil itu, kan, kayaknya rentan banget, takut nyakitin dia. Nah, kalau ada orang lain bisa ada teman cerita, teman sharing, itu membantu kita jadi lebih rileks, jadi enggak panik sendiri. Jadi pelan-pelan membantu ritme,” tandasnya.
Editor: Windu Jusuf