Menuju konten utama
Mesin Waktu

Inovasi Ketahanan Pangan Berbasis Singkong di Kampung Cireundeu

Masyarakat Kampung Cireundeu membuktikan, makanan pokok tak mululu nasi. Mereka menikmati kehidupan sarat makna dengan tradisi dan bahan pangan singkong.

Inovasi Ketahanan Pangan Berbasis Singkong di Kampung Cireundeu
Kelompok ibu-ibu yang berperan di balik dapur inovasi produk pangan singkong khas Kampung Adat Cireundeu. (Foto: Dini Putri Rahmayanti/Tirto.id)

tirto.id - Tulisan Wilujeung Sumping di Kampung Cireundeu dilengkapi dengan aksara hanacaraka akan menyambut setiap wisatawan yang tiba di gerbang Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat.

Di sana terdapat peta sederhana berlatar hitam dengan ikon khas seperti gunung menunjukkan rute jalan menuju berbagai destinasi di kampung adat tersebut. Tak luput pula dari pandangan sebuah monumen Meriam Sapu Jagat yang menjadi simbol kebanggaan masyarakat sebagai Satria Pengawal Bumi Parahyangan.

Berada di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut, Kampung Cireundeu menawarkan pemandangan asri dan udara sejuk. Nama kampung ini diambil dari pohon reundeu, tanaman herbal yang banyak tumbuh di kawasan tersebut.

Berdiri sejak 1700-an, kampung ini membentang seluas 64 hektare. Sebagian besar areanya dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk bertani dan dirawat menjadi hutan adat, dengan luas total 60 hektare. Hutan rimbun tersebut berfungsi menampung air alami bagi penduduk yang berjumlah sekitar 1.200 jiwa.

Cireundeu tidak hanya memikat dengan keindahan alamnya, tetapi juga melalui tradisi uniknya. Salah satu yang paling menarik perhatian adalah konsumsi rasi, nasi berbahan dasar singkong yang telah menjadi makanan pokok masyarakat sejak 1924.

Filosofi hidup masyarakat Cireundeu yang terinspirasi dari petuah leluhur diturunkan hingga ke anak cucunya saat ini, bahkan untuk hal paling mendasar: urusan perut. Pegangan hidup yang diwariskan tersebut menggambarkan bahwa keberlangsungan hidup lebih penting dari sekadar materi.

Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare, Teu nanaon teu boga pare gi asal boga beas, Teu nanaon teu boga beas ge asal bisa ngejo, Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu, Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup.”

Tidak apa-apa walau tidak memiliki ladang yang penting punya padi. Tidak apa-apa walau tidak punya padi asal punya beras. Tidak apa-apa walau tidak punya beras, asal bisa menanak nasi. Tidak apa-apa walau tidak bisa menanak nasi asal bisa makan. Tidak apa-apa walau tidak bisa makan asal bisa hidup.

Inovasi Ketahanan Pangan Berbasis Singkong

Produk-produk kuliner khas Kampung Adat Cireundeu. (Foto: Dini Putri Rahmayanti/Tirto.id)

Inovasi Produk Kuliner Berbasis Singkong

Di tangan Neneng (43), salah satu warga Cireundeu, singkong bukan hanya menjadi bahan pangan utama, tetapi juga bahan dasar berbagai inovasi kuliner. Awalnya, pada 2010, inspirasi datang dari Ina Cookies yang meminta warga setempat menciptakan kue berbahan singkong.

Untuk menopang usaha ini, Neneng merangkul kelompok ibu-ibu yang mengolah singkong menjadi beragam makanan khas, seperti opak, cireng, dan dendeng kulit singkong. Saat ini, produknya bertransformasi menjadi lebih beragam, mulai dari kue kering, egg roll, keripik cireng, hingga makanan kekinian lainnya.

“Kami mulai dari peuyeum dan awug, lalu berinovasi membuat egg roll dan kue kering lainnya,” cerita Neneng, saat ditemui oleh Tirto.

Sistem ekonomi di kelompok ini berjalan secara kolektif. "Ibu-ibunya tidak digaji, hasilnya diputar kembali untuk membeli bahan atau merapikan tempat produksi," terangnya.

Uang kas yang terkumpul juga digabungkan dengan pendapatan dari pariwisata Kampung Cireundeu. Semuanya dilakukan oleh warga dan untuk warga.

Produksi kuliner tetap berbasis bahan lokal. Rasi, misalnya, dihasilkan dari aci yang dibeli dari petani setempat. Sayangnya, produksi makanan khas Cireundeu terbatas karena stok singkong bergantung pada panen petani.

“Kalau stoknya banyak, kami bisa jual lebih banyak, tapi kalau sedikit, ya, untuk makan sendiri dulu.” tambah Neneng.

Upaya memperluas pasar terus dilakukan. Sebelumnya, warga hanya mengandalkan tamu yang datang atau menitipkan produk di toko oleh-oleh di Cimahi dan Bandung. Namun, kendala distribusi membuat strategi ini tidak bertahan lama. Kini, melalui akun Instagram @serbasingkongcireundeureal, warga Cireundeu mulai menjangkau pasar lebih luas dengan penjualan daring.

Ketahanan Pangan dan Budaya di Tengah Modernisasi

Keputusan untuk menjadikan singkong sebagai makanan pokok sejak 1924 bukan tanpa alasan. Kekeringan panjang pada 1918, yang tentu saja mempersulit budidaya padi, mendorong masyarakat Cireundeu beralih ke singkong. Pilihan ini ternyata menyelamatkan mereka dari krisis pangan. Hingga kini, sekitar 60 kepala keluarga di kampung ini tetap setia mengonsumsi nasi singkong sebagai makanan pokok.

Keberadaan singkong sebagai makanan pokok memberikan ketahanan pangan yang unik bagi masyarakat Cireundeu. "Kami tidak tergantung pada beras [yang harganya fluktuatif] karena di sini ada rasi," kata Neneng.

Dengan kandungan serat tinggi dan kadar gula rendah, singkong menjadi alternatif pangan yang sehat sekaligus strategis, terutama saat menghadapi krisis beras.

Meski demikian, khusus untuk makanan khas Cireundeu, Neneng mengungkapkan bahwa produksinya masih terbatas. Pasokan singkong dari petani lokal kadang harus diprioritaskan untuk konsumsi rumah tangga, sehingga tidak selalu tersedia dalam jumlah besar untuk dijual.

“Kalau stok singkongnya sedikit, ya kita tidak bisa jual karena harus memenuhi kebutuhan makan warga dulu,” imbuhnya.

Inovasi Ketahanan Pangan Berbasis Singkong

Produk-produk kuliner khas Kampung Adat Cireundeu. (Foto: Dini Putri Rahmayanti/Tirto.id)

Upaya pemerintah setempat untuk mendukung potensi singkong di Cireundeu pernah dilakukan melalui program penanaman singkong. Namun, program ini hanya berjalan sebentar dan tidak berlanjut.

“Pernah dulu kaya ada program menanam singkong dari pemerintah biar Cireundeu banyak singkongnya. Tapi gak efektif juga, karena cuma sekali aja udah ke sananya gak jalan,” kata Neneng.

Di sisi lain, pengunjung Kampung Cireundeu sebenarnya sangat menikmati pengalaman kuliner berbasis singkong. Setiap Minggu pagi, hidangan tradisional seperti nasi goreng singkong, tiwul, dan gorengan, menjadi menu favorit pelancong. Selain itu, mereka dapat menyaksikan langsung proses pembuatan rasi dan mencoba camilan khas seperti egg roll singkong yang inovatif.

Tiara, mahasiswi Universitas Jenderal Achmad Yani yang tengah melakukan survei penelitian, mengungkapkan bahwa ketertarikan terhadap Kampung Adat Cireundeu muncul karena kekhasan pangannya. “Sebenernya yang udah terkenal 'tu 'kan nasi singkongnya itu. Itu yang menarik dari Cireundeu.”

Namun, ia mengamini bahwa implementasi secara luas di Indonesia menghadapi tantangan. “Masyarakat kita sudah terbiasa makan nasi, jadi mengubah kebiasaan itu tidak mudah.”

Selain pengolahan makanan khas olahan singkong, masyarakat Cireundeu punya kegiatan kolektif lain. Salah satunya dengan menggelar tarian Ngayun sebagai upaya mengenalkan budaya lokal kepada generasi muda. Tari tradisional tersebut dirancang untuk memperkenalkan nasi singkong kepada anak-anak dengan cara menyenangkan.

Ke depan, Neneng berharap pemerintah turut menggaungkan potensi singkong sebagai alternatif pangan nasional. “Inginnya singkong tidak hanya dikenal sebagai makanan tradisional tetapi juga solusi ketahanan pangan.”

Dengan filosofi silih asah, silih asih, silih asuh masyarakat Cireundeu membuktikan bahwa kearifan lokal dapat menjadi jawaban atas tantangan zaman. Kampung ini tidak hanya menjadi cerminan harmoni antara tradisi dan inovasi, tetapi juga inspirasi bagi masyarakat global untuk hidup selaras dengan alam.

Baca juga artikel terkait KETAHANAN PANGAN atau tulisan lainnya dari Dini Putri Rahmayanti

tirto.id - News
Kontributor: Dini Putri Rahmayanti
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Fadli Nasrudin