tirto.id - Alex Kawilarang, perintis Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu adalah tentara tulen: Jujur, pantang menyerah, dan punya harga diri. Ia wafat pada 6 Juni 2000, tepat hari ini 19 tahun silam.
Soal kejujuran dan dedikasi, Alex tak kenal kompromi dan telah teruji. Ia, misalnya, pernah menempeleng mantan presiden Soeharto karena merasa ditipu dengan laporan palsu.
Karir militernya juga cukup mentereng. Ia pernah menjadi komandan penumpasan Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), hingga Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Belakangan, ia protes pada Jakarta karena tentara daerah tak diperhatikan. Karirnya menyusut sejak terlibat dalam Permesta.
Didikan KMA
Awal kisah Alex di militer di mulai pada 1940. Pemuda asal Jakarta itu mengikuti sekolah militer Koninklijk Militaire Academie (KMA) Bandung. Mengapa Alex tertarik pada militer?
"Ayah Kawilarang adalah Mayor AHH Kawilarang, seorang infanteri, kakak kelas Oerip Sumoharjo semasa sekolah militer di Jatinegara Jakarta," kata Petrik Matanasi, penulis buku Pribumi Jadi Letnan KNIL.
KMA Bandung mengadopsi pola pendidikan militer elit KMA Breda, pendidikan militer ternama negeri Belanda. Alex lulus dari KMA pada 1942, dan Belanda menempatkannya di Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), Tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Tidak semua lulusan pendidikan militer Belanda bisa masuk KNIL, hanya lulusan terbaik yang bisa masuk keanggotaan tentara Ratu Wilhelmina ini.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda pada 1942, KNIL dibubarkan. Anggota-anggota KNIL untuk sementara waktu menganggur. "Kecuali Alex Kawilarang yang bertahan di Lampung dengan bekerja di sebuah pabrik," terang Petrik Matanasi dalam Pribumi Jadi Letnan KNIL (2012).
Baru pada 1945 Alex bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ia masuk dalam Komandemen-I TKR Jawa Barat — cikal bakal Divisi Siliwangi — dengan Panglima Kolonel AH Nasution, mantan KNIL. Di Komandemen I di Purwakarta Alex langsung mendapat pangkat mayor. Setahun kemudian jabatannya naik, Nasution menunjuk Alex sebagai Komandan Brigade II dengan wilayah kerja Cianjur, Bogor, dan Sukabumi. Nasution pula yang menaikkan pangkatnya menjadi letnan kolonel.
Pada 1948, Nasution memindahkan Alex ke Sumatera sebagai Komandan Sub Teritorial VII/Tapanuli Sumatera Timur dan Selatan. Setelah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Alex diangkat lagi menjadi Panglima Tentara Teritorial Sumatera Utara, cikal bakal Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan dengan pangkat kolonel.
Ekspedisi ke Timur
Di awal-awal pengakuan kedaulatan ini terjadi gejolak dalam negara kesatuan Indonesia. Sejumlah daerah yang sebelumnya menjadi negara federasi dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) masih menginginkan menjadi negara bagian yang berdiri sendiri, termasuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan presiden Sukawati.
NIT mencakup Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku dengan ibukota di Makassar. Sepanjang Januari sampai Maret tokoh-tokoh politik NIT seperti Sukawati dan Soumokil dari Maluku melakukan perundingan untuk mempertahankan NIT. NIT juga didukung oleh masyarakat yang masih pro-Belanda.
Akhirnya pada 5 April 1950 Makassar bergejolak. Kapten Andi Azis, ajudan Sukawati, melakukan penangkapan terhadap Letnan Kolonel Achmad Junus Mokoginta, Komandan Tentara Tentorium di Indonesia Timur. Mokoginta adalah lulusan KMA Bandung, kakak angkatan Alex. Setelah penangkapan itu, Andi Azis memberitahu Jakarta bahwa Makassar telah dikuasai dan TNI dilarang masuk Makassar maupun Maluku. Indonesia timur memanas.
Meski berpangkat kapten, Andi bukan tentara biasa. Ia adalah bekas anggota Koninklijk Leger (KL), tentara negeri Belanda yang ikut Perang Dunia II. Dalam gerakan militernya, Andi juga melibatkan eks KNIL dan KL. Kedua pasukan ini memiliki kemampuan tempur di atas standar pasukan reguler. Mereka telah dididik dalam pasukan Komando (baret hijau) dan pasukan penerjun (baret merah) Belanda. Andi juga didukung oleh Westerling, eks-tentara Belanda yang melakukan petualangan militer, termasuk pembantaian, di Indonesia.
Karena gerakan politik-militer NIT membahayakan T.B Simatupang Kepala Staf Angkatan Perang — yang juga Eks KNIL — memerintahkan Alex yang baru 3 bulan jadi Panglima teritorial untuk menumpas pembelotan Andi Aziz. Pada 7 April 1950 Alex ditunjuk sebagai Panglima Ekspedisi Indonesia Timur. Ia membawahi pasukan dari Brigade Mataram pimpinan Letkol Soeharto yang turut dikirim ke Makassar.
Selama perjalanan laut pasukan Alex ke Makassar, Simatupang juga memberikan jaminan keamanan apabila Andi bersedia melapor ke Jakarta sebelum sebelum 11 April 1950. Namun, Andi tak kunjung datang. Maka, pada 13 April presiden mengumumkan bahwa Andi Azis adalah pemberontak. Andi kemudian datang sehari kemudian, 14 April, tapi ia kadung dicap pemberontak. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjara selama 13 tahun.
Penangkapan Andi Azis menimbulkan reaksi di Makassar dan Maluku. Di Makassar, anak buah Andi melakukan penyerangan terhadap markas TNI, sedangkan di Ambon, pada 25 April Soumokil memproklamasikan berdirinya RMS.
Dalam rangkaian gejolak di Indonesia Timur inilah ketangguhan Alex sebagai militer diuji. Dalam satu waktu, ia harus menghadapi dua pemberontakan sekaligus. Pertempuran pasukan pihak republik dengan pemberontak berlangsung dari April hingga Juli 1950. Akhir Juli, pasukan republik mulai menguasai Makassar.
Menampar Soeharto
Soeharto melaporkan keadaan ini kepada Kawilarang. Kawilarang mengabarkan tersebut kepada presiden di Jakarta. Namun, presiden justru menunjukkan bahwa terjadi insiden lagi di Makassar. Alex langsung terbang ke Makassar mencari Soeharto.
Ketika Alex menemui presiden, pada 5 Agustus, ternyata markas Soeharto di Makassar diserang pasukan Andi Azis. Pasukan Soeharto kocar kacir. Hal inilah yang membuat Kawilarang naik pitam. Menurut Sri Bintang Pamungkas dalam Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara (2014) Alex Kawilarang sempat menampar Soeharto.
"Pada waktu Markas Brigade Mataram diserang, saya baru satu jam tiba dari Jakarta, dipanggil MBAD untuk membicarakan rencana MBAD yang akan mengirimkan Kahar Muzakkar ke Makassar," kata Soeharto di buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1982).
Dalam bukunya itu, Soeharto mengisahkan bahwa keadaan di Makassar berhasil diredam pada pertengahan Agustus 1950. Anggota KNIL ditangkap dan dilucuti lalu diangkut keluar Makassar. "Dengan keluarnya anggota-anggota KNIL dan KL tadi pemberontakan Andi Azis pun selesai. Dan Andi Azis dijatuhi hukuman 14 tahun penjara oleh pengadilan militer di Yogyakarta, pada tahun 1953," kata Soeharto.
Belakangan, Alex Kawilarang memulangkan pasukan Soeharto pada September 1950. Alex tak melibatkannya lagi dalam Ekspedisi Indonesia Timur.
Membentuk Kesatuan Elite
Pada ekspedisi militer selanjutnya di Maluku, Alex memilih bekerja sama dengan Slamet Riyadi. Pada 28 September 1950, Kawilarang mengeluarkan perintah untuk melakukan serangan gabungan dengan sandi Senopati. Serangan melibatkan enam batalion infanteri ditambah tiga kompi angkatan darat ditambah sembilan kapal perang, tiga kapal niaga sebagai pengangkut pasukan, 12 kapal pendarat, dan dua pesawat pengebom taktis B-25.
Namun, jumlah pasukan dan senjata itu belum jaminan bagi Alex untuk mengalahkan eks-KNIL baret hijau dan merah. Pasukan yang didaratkan adalah pasukan yang belum cukup pengalaman tempur. Bahkan, di antara pasukan infanteri itu ada yang belum pernah melihat laut.
"Sewaktu akan meninggalkan perahu pendarat untuk melangkah ke pantai dengan lebih dulu terjun ke laut, saya mendengar seorang prajurit berteriak spontan kepada temannya, 'Lho kok air laut asin rasanya?'. Seluruh prajurit dari Batalion Soeradji berasal dari Jawa Tengah. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang pernah mencebur ke laut," kata Kawilarang sebagaimana ditulis Julius Pour dalam Ignatius Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas RMS (2008).
Bertolak dari pengalaman ini, Alex berpikir untuk membentuk pasukan elit di angkatan darat. Namun, gagasan itu belum ia wujudkan karena RMS belum hancur setidaknya sampai Slamet Riyadi tertembak peluru senapan mesin pada 4 November 1950. Dua hari kemudian, Ambon bisa diduduki TNI. Sebulan kemudian, Soumokil ditangkap di Seram Utara.
KNIL Connection
Setelah RMS berhasil ditumpas, Alex kembali ke Jawa dan pada November 1951 ditunjuk menjadi Panglima Komando Tentara dan Teritorium III Siliwangi. Di masa itulah, ia merintis Kesatuan Komando III (Kesko III) Siliwangi—cikal bakal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada 16 April 1952. Berdasarkan pengalaman buruk semasa di Ambon, Alex berkeinginan membentuk pasukan elit gerak cepat dengan pelbagai kemampuan.
"Saya mengusulkan Mohammad Idjon Janbi, agar ia suka menjadi pelatihnya. Ternyata dia terima ajakan kami," kata Alex di buku A.E. Kawilarang: untuk Sang Merah Putih (1988).
Alex juga menunjuk Idjon Djanbi sebagai Komandan Kesatuan Komando III. Idjon Djanbi adalah mantan anggota Korps Speciale Troepen KNIL, kesatuan elit KNIL. Alex pula yang menempatkan Kesko III di Batujajar. Uji coba pertama pasukan ini adalah menumpas DI/TII. Kesko III menunjukan keberhasilannya mengikis kekuatan DI.
Pada 1952 inilah mantan kadet KMA Bandung seperti Nasution, Alex Kawilarang, dan TB Simatupang menunjukkan prestasinya. Mereka menjadi pucuk pimpinan militer Indonesia menggantikan orang-orang bekas pendidikan Pembela Tanah Air (Peta). Nasution menjadi KSAD, T.B. Simatupang menggantikan Soedirman sebagai KSAP. Di Jawa Barat, ada Alex Kawilarang yang berhasil mendirikan Kesko III.
Perselisihan antara sebagian orang-orang mantan PETA dan KNIL makin memanas menjelang Oktober 1952. Kolonel Bambang Supeno, eks-PETA teran-terangan menunjukkan ketidakpuasannya pada KSAD Nasution. Ia meminta Nasution dicopot dari jabatannya. Bambang Supeno kemudian melakukan safari politik ke sejumlah daerah untuk mendapatkan dukungan. Tidak hanya itu, ia juga menghadap presiden supaya mengganti Nasution dengan Bambang Sugeng.
Ketika militer makin gaduh, pada 12 Juli 1952 TB Simatupang melakukan pertemuan dengan seluruh komandan teritorial, termasuk Bambang Supeno yang menjabat Kepala Staf Teritorial. Supeno meninggalkan ruangan sebelum pertemuan usai.
Sehari berikutnya, 13 Juli, Bambang Supeno mengirim surat ke DPRS. Isinya mosi tidak percaya kepada pimpinan AD dan TNI. DPRS pun jadi turut campur dalam masalah internal AD. Empat hari kemudian, Bambang Supeno dipecat dan diberhentikan dari semua tugasnya oleh KSAD Nasution. DPRS geram atas tindakan Nasution dan mengeluarkan mosi kepada pimpinan AD. Mosi ini dilontarkan oleh Manai Sophian dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Mosi ini disetujui oleh DPRS pada 16 Oktober 1952.
Hari itu juga Letnan Kolonel Sutoko dan Kolonel Suwondo Parman berinisiatif mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menentang mosi dan membubarkan parlemen. Mereka merekrut sipil, preman, dan jawara untuk turut berdemonstrasi. Sementara Letkol Kemal Idris mengerahkan militer ke Istana, Alex Kawilarang mengerahkan demonstran dari Bandung ke Jakarta menggunakan truk Kodam Siliwangi. Mereka juga menempeli poster anti-mosi pada malam menjelang 17 Oktober.
Puncaknya terjadi pada 17 Oktober 1952. Satu batalion kavaleri lapis baja mengarahkan moncong meriam ke Istana Negara. Di depan istana, massa bersama sejumlah perwira TNI AD berdemonstrasi menuntut presiden untuk membubarkan parlemen.
"Setelah Peristiwa '17 Oktober' 1952 itu, maka ekornya panjang. Nasution diberhentikan sebagai KSAD," kenang Alex Kawilarang dalam bukunya.
Terjebak Permesta
Seperti dikatakan Alex, presiden benar-benar memecat Nasution dan TB Simatupang pada 3 Desember. Keduanya terbukti bersalah. Sejak itu, dua mantan KNIL ini menjadi militer non-aktif. Jabatan Alex sendiri di Pangdam Siliwangi tetap tak tergoyahkan sampai 1956, tapi Kesko yang ia rintis ditarik langsung ke KSAD pada 1954.
Pada 1956, ketika mantan-mantan PETA menguasai pucuk pimpinan Angkatan Darat, Alex ditempatkan sebagai atase militer Indonesia di Washington. Sebagai atase, pangkatnya otomatis naik menjadi brigjen, tapi ia dijauhkan dari pasukannya.
Kemungkinan, karena alasan inilah Alex belakangan memutuskan untuk bergabung dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi, berjuang bersama dengan orang-orang Sulawesi Utara dan Selatan. Namun, gerakan politik militer ini berhenti di tengah jalan. Konflik internal menyebabkan gerakan ini mudah dipatahkan oleh TNI.
Karena keterlibatan dalam Permesta, jabatan Alex diturunkan lagi menjadi letnan kolonel. Alex memutuskan untuk menekuni bisnis dan sejak itu nama Alex tenggelam dalam sejarah militer Indonesia. Alex Kawilarang meninggal pada tahun 2000, setahun setelah mendapat gelar kehormatan dari Kopassus.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 April 2017 dengan judul "Alex Kawilarang, Tentara Lurus Perintis Kopassus." Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara & Maulida Sri Handayani