tirto.id - Kamis, 12 September 2024, barangkali tercatat sebagai salah satu malam jahanam di Kota Baru, Ternate Tengah, Maluku Utara. Seorang anak perempuan berinisial MH (13), dibakar ayahnya sendiri. Iwan Hasan (44), pelaku sekaligus ayah korban, kesal sebab MH pergi dari rumah pada dini hari tanpa sepengetahuannya.
Setelah dirawat dua pekan di rumah sakit, nyawa MH tak tertolong. Korban meninggal karena luka bakar 80 persen di sekujur tubuhnya. Sementara Iwan, dijerat UU Perlindungan Anak dan mendapat ancaman 10 tahun penjara atas perbuatan kejinya.
Kejadian nahas yang menimpa MH menambah daftar panjang kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tua sendiri atau filisida. Sayangnya, kejadian filisida di Indonesia terus terjadi dan masih belum mendapat perhatian serius.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, merasa kasus filisida di Indonesia semakin meresahkan. Menurut catatan Diyah, sedikitnya sudah terjadi 8 kasus filisida sepanjang Agustus-September 2024.
Selama bulan ini saja, kata Diyah, sudah ada 4 kasus orang tua membunuh anak. Di Kediri, seorang ibu membunuh dua oanaknya pada 4 September 2024. Kemudian seorang balita usia 14 bulan dibunuh oleh orang tua angkatnya di Bandung dan jasadnya dimasukkan ke dalam ember cat pada 9 September 2024.
Lalu kasus MH (13) dibunuh ayahnya di Maluku Utara pada Kamis, 12 September 2024. Teranyar, seorang ibu membunuh bayinya yang masih berusia 18 hari di Sumatra Utara, Senin, 23 September 2024.
“Di bulan Agustus 2024 juga terdapat 4 kasus orang tua membunuh anaknya di Purwakarta, Kediri, Pontianak, hingga Bengkalis. Sungguh memprihatinkan,” ujar Diyah kepada Tirto, Jumat (27/9/2024).
Fenomena orang tua atau orang terdekat membunuh anaknya disebut dengan filicide atau filisida. Pembunuhan dalam filisida dilakukan dengan sengaja. Kata filicide berasal dari kata Latin filius dan filia (“anak laki-laki” dan “anak perempuan”) dan akhiran -cide, dari kata caedere yang berarti “membunuh”.
Menurut Diyah, filisida adalah kasus pembunuhan yang paling miris dan menyedihkan. Filisida sengaja dilakukan oleh orang tua kandung maupun orang tua tiri. Dalam lingkung kekerasan fisik, filisida termasuk dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan anak sebagai korban.
Pola pembunuhan anak, kata Diyah, berbeda dengan pola pembunuhan untuk semua usia. Bayi yang dibunuh pada 24 jam pertama kelahiran, hampir mayoritas dibunuh oleh ibunya dengan jumlah sama antara anak laki-laki dan perempuan. Untuk bayi dan anak-anak yang dibunuh setelah tahun pertama, sedikit lebih banyak pelakunya adalah orang tua laki-laki daripada perempuan.
“Saya sedih sekali kejadian seperti ini erulang lagi, ini jelas filisida,” kata Diyah saat menanggapi kasus yang menimpa MH.
Menurut catatan Pusdatin KPAI, kasus-kasus pembunuhan yang menimpa anak pada tahun 2023 menunjukkan bahwa terlapor (pelaku) paling banyak adalah ayah kandung dengan 38 kasus.
Sementara dilansir dari Harian Kompas, sebanyak 30,3 persen anak-anak korban pembunuhan meninggal di tangan orang tua. Tim Jurnalisme Data Kompas mencatat, sebanyak 54,5 persen korban pembunuhan adalah anak laki-laki.
Sementara pelakunya sebanyak 84,85 juga dilakukan laki-laki. Data ini merujuk pada analisis 1.113 putusan pengadilan tingkat pertama kasus-kasus pembunuhan periode 2022-2024.
Faktor Terjadinya Filisida
Diyah menjelaskan, setidaknya ada lima motif terjadinya filisida merujuk tulisan Resnick (2016). Pertama, altruistic filicide, pembunuhan terhadap anak dengan motif mencegah penderitaan buah hati. Kedua, acute psychotic filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak oleh orang tua yang menderita gangguan psikotik tanpa motif yang jelas dan disertai dengan gejala delusi atau halusinasi.
Ditambah, unwanted child filicide, pembunuhan terhadap anak yang tidak dikehendaki lahir. Keempat, child maltreatment filicide, pembunuhan anak yang terjadi karena penganiayaan secara fatal. Terakhir, spousal revenge filicide, yaitu pembunuhan terhadap anak sebagai bentuk balas dendam.
Faktor perbuatan filisida atau orang tua membunuh anak sendiri, juga bermacam-macam. Misalnya kesehatan mental orang tua, emosional, komunikasi keluarga yang buruk, hingga KDRT.
“Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah faktor yang sering muncul menjadi penyebab filicide, terkadang ibu sampai membunuh anak karena pernah mengalami KDRT oleh suaminya,” ujar Diyah.
Selain itu, filisida juga dapat dipicu karena persoalan ekonomi, kurang dukungan sosial, pengawasan lemah, lingkungan yang bermasalah, perkawinan anak, dan masalah adaptasi orang tua baru.
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menyatakan hubungan sosial yang memburuk dan dukungan yang minim, dapat membuat orang dewasa merasa terisolasi dan kehilangan kontrol emosional. Kondisi ini tentu dapat berbahaya bagi anak ketika orang tua mulai meluapkan emosinya kepada si buah hati.
“Di beberapa kasus, faktor utama bisa mencakup tekanan ekstrem seperti stres finansial, konflik rumah tangga, dan gangguan psikologis seperti depresi berat atau psikosis,” ujar Wawan kepada Tirto, Jumat.
Di sisi lain, Wawan memandang maraknya kasus filisida yang terjadi belakangan juga menandakan gejala sosial yang lebih besar di masyarakat. Kasus filisida, kata dia, mungkin mencerminkan perubahan sosial seperti meningkatnya ketegangan ekonomi, isolasi sosial, dan lemahnya dukungan dari komunitas.
Faktor-faktor tersebut dapat memicu stres kronis dan memperburuk kesehatan mental yang menjadi pemicu perilaku ekstrem seperti kekerasan dalam rumah tangga.
Wawan berujar, masyarakat perlu mengenali gejala-gejala seperti isolasi sosial, konflik yang meningkat, dan perubahan drastis dalam perilaku keluarga atau di lingkungan sekitar yang menjadi tanda KDRT. Masyarakat bisa berperan dengan mendeteksi tanda-tanda tersebut dan memberikan dukungan.
“Menghubungkan keluarga dengan layanan profesional, atau melaporkan ke otoritas terkait jika diperlukan,” ucap Wawan.
Sementara bagi orang tua, akses ke dukungan atau layanan psikologis seperti konseling, pelatihan pengelolaan emosi, maupun ikut komunitas yang positif, akan membantu menjaga temperamen stabil. Intervensi dini seperti bantuan untuk masalah keluarga dan dukungan sosial juga berperan penting mencegah eskalasi stres menjadi tindakan kekerasan.
“Namun, karena pemerintah belum menyediakan hal itu secara memadai, dukungan komunitas atau keluarga akan menjadi sangat penting dalam membangun kondisi mental yang lebih baik,” ujar Wawan.
Sementara itu, Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, menyatakan gejala psikologis pada sosial masyarakat yang saat ini dapat diobservasi adalah meningkatnya jumlah masyarakat yang alami gangguan kesehatan mental seperti depresi, karena frustasi dan putus asa terhadap keadaan hidup. Menurut data yang dimuat Kementerian Kesehatan pada 2013, sekitar 9 juta penduduk Indonesia mengalami depresi.
Berdasarkan beberapa hasil riset, kata Dewi, filisida atau kejahatan membunuh anak dapat disebabkan oleh praktik dan keyakinan budaya zaman dahulu. Motif awal fenomena filisida dilakukan untuk mengendalikan jumlah anggota keluarga dan menyingkirkan anak lemah, disabilitas, tidak sah, hingga membatasi jumlah perempuan.
“Relevan dan masih digunakan sebagai petunjuk forensik dalam mencari motif [filisida] seperti anak yang dilahirkan disabilitas, berasal dari hubungan yang tidak sah, penggunaan zat adiktif, ketidakstabilan emosi orang tua yang dapat berasal dari KDRT,” kata Dewi kepada Tirto, Jumat.
Filisida memang banyak muncul berawal dari terjadinya KDRT. Dewi menyatakan, orang tua sering mengalami situasi trial-error dalam menghadapi anak. Ada kalanya orang tua di suatu episode menghadapi situasi kekhilafan yang terjadi karena adanya trauma masa lalu yang muncul dan dilampiaskan kepada anak.
Sebagian besar orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak, kata Dewi, terjadi karena mereka tidak menyadari luka masa lampau yang belum selesai.
Orang tua harus sadar, perlakuan hukuman fisik dan emosional berlebihan kepada anak dapat menandakan beban trauma yang seharusnya disembuhkan. Dalam membangun stabilitas emosional dan mental yang sehat, orang tua bisa memberikan pendisiplinan yang wajar dan tepat terhadap perilaku anak.
“Pendisiplinan perilaku kepada anak dapat juga menjadi bentuk perlakuan yang tepat dalam menstabilkan emosi orang tua,” ucap Dewi.
Menangani Filisida
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, mengatakan pelaku filisida sebaiknya selain ditahan secara hukum, juga perlu mendapatkan pendampingan psikologis. Terutama maternal filicide atau pelakunya ibu kandung atau ibu tiri.
Dalam kasus filisida, selain tuntutan KUHP, pelaku perlu dijerat Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak serta Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
“Jika terdapat unsur kekerasan seksual sebelum anak diakhiri hidupnya, maka ditambahkan tuntutan Undang-undang No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan penambahan pelanggaran peraturan lainnya yang sejenis,” tegas Diyah.
Jika pelaku adalah orang tua, maka sesuai aturan UU Perlindungan Anak, pelaku diperberat sepertiga hukuman. Sayangnya, Diyah memandang kasus filisida yang dilaporkan mungkin ibarat fenomena gunung es. Atau mungkin baru terlapor karena anak korban jelas penyebab kematiannya dibunuh orang tua.
Padahal, perlu diwaspadai bentuk filisida halus lainnya yang bisa jadi pun dilakukan oleh orang tua kepada anak dengan cara yang tidak ekstrem, seperti memberi racun atau bentuk lainnya yang tersembunyi.
“Perlu menjadi perhatian bagi masyarakat, jika ada anak yang meninggal tidak wajar dengan tiba-tiba tanpa riwayat sakit ataupun gejala lainnya ditambah temperamen orang tua, maka sekiranya tetap membawa anak ke rumah sakit untuk diperiksa penyebab kematiannya,” pesan Diyah.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) Kementerian PPPA, Nahar, menyampaikan bahwa kasus pembunuhan anak atau filisida di Indonesia merupakan isu serius yang tengah mendapat perhatian. Nahar mengakui data yang terlaporkan juga masih minim, sebatas laporan masyarakat, pemberitaan media dan tercatat di beberapa lembaga.
Menurut Nahar, stigma sosial, takut prosedur hukum, dan kurangnya kesadaran pentingnya pelaporan kasus kekerasan anak, bisa menjadi alasan filisida tidak terlaporkan.
“Masalah ini merupakan masalah yang kompleks, tidak hanya masalah hukum, tapi juga masalah sosial,” kata Nahar kepada Tirto, Jumat.
Menangani filisida, kata dia, perlu dilakukan dengan pendekatan komprehensif yang meliputi pencegahan, penegakan hukum, hingga perlindungan dan dukungan terhadap korban filisida. Perlindungan bagi korban termasuk pada anak yang selamat dan dukungan bagi keluarga yang terlibat.
Masyarakat diminta lebih menyadari akan bahaya filisida dan pentingnya melaporkan kasus tersebut. Kampanye sosialisasi dan edukasi dipandang Nahar dapat menjadi langkah awal.
“Perlu adanya mekanisme pelaporan yang lebih mudah dan aman bagi masyarakat. Selain itu, perlu juga peningkatan kapasitas petugas dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak,” terang Nahar.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi