tirto.id - Sukarno sang proklamator terlahir dari keluarga guru. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, merupakan seorang guru lulusan Kweekschool (sekolah guru) Probolinggo dan pernah mengajar di beberapa kota di Jawa Timur. Soekemi adalah salah satu anak dari Raden Hardjokromo, yang masih tergolong priayi kecil.
Dalam autobiografinya yang disusun Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (2011), Sukarno mengaku bahwa ayahnya keturunan raja Kediri. Memang hanya golongan priayi lah yang bisa bersekolah, termasuk di Kweekschool.
Soekemi muda pernah jadi guru di Singaraja, Bali. Di situ dia jatuh hati pada seorang gadis Bali. “Semasa mudanya ibu menjadi seorang Gadis Pura yang pekerjaannya membersihkan rumah-ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja,” aku Sukarno dalam autobiografinya.
Setelah jam sekolah selesai, Soekemi bisanya ke pura untuk menikmati ketenangan. Tujuan lain: dia ingin memandang Ida Ayu Nyoman Rai, si gadis Bali yang begitu menggodanya.
Soekemi pun mendatangi orang tua Ida Ayu Nyoman Rai yang berasal dari Kasta Brahmana itu. Demi meminta anak gadis mereka untuk disuntingnya. Dengan sopan, Soekemi meminta, “Bolehkah saya meminta anak ibu-bapak?" Dan orang tua Ida Ayu pun menolak.
“Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali-kali tidak ! Kami akan kehilangan anak kami,” kata orang tua si gadis.
Menurut Sukarno, bukan kebiasaan perempuan Bali dipersunting laki-laki dari luar Bali. Bahkan dari Jawa—yang terbilang dekat—sekali pun. Perkawinan perempuan Bali dengan laki-laki dari luar akan membuat si anak perempuan diasingkan.
Setelah tak ada jalan lagi, maka Ida Ayu Nyoman Rai dibawa lari Soekemi. “Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata-cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam dimalam perkawinannya dirumah salah seorang kawan,” aku Sukarno. Pasangan kawin lari ini berlindung di rumah kawan baik Soekemi, seorang kepala polisi.
Keluarga Ida Ayu Nyoman Rai lalu datang ke rumah kepala polisi itu, hendak menjemput putri mereka. Si kepala polisi tak menuruti orang tua si gadis. Pasangan ini lalu disidang. Ida Ayu Nyoman Rai ditanya, ”Apakah laki-laki ini (Soekemi) memaksamu?
“Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri,” kata Ida Ayu Nyoman Rai seperti diceritakan Sukarno kemudian.
Pasangan ini lalu tak bisa dilarang lagi. Setelah "pengadilan" itu, Soekemi mengajukan permohonan untuk dipindah dari Bali, karena aksi kawin lari mereka.
“Bapak merasa tidak disukai orang di Bali,” kata Sukarno.
Pernikahan mereka terjadi sekitar 1897. Mereka berdua terus jadi suami-istri dan bisa meninggalkan Bali. Lagi pula urusan mengganjal perut bukan masalah bagi seorang guru yang digaji pemerintah kolonial. Guru macam Soekemi tidak bisa disamakan dengan guru masa kini. Di masa itu guru bukan cuma disegani, tapi juga berpenghasilan lumayan. Setidaknya tidak sesulit rakyat jelata kebanyakan.
Kawan Karib Tjokroaminoto
Pasangan Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai beroleh anak pertama mereka pada 13 Maret 1898 di Singaraja, Bali. Pasangan suami-istri beda suku dan agama ini akhirnya tinggal di Surabaya. Tepatnya di Pandean, yang kini masih jadi bagian Kampung Paneleh, di tepi Kali Mas.
Kampung tersebut, menurut Adrian Perkasa, sejarawan dan pengajar sejarah kuno Universitas Airlangga, adalah kampung yang “bineka”. Orang Jawa, Bali, Tionghoa, Arab, dan lainnya hidup di situ. Bersama kepercayaan mereka yang bermacam-macam. Hingga hari ini penganut Hindu Bali masih terdapat di Paneleh. Tidak jarang orang Hindu Bali memberi bunga di nisan dari kuburan Islam kuno yang tersebar di dalam kampung tersebut.
Ketika tinggal di Pandean, anak laki-laki Soekemi dengan Ida Ayu Nyoman Rai, yang kelak menjadi presiden pertama RI, terlahir pada 6 Juni 1901. Rumah kelahirannya kini jadi cagar budaya di kota Surabaya.
Soekemi punya pergaulan orang-orang berpikiran maju di Surabaya. “Bapak seorang Islam Teosofi dan ibu seorang Bali Hindu-Buddha,” kata Sukarno.
Menurut Molly Bondan dalam Molly Bondan: Pengabdian pada Bangsa (2008: 260), Soekemi mendidik anaknya dengan ajaran itu sejak awal masa sekolah. Para anggota gerakan Teosofi di Indonesia, termasuk di Surabaya, adalah orang-orang berpengaruh.
Soekemi juga punya pergaulan luas. Karena itu dia bisa dapat koneksi bagi masa depan pendidikan Sukarno. Tidak cuma bisa masuk sekolah elite seperti Europe Lager School (ELS), tapi juga bisa mengakses perpustakaan kaum Teosofi.
“Bapakku seorang Theosof, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini,” aku Sukarno
Ketika Sukarno masih kecil, Soekemi ditugaskan ke Mojokerto, lalu ke Blitar. Kala Sukarno masih berusia 15 dan Soekemi sudah berdinas di luar Surabaya, sang bapak menginginkan anaknya dapat belajar di sekolah menengah elite macam Hogere Burger School (HBS) Surabaya. Soekemi pun mengirim anaknya ke pondokan milik kolega lawasnya, Haji Omar Said Tjokroaminoto.
Rumah Tjokroaminoto tidak jauh dari rumah lama Soekemi tempat Sukarno dilahirkan, di Kampung Paneleh Gang VII. Seperti diakui Sukarno, sang bapak tak mau anaknya kebarat-baratan karena sekolah di ELS.
“Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki oieh Belanda sebagai Raja Jawa yang tidak dinobatkan,” kata Soekemi pada anaknya. Sukemi tampak ingin anaknya seperti tokoh pewayangan bernama Karna.
“Raden Sukemi, meskipun dikenal sebagai tokoh theosofi, merasa kagum kepada sepak terjang Tjokroaminoto,” tulis Subagyo I.N. dalam Harsono Tjokroaminoto: Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah(1985: 7).
Sementara Anwar Harjono dalam Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan (1997: 29) menyebut, “Raden Sukemi Sosrodihardjo adalah sahabat karib Tjokroaminoto.”
Mengantar ke Gerbang
Soekemi mengirim Sukarno ke tempat yang tepat. Putranya itu akhirnya dikenal sebagai anti-Belanda. Bahkan menjadi musuh pemerintah kolonial. Sebelum Soekemi meninggal dunia pada 18 Mei 1945, tepat hari ini 74 tahun lalu, Sukarno berkali-kali dapat hukuman berat dari pemerintah kolonial. Di zaman Jepang, Soekemi melihat anaknya sudah jadi orang yang terkemuka di Jawa.
Sukarno pernah mengeluh soal gaji Sukemi yang 25 gulden sebulan ketika Sukarno masih kecil. Selama bekerja di lingkungan pendidikan kolonial, ayahnya pernah menjadi mantri guru, yang penghasilannya lumayan, hingga Sukarno bisa bersekolah tinggi.
“Bagi seorang Mantri Guru hal itu mungkin, sampai juga dapat membeayai puteranya bersekolah di Technische Hogeschool di Bandung, di mana uang kuliahnya fl. 25.— setiap bulannya,” tulis Moehammad Roem, dalam Bunga Rampai dari Sejarah - Volume 1 (1977: 173).
Sukarno berhasil jadi orang berpendidikan setara orang Belanda karena Soekemi. Dan keterlibatan Sukarno dalam pergerakan nasional, sengaja atau tidak, juga karena Sukemi.
Jadi Inggit Garnasih bukan satu-satunya orang yang mengantarkan Sukarno ke pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Soekemi malah lebih dahulu mengantarkan Sukarno pada kemajuan, dengan mengirim ke sekolah belanda dan kos-kosan Tjokroaminoto.
Editor: Ivan Aulia Ahsan