tirto.id - Abdullah adalah satu dari 90 persen orang Indonesia yang buta huruf pada 1945. Seperti kebanyakan orang di masa itu, tanggal lahirnya pun tak diketahui. Pemuda asal Gorontalo ini, “Sewaktu masa kanak-kanaknya diambil sebagai anak angkat dari keluarga pelaut berasal Madura, dan keluarga inilah yang membesarkan pemuda Abdullah,” tulis Radik Djarwadi dalam Pradjurit Mengabdi: Gumpalan Perang Kemerdekaan Bataljon Y (1959). Kawan atau orang terdekatnya kerap memanggilnya Dullah.
Dullah remaja “kerjanya berlayar keluar-masuk pelabuhan Surabaya [….] Waktu ada krisis di Surabaya, ia menjadi pengendara becak. Dan dalam zaman Jepang, ia terus setia pada becaknya [….] Kemudian setelah Proklamasi 1945, ia masih hidup mengendarai becak di kota Surabaya,” demikian dicatat surat kabar Merdeka (12/10/1950) dalam artikel "Tewas dalam Melakukan Tugas untuk Ibu Pertiwi: Letkol Sudiarto dan Major Abdullah."
Tapi Abdullah tak sekadar menarik becak untuk bertahan hidup. Di masa pendudukan Jepang, menurut catatan Radik Djarwadi, ia masih sempat ikut latihan Jibakutai (Pasukan Berani Mati). Sebelum ikut Jibakutai, ia juga bergabung dalam serikat penarik becak Surabaya.
Waktu masih jadi penarik becak ketika Republik Indonesia baru berdiri, Dullah bermurah hati jika penumpangnya orang-orang yang bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
“Jika becaknya diangkut oleh salah seorang anggota TNI, maka si penumpang itu tidak usah membayar. Sebab, katanya, untuk kepentingan negara,” tulis Merdeka.
Orang yang pernah menjadi penumpangnya adalah Andi R. Ahmad Aries. Ia adalah pelaut, Komandan Pangkalan Republik di bekas pangkalan Modderlust di Surabaya.
Setelah kedatangan pasukan Sekutu, terdiri tentara-tentara Inggris ditempel pasukan Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA) Belanda, suasana di Surabaya makin panas. Apalagi menjelang pecahnya Pertempuran 10 November 1945. Tentara Inggris yang kebetulan baru menang Perang Dunia II tentu bukanlah lawan mudah bagi orang-orang Indonesia.
Saat Surabaya dalam situasi panas itu Dullah meninggalkan becaknya. “Setelah tanggal 10 November 1945, ketika sedang berkobarnya pertempuran dengan tentara Inggris, ia menggabungkan diri pada TKR Laut dan memimpin regu,” tulis Madjalah Sedjarah Militer Angkatan Darat (1951) seperti terlampir dalam Pradjurit Mengabdi. “Dalam pertempuran di sekitar Buduran-Sruni itulah pemuda Abdullah memperlihatkan kecakapan dan keberaniannya.”
Pasukan kecil Dullah itu dikenal sebagai pasukan Badjak Laut.
“Ia tidak mementingkan segala macam tata cara penghormatan, tapi cukup berwibawa untuk mengendalikan para anak buahnya yang berasal dari rakyat biasa, yaitu pemuda-pemuda yang telah mengalami masa pahit di jaman kolonial Belanda dan penjajahan Jepang, yang berjiwa keras, tertempa oleh perjuangan hidup di lapisan terbawah dalam masyarakat. Tuntutan Abdullah pada anak buahnya hanyalah loyalitas kepada revolusi,” ujar Suhario Padmodiwiryo alias Haryo Kecik dalam Memoar Haryo Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995).
Pasukan-pasukan yang hanya berpikir soal Revolusi itu tak peduli pada hierarki militer. Mereka pernah tak memberi hormat kepada Alexander Evert Kawilarang yang memakai tanda pangkat kolonel.
Beberapa orang perwira, seperti Letnan Kolonel Joop Frederick Warouw, memaklumi sikap itu. Sebab, saat itu adalah masa Revolusi. Namun, ada juga orang yang bersikap sinis terhadap Dullah.
Harry Albert Poeze dalam Tan Malaka: Gerakan Kiri, Revolusi Indonesia IV (2014), mencatat seorang Mayor bernama Abdul Manan berbicara di belakang, menyebut Dullah sebagai "sopir becak" dengan nada menghina.
Meski buta huruf, dalam waktu tak lama Dullah sudah menyandang pangkat kapten. Begitulah Revolusi yang bisa mengubah banyak hal.
“Kemerdekaan memberi kesempatan padanya untuk mengembangkan bakat-bakatnya secara bebas yang pada zaman kolonial dirintangi penjajah,” tulis Soe Hok Gie dalam Kisah Penumpasan RMS: Gerakan Operasi Militer IV (1965).
Dalam buku terbitan militer itu, Soe Hok Gie begitu memuji Dullah. Gie menulis, “kecakapan, kejujuran, dan sifat kepemimpinannya baik; ia sangat dicintai oleh bawahan-bawahannya.”
Di masa Revolusi, banyak perempuan peranakan Eropa terancam. Jika tidak menjadi sasaran pembunuhan, ada saja yang menjadikan mereka pelampiasan birahi orang-orang Indonesia yang mengganas, tak jarang oleh mereka yang mengaku Republiken dan memegang bedil. Tak hanya perempuan Indo, perempuan dari kalangan keluarga yang dianggap kebelanda-belandaan tak jarang jadi korban.
Namun Wims Umampan, seorang janda asal Minahasa dan berpendidikan, aman hidupnya bersama Dullah. Padahal di zaman kolonial, juga Jepang, adalah mustahil laki-laki kaum kromo macam Dullah bisa memperistri orang berpendidikan.
“Dengan persetujuannya dan Andi Aries, ia dikawinkan dengan seorang janda berasal dari Minahasa. Adapun istrinja itu seorang guru dan dari padanja ia mulai beladjar A-B-C sehingga pandai membaca dan menulis,” tulis surat kabar Merdeka. Mereka menikah sekitar Februari 1947.
Tak hanya istrinya, staf terdekatnya, Kapten F.J. Tumbelaka, juga ikut mengajarinya sehingga, tulis Madjalah Sedjarah Militer Angkatan Darat, "Abudullah dapat membaca, menulis, bahkan mengenal bahasa-bahasa Belanda dan Inggris secara pasif." Meski Angkatan Darat di masa lalu memujinya, sangat sulit menemukan perwira macam Abdullah di masa sekarang.
Menurut sumber militer Madjalah Sedjarah Militer Angkatan Darat, bulan April 1947, Dullah diserahi tugas memimpin unit Barisan Pelopor di Lawang, sebuah Pangkalan Angkatan Laut. Dullah saat itu masih berpangkat kapten. Pasukan ini gabungan dari Badjak Laut dan Pasukan 0032—pimpinan Letnan Soeharto. Setelah Agresi Militer Belanda 21 Juli 1947, Dullah dan serdadu lain pindah ke arah Blitar.
Bulan Maret 1948, Barisan Pelopor menjadi Depot Bataljon di bawah Dullah. Pangkatnya naik jadi mayor. Bulan September 1948, Abdullah dan pasukannya dilebur dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Depot Batalyon yang dipimpin Dullah pun jadi Bataljon XVII Brigade I Divisi I. Panglima Divisi itu adalah Kolonel Sungkono.
Belum lama batalyon itu terbentuk, pasukan Dullah ikut serta melawan tentara-tentara yang terlibat Peristiwa Madiun 1948. Setelah 19 Desember 1948, Dullah membagi dua pasukannya. Dua kompi ditugaskan bergerilya di sekitar Tuban dan dua kompi lain menuju Tretes, Lawang.
Mayor Abdullah termasuk komandan penting di wilayah selatan Jawa Timur. Di masa Revolusi, ia sama sohor dengan Mayor Sabarudin yang dekat dengan Tan Malaka. Bedanya, Abdullah punya nama yang lebih harum ketimbang Sabarudin—yang dikenal kejam dan sering melakukan tindakan indisipliner.
- Baca:Kebrutalan Mayor Sabarudin
- Baca juga:Kosmopolitanisme Tan Malaka
Di sekitar 1948 itu, menurut Harry Poeze, Dullah dan beberapa perwira lain bersekutu dengan Tan Malaka. Karena Tan Malaka lekat dengan kekiriannya, kedekatan itu membuat Dullah dianggap perwira kiri. Sematan ini sama seperti Slamet Riyadi dan Slamet Sudiarto, bagian Divisi Penembahan Senopati pada 1948.
Seperti dua nama itu, pada 1950 Dullah ikut dikirim ke Indonesia Timur—menumpas Republik Maluku Selatan (RMS) di sekitar Ambon. Dullah dan pasukan dikenal sebagai Batalyon Abdullah, sesuai nama komandannya.
Sebelum ke Ambon, Dullah dan pasukannya sempat mendarat di sekitar Jeneponto pada bulan April untuk melawan pasukan KNIL yang rusuh di Makassar—dalam konflik yang disebut Peristiwa Andi Azis. Pemberontakan serdadu-serdadu KNIL itu adalah penolakan kedatangan TNI dari Jawa. Bulan berikutnya mereka harus bertempur di sekitar Ambon melawan pasukan RMS yang sulit dilawan. Namun, beberapa daerah berhasil direbut Batalyon Abdullah.
- Baca: Pasukan Andi Aziz Menolak Tentara dari Jawa
- Baca juga:Ketika Para Sersan Menegakkan Republik Maluku Selatan
Namun, pada 9 September 1950, ketika sang mayor mendarat di sekitar Lafa, dua peleton TNI diadang satu peleton pasukan RMS. Di sekitar daerah itulah sang mayor tertembak peluru RMS. Berita kematiannya saat itu disangkal banyak orang yang percaya pada gosip bahwa Dullah kebal peluru.
Jenazah Dullah dimakamkan di Pulau Geser. Bekas Batalyon Abdullah belakangan ditempatkan di Sulawesi Selatan dengan nama Batalyon 711 setelah melawan RMS.
Di seberang laut, Wims Umampan harus menjanda lagi. Suaminya yang tidak pulang itu tinggal nama, yang belakangan menjadi nama jalan di Lawang, Jawa Timur.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani