tirto.id - Almarhum bapak saya semasa hidupnya bekerja sebagai pengayuh becak di Bandung. Dari sekian belas tahun bapak menarik becak, saya pernah punya pengalaman yang agaknya akan senantiasa membekas di ingatan.
Bulan Juni 2000, saat bekerja menjadi buruh di pabrik tekstil dan nyambi kuliah di Universitas Terbuka, saya pernah diajak bapak menumpang becak yang ia kemudikan. Saat itu saya sedang membutuhkan beberapa diktat mata kuliah dan bapak menawari untuk menemani mencarinya. Begitulah, dari Stasiun Kiaracondong ia mengayuh becak yang ia sewa mengantar saya mencari diktat.
Sekarang, saya ingin mengenang jasa bapak, sekaligus memenuhi rasa ingin tahu yang terpendam lama. Saya menelusuri jejak-jejak keberadaan becak di Bandung, tempat bapak menafkahi keluarga bertahun-tahun. Kesan selama menelusuri berbagai pustaka lawas, saya mendapatkan gambaran bahwa sebagai moda transportasi umum, becak baru hadir di Bandung paling tidak sejak tahun 1940.
Dari sejumlah surat kabar lama, kata "becak" sudah mengemuka sejak tahun 1930-an. Misalnya, kata tersebut muncul dalam cerita bersambung Lara Balangsak noe Ngadadak karya Moh. Kosam dalam Sinar Pasoendan edisi 12 Desember 1934.
"Mobil pabalioet, mapaj-mapaj djalan noe boetbat pating arembat. Noe narik betja patarik-tarik loempatna, sieun beakeun moeatan. Toko-toko pinoeh koe noe barangbeuli”
(Mobil ke sana-kemari, melintasi jalan yang lurus. Penarik becak berbalapan, takut kehilangan penumpang).
Dengan catatan, latar ceritanya berlangsung di Singapura. Artinya pada 1934, becak sudah dikenal oleh publik yang berbahasa Sunda, kemungkinan besar dari berbagai bacaan yang terbit semasa.
Memang demikian, karena di antaranya terdapat beberapa catatan perjalanan orang Sunda ke Singapura dan menyebut-nyebut keberadaan becak. Misalnya, tulisan Ios Wiriatmadja yang dimuat dalam Sipatahoenan edisi, 2 Oktober 1935, dengan tajuk “Ngadjoegdjoeg Nagara Japan” (Menuju Negara Jepang).
Dalam perjalanan ke Jepang, penulis singgah di Singapura. Di antara yang ia lihat adalah becak, seperti yang tampak dalam kutipan ini, "Komo di lebah Rochor Canal Road saban wengi pinoeh koe reboe-reboe koeli-koeli djeung toekang narik betja, kabeh bangsa Tionghoa.”
(Apalagi di Rochor Canal Road setiap malam penuh oleh beribu kuli dan penarik beck, semuanya bangsa Tionghoa).
Demikian pula dalam catatan perjalanan H. Badjoerie saat melakukan perjalanan ke Singapura tahun 1937 (“Lalampahan ka Tanah Malajoe”, Sipatahoenan, 21 Agustus 1937). Katanya, “Geus tamat ngoerilingan museum, balik deui ka hotel. Istri2 keukeuh ngadjakan toempak betja, atoeh kabeh naroempakan betja”
(Setelah selesai berkeliling museum, kami kembali ke hotel. Tetapi istri-istri bersikukuh mengajak menumpang becak, sehingga akhirnya semuanya naik becak).
Mula-mula di Jakarta
Kehadiran becak di Indonesia agaknya bermula di Jakarta. Pada awal 1940, bahkan becak memunculkan permasalahan tersendiri, seperti yang dapat disimak dari tulisan “Karna Netra (II)” yang membahas keadaan di Jakarta.
Jent Conto yang menulis untuk Sipatahoenan (27 Februari 1940) itu antara lain menyoroti bahwa tukang becak tidak beraturan kala berpakaian, sehingga tidak sedap dipandang. Ia juga menyampaikan kritik dari sisi kemanusian. Menurutnya, tukang becak bukanlah kuda yang sering membawa sampai lima orang penumpang, padahal seharusnya dua orang saja. Apalagi nanti bila nanti terjadi kecelakan, tertubruk, meskipun saat itu belum ada yang terjadi. Pernyataan terakhir saya pikir menunjukkan barunya fenomena becak sebagai moda kendaraan di Jakarta.
Pada tulisan Jent Conto selanjutnya (“Karna Netra” dalam Sipatahoenan, 18 Maret 1940), ia menginformasikan pemerintah Jakarta mengizinkan becak membawa dua orang penumpang Selengkapnya Jent menyatakan, “Kitoe noe geus dipoetoeskeun koe Haminteu Batawi teh, iwal ngamoeat baroedak (sakola). Eta poetoesan njegah tereh remoekna toekang betja, noe achirna bisa ‘tahan lama hidoep’”
(Demikian yang diputuskan oleh Kotamadya Jakarta, kecuali memuat anak-anak [sekolah]). Keputusan tersebut untuk mencegah agar tukang becak tidak cepat remuk, sehingga akhirnya dapat bertahan lama hidup).
Selain itu, kata Jent, dengan adanya becak, maka para penganggur bangsa bumiputra yang sangat banyak dan susah mendapatkan pekerjaan dapat berkurang.
Berita-berita selanjutnya yang berkaitan dengan becak banyak terutama berasal dari Jakarta. Dalam perkembangannya, memang timbul permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan tindakan kriminal, seperti pemerkosaan yang dilaporkan Sipatahoenan (7 Juni 1940) dengan judul “Awas Toekang Betja”, penyerangan terhadap F. Dumas penduduk Gang Tanah Commandant saat menumpang becak (“Dikadek dina Betja”, Sipatahoenan, 25 Juli 1940).
Peristiwa kecelakan yang sudah diproyeksikan oleh Jent Conto juga terjadi. Misalnya, peristiwa tabrakan antara beca dengan delman di sekitar kantor pegadaian, Jembatan Serong, Tanah Abang (“Betja kontra Delman”, Sipatahoenan, 28 Agustus 1940).
Kehadiran Becak di Bandung
Kehadiran becak di Bandung baru diberitakan Sipatahoenan pada Oktober 1940. Dalam tulisan “Tambah Reana Toetoempakan di Bandoeng” (Kian Banyaknya Moda Kendaraan di Bandung) yang dimuat Sipatahoenan edisi 10 Oktober 1940, kita dapat mengetahui asal-usul becak, pemilik atau pengusah pertamanya, tempat membuatnya, dan tanggapan orang Bandung.
Pada awal tulisan disebutkan dengan hadirnya becak yang disebut sebagai “kareta mesin noe make kikiping tiloe” (kereta mesin yang menggunakan roda tiga), moda kendaraan di Bandung menjadi bertambah. Dampaknya, penghasilan orang yang biasa menyewakan delman atau kretek menjadi berkurang, demikian pula para kusirnya.
Menurut penulis artikel tersebut, becak baru ada sekitar sebulan lamanya di Pasirkaliki yang diusahakan oleh seorang Tionghoa. Katanya, "roda tiga" atau becak itu bukan kendaraan baru, sebab sebelum ada di Bandung dan Jakarta, sekitar lima tahun lalu di Makassar sudah terlebih dulu ada.
Dari keterangan selanjutnya, ternyata orang Bandung tidak heran dengan kehadiran becak dan jumlah becak di Bandung yang semula hanya lima unit, serta tidak banyak banyak yang minat menumpang, padahal kendaraannya lebih praktis daripada delman, karena lebih menarik, bagus, tidak berbahaya, dan lebih cepat.
Informasi lainnya, becak yang disewakan di Bandung bukan buatan Eropa atau Jepang, melainkan oleh seorang Tionghoa di Bandung. Tempat pembuatannya berada di Padjagalanweg No. 1. Dengan demikian, harga sewanya terbilang sangat murah, yaitu satu talen selama setengah jam atau lima kelip satu jam.
Penyebab becak kurang diminati di Bandung, karena ukurannya sama dengan sepeda milik pemerintah Kota Bandung yang biasa digunakan untuk mengangkut sampah. Jadi, tempat duduknya sangat rendah, penumpangnya duduk di bawah pengemudi yang duduknya persis di bawah kepala penumpang. Dengan demikian, ketika menumpang becak itu sekilas mirip dengan barang yang bernyawa atau sampah hidup.
Informasi lainnya yang membahas mengenai kehadiran becak di Bandung terdapat dalam artikel bertajuk “Lalakon Taxi Boseh” (Sipatahoenan, 29 Oktober 1940). Pada awal tulisan digarisbawahi bahwa di Bandung sudah ada satu-dua orang yang membuka usaha becak, meskipun tidak terlalu memuaskan. Tetapi dalam beberapa waktu kemudian, kian bertambah orang yang mempunyai taksi kayuh di Bandung.
Daerah operasi becak di Bandung konon bisa ke mana-mana di seantero kota, di sebelah selatan dari Kebon Kawung ke Situsaeur terus ke selatan, ke sebelah timur hanya hingga mencapai Alun-Alun ke Tegallega berlanjut ke Cigereleng. Dengan catatan hanya di tempat-tempat yang tanahnya datar. Ke arah timur, para pengayuh becak mengalami kesusasahan, apalagi mencapai Cikudapateuh, melalui Groote Lengkong pun sangat kerepotan. Apalagi ke arah utara, seperti ke Lembangweg dan Dagoweg yang terus-menerus menanjak.
Biasanya penyewa becak membayar kepada pemiliknya sebesar lima kelip sehari atau rata-rata bisa mendapatkan satu rupiah per hari. Padahal, bayaran penumpang terutama anak-anak tidak lebih dari satu benggol (dua setengah sen).
Memang motivasi orang-orang yang menumpang becak bukanlah karena ada keperluan, melainkan hanya tertarik dan mau mencoba saja dan tidak jauh-jauh. Misalnya membayar satu benggol hanya untuk berkeliling lapangan pacuan kuda di Tegallega dan dua sen dari perlintasan Bojongloa (Kopoweg) ke batas kota di Situsaeur atau batas kota Situsaeur ke Rumah Sakit Immanuel.
Selain itu, kehadiran becak di Bandung meningkatkan peluang kecelakaan di jalan. Ia mencontohkan dalam seminggu sudah ada tiga orang yang becaknya terbalik, yaitu di Sasakgantung, Kopoweg, dan Situsaeur (di depan rumah sakit).
Kecelakaan yang terakhir lumayan parah, sebab penumpangnya lima orang anak-anak, becaknya terbalik dan terjerumus ke dalam kolam. Oleh karena itu, akhirnya, penulis artikel menganggap pengusahaan becak sangat menyiksa manusia.
Nasib Penarik Becak
Setelah dua bulan becak beroperasi di Bandung, keadaan para penariknya diberitakan sangat menyedihkan. Hal ini dapat dibaca dari tulisan berjudul “Nasibna Soepir Taxi Boseh” (Sipatahoenan, 6 November 1940). Di situ antara lain dikatakan berkaitan dengan nasib ratusan pengayuh becak di Jakarta yang harus tetirah di rumah sakit karena terkena penyakit hernia, keadaan para penarik becak di Bandung pun bisa dikatakan tidak terlalu baik.
Selain sering pengayuhnya berganti-ganti, nasib sehari-hari penarik becak di Bandung lebih buruk daripada koleganya di Jakarta. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk sekehendak hati membawa muatan seperti di Jakarta, melainkan terpaksa harus berkeliling di dalam kota hanya di bagian selatan.
Setelah memperhatikan pemberitaan di Sipatahoenan, anggota Dewan Kota Bandung (Gemeente Bandoeng) Vastenhouw menyampaikan nasib tukang becak dalam rapat pada 21 November 1940. Ia antara lain menyampaikan agar memperhatikan kesehatan sopir-sopir becak dan memohon agar becak hanya beroperasi di Bandung sebelah selatan saja, karena tanahnya datar. Sebaliknya, bila mereka harus mengayuh ke Bandung sebelah utara kasihan, sebab kian menanjak.
Demikianlah kehadiran awal becak di Bandung. Becak yang awalnya dikenal sebagai “roda tiga” atau “taksi boseh” menandai sejarah penting dalam transportasi umum di Kota Bandung sejak paruh kedua tahun 1940, persisnya sekitar September 1940. Meskipun awalnya tidak begitu populer di kalangan masyarakat Bandung karena ukurannya dianggap kurang nyaman dan tidak manusiawi, becak terus digunakan dan bertahan hingga sekarang.
Petikan dari surat kabar Sunda yang saya gunakan dalam tulisan ini menggambarkan proses becak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari orang Bandung, termasuk tantangan yang dihadapi para penarik becak dalam mencari nafkah di tengah persaingan dengan moda transportasi lain.
Termasuk tentu saja bapak saya. Ia pekerja keras yang mengayuh becak demi menghidupi keluarga. Becak yang dianggap sebagai transportasi sederhana dan tidak manusiawi, bagi saya, adalah simbol ketekunan, kerja keras, dan kasih sayang.
Penulis: Atep Kurnia
Editor: Irfan Teguh Pribadi