tirto.id - Periode pertama Presiden Joko Widodo akan berakhir dalam waktu kurang dari sepekan. Per tanggal 20 Oktober 2019, ia akan memulai periode keduanya dengan limpahan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Salah satunya, pembangunan pembangkit 35 ribu megawatt (MW) yang masih jauh dari target.
Diluncurkan pada Mei 2015, di Gadingsari, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, megaproyek yang semula diharapkan rampung dalam lima tahun itu molor dan mengalami penjadwalan ulang menjadi 2023-2024.
Banyak problem yang membuatnya tak sesuai rencana. Salah satunya, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR) Fabby Tumiwa, lantaran kesalahan dalam proses perencanaan.
Saat diluncurkan, proyek tak bisa langsung dimulai lantaran pemerintah masih perlu mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai peta jalan atau master plan pelaksanaannya. Alhasil lelang dan pengadaan baru dilaksanakan 2016-2017 dan konstruksi di akhir 2017.
Di samping itu, pasokan listrik 35 ribu MW ditetapkan dengan dengan memperhitungkan pertumbuhan rata-rata ekonomi Indonesia sebesar enam persen tiap tahun ditambah pertumbuhan konsumsi listrik 7.000 MW per tahun.
Tingginya asumsi itu sejalan dengan ekpsektasi pemerintah bahwa akan banyak industri bermunculan dan permintaan listrik makin besar. Namun, hampir genap 5 tahun, tak satu pun asumsi itu terpenuhi.
“Jadi perencanaannya 2 kali lebih tinggi dari kondisi riil. Pertumbuhan ekonomi sekarang di kisaran 5 persen dan permintaan listrik di bawah 5 persen,” ucap Fabby saat dihubungi reporter Tirto, Senin (14/10/2019).
Jika dilihat dengan capaian pemerintah saat ini, asumsi yang ditetapkan untuk proyek tersebut memang terlalu ambisius. Dari lima puluh target kawasan ekonomi khusus (KEK)--dalam kurun lima tahun--misalnya, pemerintah cuma sanggup memenuhi 13 KEK.
Tak hanya itu, pertumbuhan industri manufaktur Indonesia juga mengalami kontraksi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2019, pertumbuhan industri terus turun dari 4,85 persen di 2017 ke 3,98 persen di 2019.
Tak ayal pada Juli 2019, pemerintah mulai mengeluarkan pernyataan pesimistis. Proyek pembangkit 35 ribu MW, kata Menteri ESDM Ignasius Jonan, tetap berjalan tetapi “menyesuaikan” dengan kebutuhan masyarakat dunia usaha.
Per Agustus 2019 lalu, berdasarkan catatan IESR, pembangkit yang sudah beroperasi komersial (commercial operation date/COD) baru menyentuh 3.600 MW. Sekitar 22 ribu MW masih dalam tahap konstruksi dan baru COD secara bertahap mulai 2021, sementara sekitar 9.600 MW masih dalam tahap perencanaan maupun pelelangan.
Konsumsi Listrik Stagnan
Lalu bagaimana dengan konsumsi masyarakat? Jika pun proyek pembangkit tersebut terealisasi, Fabby menilai rumah tangga tak akan bisa mengisi gap 35 ribu MW yang disisakan oleh industri.
Pasalnya, prioritas pemerintah dalam target elektrifikasi 98 persen per 2019 umumnya ditujukan untuk masyarakat berpendapatan rendah dengan kapasitas daya terpasang 450 VA dan 900 VA.
Dari total 98 persen itu, ada 1,5-2 juta rumah tangga di antaranya hanya membutuhkan listrik untuk penerangan. Dan itu pun bisa tercukupi lewat penggunaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE).
Belum lagi, selama ini konsumsi listrik dalam produk yang efisien dan hemat energi juga tidak bisa dipungkiri terus berkembang.
IESR dan Universitas Monash University Australia pada Maret 2019 pun sempat membuat kajian soal akibat perbedaan asumsi kebutuhan listrik ini. Hasilnya menunjukkan adanya surplus kapasitas listrik sebesar 13 GW.
Lantaran itu pula, IESR pernah mengusulkan agar pemerintah meninjau ulang target 35 ribu MW. Sebab jika tidak, PLN akan kelimpungan untuk menjual listrik yang dibeli mahal dari swasta.
“Jadi bagus itu dimundurkan. Kalau tidak PLN akan kesulitan membeli listriknya. Dia enggak akan bisa jual,” ucap Fabby.
Peneliti Ekonomi-Energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan, megaproyek 35 ribu MW bisa saja dilanjutkan pemerintah. Asalkan, kata dia, realisasinya harus diundur atau paling tidak harus berbarengan dengan pesatnya pertumbuhan foreign direct investment atau penanaman modal asing.
Sebab, industri juga butuh kepastian ketersediaan energi agar ongkos bahan bakar yang mereka gunakan tidak terlampau mahal.
“Kalau asumsinya enggak tercapai, cukup undur waktunya aja. Kalau listrik enggak tumbuh saat industri bertambah bisa ada keterlambatan,” ucap Fahmy saat dihubungi reporter Tirto Senin (14/10/2019).
Terlepas ada kekeliruan membuat prediksi di awal, Fahmy berpandangan lembaga terkait seperti Kemenperin, Kemendag, dan BKPM perlu ikut bertanggung jawab. Menurutnya jika pertumbuhan industri Indonesia terjaga dan pesat maka proyek ini seharusnya tidak mengalami masalah realisasi.
“Periode kedua Jokowi harus bisa benahi kerja kementerian terkait untuk mendorong investasi di industri. Jadi ada permintaan listrik,” ucap Fahmy. “Soal ini memang bukan urusan PLN tapi kementerian terkait yang harus bisa genjot investasi dan industri,” pungkasnya.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana