Menuju konten utama

Pasang Surut Nasib Becak di Tangan Empat Gubernur Jakarta

Sebelum dan pada saat Ali Sadikin jadi gubernur DKI, becak dibatasi. Setelah itu sempat dilonggarkan, kemudian diketatkan lagi. Kini, pada masa Anies Baswedan ada wacana membebaskan secara terbatas becak.

Pasang Surut Nasib Becak di Tangan Empat Gubernur Jakarta
Becak masih sangat populer dimanfaatkan di Yogyakarta sebagai transportasi. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ingin meniru hal serupa di daerahnya. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Film dokumenter Wet Earth, Warm People (1971) menampilkan adegan becak-becak yang pernah ada di Jakarta. Dalam film, Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta yang pernah membatasi becak, terlihat blusukan. Ia juga memeriksa rijbewijs alias surat izin mengemudi becak. Terlihat pula Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Hoegeng Imam Santoso setelah razia becak itu.

Sebelum Ali Sadikin jadi gubernur, becak sudah diperketat pengawasannya di Jakarta sejak awal 1960-an. “Penguasa Perang Daerah Jakarta menetapkan daerah operasi becak atau pembagian rayonnya, sekaligus penyeragaman warna becak,” tulis Erwiza Erman dalam "Kehidupan dan Politik Penarik Becak di Jakarta 1930-1960" di buku Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (2013: 415).

Baca juga: Solusi Maksiat ala Ali Sadikin

Selain itu, sudah ada pula daerah-daerah yang haram dilewati becak. Pada Desember 1962, wilayah Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, yang banyak terdapat kantor-kantor pemerintahan, termasuk daerah terlarang untuk becak.

Becak makin dipersempit ruang geraknya seiring dengan kebijakan Sukarno “yang ingin menampilkan wajah kota Jakarta dengan membangun proyek-proyek raksasa dan memodernisir alat transportasi,” tulis Erwiza Erman (hlm. 416).

Setelah Ali Sadikin berkuasa, ada kawasan yang disebut "Zona Bebas Becak". “Kalau mereka sudah berbondong-bondong melintasi jalan-jalan besar, polisi susah mengaturnya,” ujarnya dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1993: 231).

Ali Sadikin secara bertahap berusaha menghilangkan becak dari tengah Kota Jakarta. Pemerintah berusaha mengganti becak dengan bemo. Pada 1967, becak tak diakui sebagai angkutan umum di Jakarta, meski tak bisa hilang begitu saja.

Pada 1972 juga muncul isu yang sama. Tak hanya becak, pada tahun itu Oplet juga ditertibkan Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk dijadikan angkutan luar kota. Jalur yang tak dilalui Oplet digantikan bus-bus kota.

Baca juga:Melacak Asal Usul Isitilah Oplet

Dilonggarkan, Lalu Kembali Diperketat

“Selambat-lambatnya, akhir Pelita II (1979) becak sudah harus hapus dari wilayah DKI Jakarta. Ini sesuai dengan Surat Keputusan DPRD DKI Jakarta Nomor 10/13/DPRD/1972 yang memperkuat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta mengenai masalah penghapusan becak,” tulis Kompas (3/12/1977).

Menurut catatan Erwiza Erman, pada 1970 ada larangan produksi becak baru dan surat izin juga tak dikeluarkan lagi (hlm. 418).

Meski ada niatan itu, setelah Ali Sadikin digantikan Tjokropranolo pada 1977 sebagai gubernur DKI Jakarta, becak masih tetap beroperasi sampai 1980-an. Di tahun yang sama ketika gubernur berganti itu adalah tahun kemenangan golongan Karya (Golkar) dalam Pemilu secara keseluruhan, tapi tidak menang di daerah Jakarta.

Gubernur Tjokropranolo dianggap longgar untuk urusan becak. Tukang becak bisa leluasa lagi cari makan di Jakarta. Tjokropranolo, yang biasa disapa Bang Nolly, juga berasal dari militer juga seperti Ali Sadikin. “[Tjokropranolo] dianggap sebagai pejabat yang lamban. Tapi tak sedikit yang cemas. Terutama tukang becak, yang di bawah Tjokropranolo menikmati keleluasaan beroperasi,” lanjut Erwiza.

Baca juga: Kisah Kapten Nolly Sang Gubernur DKI

Bahkan, di masa kampanye jelang Pemilu 1982, seperti dicatat Tempo (Volume 19, 1990), ketika tukang becak dikumpulkan di Balai Sidang Senayan, Jakarta, Bang Nolly bersama istri hadir di sana. Bang Nolly dan istri datang dengan naik becak. Bang Nolly jadi pahlawan bagi para abang becak. Dia sesumbar: “Pemda DKI tak akan menghapuskan becak di Jakarta” (hlm. 74).

Setelah 1982, tukang becak Jakarta melihat kenyataan Bang Nolly tak jadi gubernur lagi. Nasib becak dan pengayuhnya makin suram. Tjokropranolo digantikan R. Soeprapto, juga seorang jenderal. Soeprapto jadi gubernur hingga 1987. Pada 1980-an, menurut Erwiza, jumlah becak di Jakarta menurun menjadi 55 ribu unit. R. Soeprapto adalah orang yang yakin becak-becak itu akan punah secara alamiah (hlm. 419).

infografik balada becak

Soeprapto kemudian digantikan Wiyogo Atmodarminto, juga seorang jenderal. Sebagai jenderal, mereka berpengalaman mengatur tentara-tentara, tapi mengatur tukang becak bukan hal mudah. Wiyogo tampaknya dianggap seperti Ali Sadikin dalam urusan becak.

Baca juga: Bisnis Parkir di Jakarta Era Ali Sadikin

“Gubernur Wiyogo Atmodarminto tanpa ampun dalam upaya menghabisi becak mengadakan razia-razia di berbagai tempat,” tulis Alwi Shahab dalam Kasino Bernama Kepulauan Seribu (2007: 193).

Zaman Wiyogo jadi gubernur, aparat keamanan menggaruk ratusan becak untuk dinaikkan ke truk-truk. Becak-becak itu kemudian dibuang ke laut dan rencananya akan dijadikan terumbu buatan bagi ikan-ikan. Namun, becak yang dibuat ke laut itu tak ubahnya sampah. Menurut Alwi, tidak kurang 40 ribu becak dibuang ke laut.

Gubernur dengan jargon Bersih, Manusiawi, dan berWibawa (BMW) ini, menurut Paul S. Baut dalam Remang-remang Indonesia (1989), menganggap bahwa “penghapusan alat transportasi becak di DKI Jakarta akan tetap dilanjutkan secara bertahap, karena pekerjaan menarik becak dinilai sebagai penghisapan manusia atas manusia” (hlm. 181).

Hal itu dikatakan Wiyogo Atmodarminto terkait saran delegasi Belanda agar becak dilonggarkan. Ketika itu, becak sudah termarjinalkan alias beroperasi di daerah pinggiran saja, di mana kendaraan bermotor jadi pesaingnya.

Baca juga artikel terkait BECAK atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan