tirto.id - Insitute for Essential Services Reform (IESR) memperkirakan terdapat potensi selisih 13 GW (gigawatt) dari konsumsi dan kapasitas listrik yang dihasilkan PLN pada 2028.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, potensi itu menandakan pembangunan pembangkit listrik oleh PLN perlu segera ditinjau ulang.
Ia juga mengatakan, jika pembangunan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terus dilanjutkan, maka ada sejumlah besar pembangkit yang tak terpakai kapasitasnya.
Dengan kata lain, lanjut dia, berpotensi menjadi aset yang terbengkalai saat investasi sudah terlanjur dijalankan.
“Kami melihat ada potensi pembangkit yang akan terbengkalai sebanyak 13 GW. Sementara [kalau PLTU] itu sudah dibangun nanti sia-sia,” ucap Fabby kepada wartawan usai acara bertajuk ‘Study Launching: A Roadmap For Indonesia’s Power Sector’ di Hotel Ashley, Jakarta, Kamis (21/2/2019).
Kajian bersama IESR dan Univeritas Monash University Australia menunjukkan selisih kapasitas senilai 13 GW, dipicu adanya perbedaan asumsi PLN dalam menghitung kebutuhan listrik.
Dalam hal ini, lanjut dia, pertumbuhan konsumsi listrik Jawa-Bali dan Sumatera menurut studi tercatat 4,6 persen atau lebih rendah dibanding asumsi RUPTL 2018-2027 sebesar 6,6 persen.
Fabby menilai tingginya estimasi PLN juga disebabkan, belum memasukkan faktor penggunaan listrik masyarakat yang semakin efisien. Ia mencontohkan, penggunaan lampu LED yang hemat energi.
Di sisi lain, Fabby mengingatkan meningkatnya tren pembangkit listrik yang berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT) juga akan menjadi faktor tak lagi digunakannya PLTU.
Sebabnya, imbuf Febby, seiring waktu biaya investasi dan operasionalnya semakin murah, sehingga kapasitas yang semula mengandalkan PLTU berpotensi tergantikan oleh EBT.
“Laju permintaan [listrik] yang dipakai PLN overestimate(menaksir terlalu tinggi). Di studi ini, kami coba proyeksi berapa [permintaan] yang wajar dan normal serta mempertimbangkan data historis,” ucap Fabby.
Manajer Senior Perencaan Sistem PLN, Kiswanto meminta IESR untuk membandingkan hasil kajiannya dengan RUPTL 2010-2019.
Menurut dia, cara meninjau RUPTL tak cukup hanya berlandaskan RUPTL 2018-2027 saja, tapi perlu melihat RUPTL 10 tahun ke belakang yang sudah pernah ditetapkan.
Lagipula ia menilai taksiran yang terlalu tinggi (overestimate) PLN tak perlu dipersoalkan lebih jauh, sebab hal itu memang untuk mengatasi ketidakpastian.
Menurut dia, dalam memprediksi penggunaan listrik pada masa depan bisa saja berbeda dengan estimasi.
“Kenapa RUPTL kita buat sedikit lebih tinggi, karena mengantisipasi ketidakpastian. Kalau pertumbuhan [konsumsi listrik] yang terjadi nanti belum tentu seketika sesuai target,” ucap Kiswanto.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali