Menuju konten utama

Riwayat Becak: Dari Zaman Meiji sampai Bang Ali

Sedari 1960, becak seolah-olah menjadi musuh pembangunan. Tukang becak diburu dan disingkirkan, bahkan sempat terjadi penenggelaman becak ke laut.

Riwayat Becak: Dari Zaman Meiji sampai Bang Ali
Dua serdadu Belanda menaiki becak di kawasan Pasar Baru, Jakarta; 1947. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Di awal-awal sejarahnya, becak adalah kendaraan roda dua. Gambaran becak generasi awal bisa kita saksikan pada kendaraan yang dinaiki sosok Park Yeol—yang hendak membunuh Kaisar Jepang—dalam film Anarchy From Colony (2017), bukan becak roda tiga yang sedang ramai saat ini.

Becak di Indonesia adalah kendaraan roda tiga. Di kota Yogyakarta, belakangan ini, ada beberapa becak yang digerakkan mesin dan dikenal sebagai becak motor (bentor). Hampir seperti bentor di Medan atau Pematang Siantar. Bedanya, di Medan dan Siantar pengemudi bentor berada di samping. Sementara di Yogyakarta pengemudinya berada di belakang.

Becak awalnya muncul di Jepang zaman Meiji. Dalam East Asia: Tradition & Transformation (1989), John King Fairbank dengan sinis menyebut, “sebuah campuran aneh Timur dan Barat adalah becak, yang ditemukan di Jepang pada 1869. Ini adalah kombinasi yang cerdik dari roda gaya Barat yang superior dengan tenaga kerja Timur yang murah dan tersebar” (hlm. 528). Pendapat ini diamini James Francis Warren dalam Rickshaw Coolie: A People's History of Singapore, 1880-1940 (2003: 14).

Dalam catatan kakinya, Warren (2003:19) mencatat ada tiga orang berbeda yang punya jasa dalam penciptaan becak. Pertama, seorang misionaris Amerika bernama Jonathan Goble; kedua, orang Jepang bernama Akiha Daisuki; dan ketiga, seorang samurai bernama Yousouke Tzumi. Jonathan Goblealias Jonathan Scobie dianggap “mengklaim hak penemu berdasarkan sketsa,” tulis Franklin Calvin Parker dalam Jonathan Goble of Japan: Marine, Missionary, Maverick (1990: 224).

Seperti dikutip Warren dari Malay Mail (27/04/1965), di Jepang becak disebutjinrikisha. Dalam bahasa Inggris disebut rickshaw. Sementara dalam bahasa Hokkien diartikan sebagaikan cha. Warren menyebut becak menjadi alat transportasi modern di sekitar Asia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tentu saja sebelum merajalelanya taksi bermesin di beberapa kota besar Asia.

Becak di Indonesia

Istilah becak di Indonesia, menurut Erwiza Erman dalam Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013: 388), berasal dari kata be dan chia (Tionghoa), yang artinya kendaraan.

“Tak diketahui kapan persisnya becak masuk ke Indonesia […] becak yang ditarik orang tentunya sudah ada bersamaan dengan kehadiran orang-orang Cina di kota-kota Indonesia, seperti di Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar,” tulis Erwiza. Becak yang ditarik manusia tak bersisa di Indonesia. Becak roda tiga lah yang banyak ditemui.

Becak beroda tiga, menurut Erwiza, sudah diimpor ke Indonesia sejak 1914. “Walaupun demikian pekerjaan sebagai penarik becak boleh jadi belum begitu diminati,” tulisnya (hlm. 389). Seperti dikutip dari Susan Abeyasekere, ketika Depresi Ekonomi Dunia menghebat di era 1930-an yang menyebabkan tingginya angka pengangguran karena perusahaan kena imbasnya, banyak orang jadi tukang becak.

“Pada saat ini [1930-an] sudah ada sekitar 100 becak. Jika satu becak rata-rata ditarik oleh dua penarik becak secara bergantian, ada sekitar 200 penarik,” catat Erwiza.

Satu dari di antara orang yang harus jadi tukang becak karena krisis ekonomi itu adalah Abdullah. Dia sebelumnya pelaut, yang sering keluar-masuk pelabuhan Surabaya. Hingga 1945, dia mengayuh becak di kota itu.

Sebelum direkrut Persatuan Sepakbola Makassar (PSM), menurut Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1981: 520), Ramang juga penarik becak di Makassar. Namun, sepakbola membuatnya terkenal dan ia tak lagi menarik becak sampai tua. Dia bermain pertama kali untuk PSM pada 1948 dan PSM menang 9-0 dengan sebagian besar gol dicetak Ramang. Tukang becak pun tinggal masa lalu baginya.

Infografik becak riwayatmu

Di masa Revolusi, tercatat ada kenaikan jumlah tukang becak secara signifikan di Jakarta. “Jika tahun 1945 jumlah becak hanya 400 buah, maka pada tahun 1948 meningkat menjadi 9.000 buah,” tulis Erwiza Erman (hlm. 404). Para pemilik atau tauke becak bergabung dengan perkumpulan yang disebut Betjak Bond Djakarta.

Gambaran tukang becak di tahun 1948, ketika Jakarta diduduki tentara Belanda, sangatlah menyedihkan. “Kehidupan penarik becak pada masa revolusi itu dapat diketahui dari pengamatan seorang wartawan Mimbar Indonesia, M. Saat, yang mengamati perumahan, kesehatan, dan kondisi kerja penarik becak,” tulis Erwiza Erman (hlm. 404). M. Saat juga menggambarkan bahwa "pemondokan para penarik becak sangat mesum, hampir-hampir bukan seperti tempat manusia."

Kala Revolusi Indonesia telah berlalu, kehidupan tukang becak masih menyedihkan. Banyak dari mereka tidur di becak masing-masing jika malam tiba. Mereka juga dekat dengan dunia mesum. Di masa Ali Sadikin jadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, beberapa tukang becak diketahui terlibat dalam usaha pelacuran. Mereka mengantarkan para pelacur, yang kala itu lazim disebut "Wanita P".

"Saya ngilu menyaksikannya," kata Bang Ali. "Ada pula yang disebut Becak Komplit, karena kendaraan roda tiga itu membawa keliling Wanita P,” lanjutnya dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1993: 205).

Paling tidak sejak 1960 hingga Ali Sadikin tak lagi jadi gubernur, becak seolah menjadi musuh pembangunan. Pada 1980-an, bahkan terjadi penenggelaman becak ke laut.

Demikianlah derita tukang becak. Mereka selalu terancam kehilangan mata pencaharian. Lagi pula, baik yang roda dua maupun roda tiga tetaplah ditarik tenaga manusia yang dihargai teramat murah.

Baca juga artikel terkait BECAK atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan