tirto.id - Tersebutlah seorang anak priayi rendah bernama Soebroto. Ayahnya bernama Raden Soewadji, seorang wedana. Dengan kepala keluarga bekerja sebagai birokrat kolonial, sudah barang tentu keluarga Raden Soewadji hidup serba cukup dan terpandang.
Terbiasa hidup mewah dan dimanja kakek-neneknya, Soebroto kecil tumbuh sebagai bocah nakal. Malas belajar dan suka kelahi adalah bagian dari kesehariannya. Bukan Soebroto namanya jika tak pulang dengan wajah bengkak dan pakaian koyak. Kendati diajari tirakat dan sedikit olah batin oleh pamannya, kelakuannya tak banyak berubah.
Tabiat macam itu ia bawa hingga merantau ke Batavia di umur 15. Remaja Soebroto diterima sekolah di STOVIA, sekolah elite para calon dokter Jawa. Meski begitu, Soebroto ternyata lebih gemar mengejar kesenangan hidup daripada ilmu. Untuk menunjang gaya hidupnya yang mewah, tak jarang ia terjerat utang atau membohongi keluarga agar dapat uang saku ekstra.
Tapi dunia pemuda Soebroto runtuh seketika kala ayahnya meninggal secara mendadak pada Juli 1907. Secara tiba-tiba ia kehilangan penopang. Baru kali itu ia ingat posisinya sebagai putra sulung, yang artinya beban penghidupan keluarga kini berpindah ke pundaknya. Beban tersebut kian berat kala Soebroto menyadari bahwa tanpa ayahnya ia bukanlah siapa-siapa.
Dalam sebuah memoar ia menulis, “Saya merasa, bahwa orang-orang telah merobah sikapnya pada diri saya dan keluarga saya. Kehormatan, kemurahan hati dan kemanisan tutur katanya, keramahan tingkah lakunya dan sebagainya kenalan kita, ternyata bukannya dengan sungguh-sungguh, hanya pulasan di luar saja, karena pengaruh kematian ayah saya itu.”
Keterpurukan adalah awal dari perubahan besar, demikian filsuf Tiongkok kuno Lao Tze pernah berkata. Kemalangan itu mengubah jalan hidup pemuda Soebroto. Kini ia punya pandangan lebih jernih tentang karier dan masa depannya. Ia juga kian menyadari posisinya sebagai kaum terdidik di alam kolonial.
Beberapa lama setelah sang ayah mangkat, Soebroto menarik diri dari pergaulan. Tapi ketika ia kembali, ia muncul sebagai pribadi yang berbeda. Permenungannya di masa-masa sulit itu tak hanya membuatnya sadar akan tanggung jawab kepada keluarga, tapi juga membawanya lebih aktif dalam urusan-urusan sosial dan politik. Hingga kemudian ia ikut dalam arus pertama pergerakan nasional, bahkan jadi salah satu pelopornya.
Senior Pergerakan yang Dihormati
Banyak orang tak akan mengenal Soebroto sebagai pionir pergerakan nasional. Tapi jika menyebut Soetomo, mereka pasti akan langsung mafhum. Soebroto adalah nama kecil Soetomo, inisiator di balik berdirinya Budi Utomo. Lelaki kelahiran Nganjuk, 30 Juli 1888 ini mengganti namanya jadi Soetomo saat masuk ke sekolah menengah.
Beberapa bulan setelah sang ayah meninggal, Soetomo bertemu Dokter Wahidin Soedirohoesodo di Batavia. Kala itu ia sedang berkampanye keliling untuk menggalang beasiswa bagi pelajar bumiputra. Soetomo amat tertarik dengan ide itu lantas menjajaki kemungkinan merealisasikannya.
“Ia memperluas gagasannya itu dengan mencakup masalah-masalah politik dan sosial yang ia dan para mahasiswa anggap penting dalam pembangunan masyarakat. Berkat hasil kegiatan-kegiatannya dalam merangsang perhatian para mahasiswa, Boedi Oetomo berhasil dibentuk pada 1908,” tulis Savitri Scherer dalam Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX (2012: 153).
Tapi barangkali kebanyakan orang hanya mengenalnya sebatas itu, sebagaimana buku pelajaran sekolah mengabarkannya. Padahal aktivitasnya tak hanya berhenti di Budi Utomo. Namanya kemudian memang tak setenar Sukarno-Hatta-Sjahrir, tapi perannya merentang panjang.
Usai lulus dari STOVIA pada 1911, Soetomo berpindah-pindah tempat dinas sebagai dokter. Pada 1919 ia dapat beasiswa untuk menempuh ujian dokter di Universitas Amsterdam. Di sana, selain kuliah, tentu saja Soetomo ikut berkegiatan di Indische Vereeniging.
Di antara para mahasiswa Indonesia di Belanda, Soetomo dianggap senior dan dihormati. Ia juga sempat dipilih jadi ketua Indische Vereeniging periode 1921-1922.
“Rumahnya menjadi tempat pertemuan mahasiswa Indonesia, dan sesudah ia tak lagi menjadi ketua PH pun nasihatnya masih selalu diminta oleh para mahasiswa Indonesia yang menjadi semakin radikal itu,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2014: 164).
Konservatisme "Indonesia Mulia"
Usai menempuh pendidikan spesialis penyakit kulit di Jerman, Dokter Soetomo mudik ke Indonesia pada 1923. Ia kini menetap di Surabaya dan berdinas lagi di Rumah Sakit Simpang. Suratmin dalam biografi Dr. Soetomo (1982) menyebut sang dokter juga bertugas sebagai pengajar di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS).
Saat ia kembali, pergerakan nasional sudah makin semarak. Selain Budi Utomo, kini telah berdiri pula Sarekat Islam dan PKI. Tapi ia tak lantas bergabung dengan salah satu dari ketiganya. Ia tak sreg dengan SI dan PKI yang dikotomis dan cenderung radikal, sementara Budi Utomo dirasanya semakin kolot.
Pada 1924 ia lantas bikin sendiri gerakan yang lebih cair dan berbasis pendidikan: Indonesische Studieclub.
“Persatuan ini, yang berusaha untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat Pribumi dengan memberitahukan kepada mereka tentang situasi politik dalam dan luar negeri ketika itu, merupakan persatuan pertama yang pernah didirikan di Hindia Belanda,” tulis Savitri (hlm. 144).
Kegiatan utama Indonesische Studieclub adalah diskusi politik dan pembahasan persoalan publik. Kebanyakan anggotanya adalah pelajar. Model ini lalu diikuti Sukarno di Bandung dengan Algemeene Studieclub.
Setelah jalan sekira enam tahun, Soetomo mengembangkan Indonesische Studieclub jadi organisasi politik. Per 16 Oktober 1930 namanya berganti jadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Lalu pada akhir 1935 PBI dan Budi Utomo berfusi jadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Tak hanya berpolitik, Parindra pimpinan Soetomo juga bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi melalui bank, koperasi, dan organisasi tani. Lain itu, ia juga menginisiasi pendirian beberapa panti asuhan dan rumah sakit.
“Setelah Parindra terbentuk kemudian masuk di dalamnya beberapa perkumpulan lain, ialah Sarekat Selebes, Sarekat Sumatra, Sarekat Ambon, Perkumpulan Kaum Tani dan Tirtayasa. [...] Tentang azas Partai Indonesia Raya adalah untuk mencapai cita-cita yang terakhir mencapai Indonesia Mulia,” tulis Suratmin (hlm. 199).
Ketika organisasi lain sudah demikian berani memacak cita-cita Indonesia merdeka, cita-cita Parindra itu tentu dianggap aneh oleh aktivis pergerakan lain. Menurut Savitri, hal ini agaknya harus dikembalikan pada pribadi dan pemikiran Soetomo yang sejak awal berbeda dari aktivis pergerakan, baik seangkatannya maupun yang lebih muda dan radikal.
Tak seperti Tjipto Mangoenkoesoemo atau Soewardi Soerjaningrat yang vokal, Soetomo cenderung moderat dan sangat percaya pada harmoni. Ia juga termasuk orang yang masih percaya bahwa perubahan sosial dan politik dimulai dari atas, dari para priayi seperti dirinya yang bertindak sebagai penuntun.
Dalam banyak hal, Soetomo adalah seorang konservatif. Karenanya di kalangan aktivis pergerakan ia lebih dikenal sebagai “pembangun”, bukan “pendobrak” laiknya Tjipto atau Sukarno. Jadi, tak heran jika ia amat berhati-hati dalam langkah politiknya.
Latar belakang macam itulah yang mendasari pemilihan diksi “Indonesia Mulia” itu. Bisa dibilang, itu adalah cara memutar untuk menjelaskan cita-cita politiknya, guna menghindari represi pemerintah kolonial yang kian intens pasca-pemberontakan PKI 1926-1927.
Dalam artikelnya, “Kompetisi ora Konkurensi”, yang terbit dalam bunga rampai Puspa Rinontje (1932), Soetomo menjelaskan bahwa sebenarnya kemerdekaan itu sudah tercakup dalam diksi mulia itu. Baginya, merdeka masih lah satu tahapan saja menuju cita-cita yang lebih besar. Kemerdekaan saja tak menjamin apa pun selain kebebasan.
“Meskipun kemerdekaan sudah tercapai, kita masih harus berjuang dan masih harus berkorban—dan bahkan mungkin lebih sukar—untuk memperoleh kemuliaan, memperbaiki keadaan rakyat, membangun rakyat pribumi, memperbaiki keadaan ekonomi dan sosial kita,” terang Soetomo yang wafat pada 30 Mei 1938, tepat hari ini 81 tahun silam.
Editor: Ivan Aulia Ahsan