Menuju konten utama
Mesin Waktu

Belajar Merasa Cukup Bersama Komunitas Joli Jolan

Melalui kegiatan barter dan berbagi barang gratis, Joli Jolan ingin menyampaikan pesan penting: belajar hidup secukupnya dan mengurangi perilaku konsumtif.

Belajar Merasa Cukup Bersama Komunitas Joli Jolan
Komunitas Joli Jolan .tirto.id/Adisti

tirto.id - Isu konsumerisme menjadi keresahan banyak orang, termasuk Chrisna Chanis Cara, atau akrab disapa Chrisna, salah satu inisiator Komunitas Joli Jolan.

Joli Jolan berasal dari kata bahasa Jawa, ijol-ijolan yang berarti tukar-menukar. Melalui kegiatan barter dan berbagi barang gratis, Joli Jolan belajar hidup secukupnya dan mengurangi perilaku konsumtif.

November 2019, berawal dari kepenatan saat bekerja sebagai wartawan di Solo, Chrisna mulai mencari hal baru dengan menonton film-film dokumenter. Ia lantas menemukan sebuah dokumenter tentang sebuah toko di Yunani bernama Schoros yang memiliki aktivitas barter, donasi, dan mengambil gratis. Dari situ, Chrisna bersama dua rekannya, Septina Setyaningrum dan Sukma Larastiti, menginisiasi Komunitas Joli Jolan.

“Itu kenapa kami terapkan di Solo. Sederhana tapi menarik. Saat itu cuma punya ide, nggak punya tempat atau infrastruktur. Selain itu, juga ada sedikit keresahan soal konsumerisme,” ujar Chrisna saat ditemui kontributor Tirto, Sabtu (7/12/24).

Isu melawan konsumerisme bagi Chrisna sangat penting disampaikan kepada masyarakat agar sadar perlunya memperpanjang usia suatu barang. Selain itu, Chrisna melihat masih banyak orang yang kekurangan sandang layak. Di saat bersamaan, ada banyak orang yang membuang pakaian yang sudah tidak mereka pakai dan menimbulkan masalah baru, yakni sampah fesyen.

“Banyak sekarang anak muda terlalu mudah membuang barang-barang, pakaian kadang sekali pakai bosen bingung mau diapain. Padahal fesyen salah satu sampah yang susah diurai, sementara masih banyak orang belum punya pakaian yang memadai. Ini menarik untuk diwujudkan, selain mengurangi konsumerisme, juga untuk merawat dan membangun solidaritas,” lanjutnya.

Selain isu konsumerisme, pesan penting yang ingin disampaikan Joli Jolan melalui adalah memupuk solidaritas serta kesadaran bahwa berbagi kepada sesama dapat dilakukan dengan berbagai cara dan tidak memandang status sosial.

“Orang lihatnya membantu itu harus pakai uang, padahal nggak harus pakai uang. Relawan bisa donasi waktu, keahlian. Kami juga punya relawan ibu-ibu. Ada relawan bagian mengelola website. Modalnya donasi keahlian, waktu, barang. Saling membantu,” kata Chrisna.

“Harapannya tidak hanya [bantuan dari] atas ke bawah, tapi menyeluruh,” imbuhnya.

Tak butuh waktu lama, komunitas ini resmi berjalan mulai Desember 2019 dan berlokasi di rumah milik Septi di Jl. Siwalan No.1, Kerten, Laweyan, Surakarta. Rumah dengan pendopo yang semula kosong, kini hidup karena aktivitas Komunitas Joli Jolan serta aktivitas lain seperti taekwondo dan seni tari.

Kegiatan utama Komunitas Joli Jolan adalah donasi barang layak pakai dan mempersilakan masyarakat sekitar untuk mengambil barang donasi tersebut sesuai yang diperlukan. Kegiatan ini dilakukan setiap hari Sabtu, mulai pukul 10.00 sampai 13.00. Dari pantauan Tirto saat berkunjung, banyak warga datang silih berganti untuk berdonasi dan mengambil barang yang mereka perlukan.

Komunitas Joli Jolan

Komunitas Joli Jolan .tirto.id/Adisti

Joli Jolan tak hanya menerima donasi pakaian, tapi juga menerima donasi barang lain seperti buku, boneka, mainan, hingga barang elektronik. Terdapat pula kegiatan bank pangan yang membagikan makanan gratis kepada masyarakat. Untuk pakaian, Komunitas Joli Jolan membatasi jumlah pakaian yang dapat diambil, yakni 3 buah per orang.

Peraturan lainnya adalah masyarakat boleh mengambil barang lagi paling cepat dua pekan setelah pengambilam terakhir. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan, melainkan untuk mengajarkan masyarakat agar datang karena kebutuhan, bukan keinginan.

Chrisna menceritakan satu hal yang paling berkesan di ingatannya. Dari cerita itu ia menyadari pentingnya merasa cukup dengan apa yang ia dimiliki. Saat usia Joli Jolan baru dua bulan, datang seorang tukang becak yang sudah terlihat tua mengambil 1 potong celana kain. Saat diingatkan bahwa dia bisa mengambil maksimal 3 potong pakaian, tukang becak menolak karena hanya itu yang ia butuhkan.

Pun, mas. Kulo mung butuh setunggal (Cukup, mas. Saya hanya perlu satu),” kata Chrisna menirukan si tukang becak.

“Sampe sekarang mengena. Sederhana tapi orang sulit menerapkan. Rasa secukupnya sesuai kebutuhan, hal itu datang dari orang nggak punya yang justru bisa merasa cukup. Itu poin yang pengen kami terapkan di sini. Ambil sesuai kebutuhanmu, berikan sesuai kemampuanmu. Itu tagline kami,” lanjutnya.

Selain donasi pakaian dan barang lainnya, komunitas yang telah berjalan 5 tahun ini juga banyak melakukan workshop terkait isu lingkungan dan perkotaan.

“Dulu sering bikin workshop soal isu-isu perkotaan, soal transportasi, lingkungan, cara bikin pupuk organik, craft tas dari baju bekas, bikin sabun dari minyak jelantah. Isu lingkungan dan isu perkotaan kami sering bikin,” ungkap Chrisna.

Nutrisi Hati dan Menyiasati Beban Operasional

Perkembangan Joli Jolan tak lepas dari peran para relawan dengan semangat solidaritasnya. Di awal berdiri, Joli Jolan hanya memiliki 3-5 orang relawan. Namun sekarang mereka memiliki kurang lebih 30 relawan dari berbagai kalangan, mulai dari mitra ojek online, wartawan, mahasiswa, siswa menengah, hingga dari kalangan warga sekitar.

Meskipun sempat merasa kewalahan karena jumlah relawan yang sedikit, sekarang Chrisna bersyukur atas antusiasme dan partisipasi para relawan selama berdirinya Joli Jolan.

“Dulu sempet relawan cuma lima [orang]. Dulu sempet kelimpungan. Kami juga nggak mewajibkan relawan datang, ya seluangnya. Tapi yang menarik di sini teman-teman semangat datang meskipun nggak dibayar,” ucapnya.

“Bisa bertahan sampai sekarang di dunia yang semua dihitung materi, tapi teman-teman bisa sampai sekarang mengikuti gerakan itu sudah keren. Kalau cuma tiga orang, ya nggak jalan. Ini sudah melakukan kerja banyak, harus banyak orang,” lanjut Chrisna.

Komunitas Joli Jolan

Komunitas Joli Jolan .tirto.id/Adisti

Lima tahun menjalankan komunitas ini, Chrisna mengaku lebih banyak merasakan suka daripada duka. Pasalnya, ia bisa bertemu dengan orang baru dan melihat semangat para relawan yang membuat hatinya terasa penuh.

“Yang bikin relawan semangat, ya ini kebutuhan untuk diri kami sendiri. Kami memberi makan hati kami dengan ikut kegiatan ini. Bisa ngobrol, ketemu orang baru itu senang ketimbang di rumah, ngapain,” ujarnya.

Joli Jolan juga telah jadi inspirasi bagi banyak orang hingga melahirkan kegiatan serupa di berbagai daerah. Menurut Chrisna, di Solo Raya sudah ada dua daerah yang melakukan aktivitas serupa, yakni di daerah Jaten dan Pengging. Pengaruh Joli Jolan juga sudah tersiar sampai Grobogan.

“Justru itu yang kami inginkan. Joli Jolan nggak besar sendiri, tapi idenya bisa menyebar ke [berbagai] wilayah. Kami tekankan kalau [mau] bikin aja di daerah mu, silakan tiru idenya, tapi pakai namamu sendiri. Karena, kan tergantung [kebutuhan] wilayah. Misal wilayahnya masih kurang pakaian, ya mungkin dari pakaian, misal di wilayah akademis bisa berbagi buku. Aku seneng sih banyak yang mulai menginisiasi,” terangnya.

Chrisna juga mengungkapkan angannya untuk di setiap kecamatan di Solo terdapat kegiatan seperti yang sudah dilakukan Joli Jolan.

“Ketika ini bisa muncul di tiap kecamatan di Solo kan bisa membantu. Orang- orang bisa menginisiasi. Kami suplai dulu nggak papa sebagai awalan,” ungkapnya.

Menurutnya, dalam rangka hari jadi Joli Jolan yang ke-5, pada akhir Desember nanti mereka berencana mengunjungi Rusunawa Putri Cempo untuk memberikan pakaian layak.

“Kalau rencana khusus belum, tapi kami punya rencana ke Rusunawa Putri Cempo, salah satu daerah yang kami drop pakaian karena di sana masih kekurangan barang yang layak,” beber Chrisna.

Tak menampik fakta bahwa komunitas ini memerlukan dana operasional, Chrisna juga membeberkan rencana untuk membuka toko yang menjual barang dengan harga di bawah harga pasar. Jalan ini dipilih karena Joli Jolan berkomitmen untuk tidak menerima bantuan dana dari partai politik atau pemerintah karena Joli Jolan adalah murni gerakan warga.

“Kami diskusi soal dana, mau nggak mau kami harus mencari dana dari apa yang kami punya. Barang baru, barang bekas yang masih bagus kami jual di bawah harga pasar,” terang Chrisna.

“Supaya terus berjalan karena kami butuh uang untuk operasional. Walaupun nggak banyak tapi itu bisa jalan. Konsepnya nggak lantas kapitalisasi. Meskipun uang sedikit tapi bisa untuk mengelola gerakan ini biar jalan aja,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KOMUNITAS atau tulisan lainnya dari Adisti Daniella Maheswari

tirto.id - News
Kontributor: Adisti Daniella Maheswari
Penulis: Adisti Daniella Maheswari
Editor: Irfan Teguh Pribadi