Menuju konten utama

Mati Listrik Massal di Jabodetabek dan Sejarah Monopoli PLN

Sejarah mencatat, Jawa-Bali pernah mengalami mati listrik massal pada 18 Agustus 2005, dan kini terulang kembali yang membuat kinerja PLN disorot Presiden Jokowi.

Mati Listrik Massal di Jabodetabek dan Sejarah Monopoli PLN
Logo PLN. foto/www.pln.co.id

tirto.id - Mati listrik melanda Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi (Jabodetabek) dan sekitarnya, Ahad (4/8/2019) kemarin. Ini merupakan mati listrik massal (blackout) terlama dalam sejarah sejak Indonesia merdeka, selain pada 2005. PLN selaku pemegang monopoli listrik negara pun memohon maaf, tapi juga meminta masyarakat untuk ikhlas.

Dalam keterangannya, Executive Vice President Corporate Communication & CSR Perusahaan Listrik Negara (PLN), I Made Suprateka, memohon maaf kepada seluruh masyarakat. Made berjanji PLN segera melakukan perbaikan selekas mungkin.

"Kami mohon maaf sebesar-besarnya untuk pemadaman yang terjadi, saat ini upaya penormalan terus kami lakukan, bahkan beberapa Gardu Induk sudah mulai berhasil dilakukan penyalaan," kata Made, Senin (5/8/2019).

Matinya listrik massal ini juga dialami masyarakat di Banten dan Jawa Barat, bahkan hingga ke sebagian daerah di Jawa Tengah. Dampak yang ditimbulkan pun cukup luas, termasuk terganggunya layanan transportasi dan banyak fasilitas publik lainnya.

"Sekali lagi kami mohon maaf dan pengertian seluruh pelanggan yang terdampak akibat gangguan ini, kami berjanji akan melakukan dan mengerahkan upaya semaksimal mungkin untuk memperbaiki sistem agar listrik kembali normal," janji Made.

Selain memohon maaf, PLN juga meminta semua pihak ikhlas atas matinya listrik massal yang telah terjadi. Hal tersebut dikatakan oleh Pelaksana Tugas Direktur Utama PT PLN, Sripeni Inten Cahyani

"Kami mohon dukungan rekan-rekan semua dan keikhlasan dari para pelanggan. hari ini kita juga sulit berkomunikasi. Jadi kami mohon maaf," sebut Sripeni dalam keterangan pers terkait pemadaman listrik massal di Pusat Pengatur Beban (P2B) Gandul, Cinere, Kota Depok, Jawa Barat, Ahad (4/8/2019) sore.

Senin (5/8/2019) pagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyambangi Kantor Pusat PLN di Jakarta Selatan untuk menanyakan lebih rinci penyebab terjadinya mati listrik massal. Jokowi merasa heran mengapa PLN terlalu lambat mengatasi masalah ini dan tidak belajar dari pengalaman sebelumnya.

"Pagi hari ini saya datang ke PLN, mau mendengar langsung peristiwa pemadaman total minggu kemarin dan dalam sebuah manajemen besar, PLN mestinya ada tata kelola risiko-risiko yang dihadapi dengan manajemen besar," ucap Jokowi di Kantor Pusat PLN, Jakarta Selatan.

"Tentu saja ada contingency plan, back up plan. Pertanyaan saya kenapa [PLN] tidak bekerja dengan cepat? Saya tahu pernah kejadian 17 tahun lalu Jawa-Bali, harusnya itu bisa jadi pelajaran agar kejadian kembali lagi. Kita tahu ini tidak hanya merusak reputasi PLN tapi banyak juga hal di luar PLN yang dirugikan," tukas presiden.

Yang dimaksud Jokowi merujuk pada kejadian yang terjadi, pada Kamis, 12 September 2002. Saat itu, aliran listrik di DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek) dan Banten terputus mulai Kamis (12/9) petang pukul 17.55. Terputusnya aliran listrik akibat gangguan di salah satu Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) Cibinong.

Tiga tahun berselang atau 18 Agustus 2005, kejadian serupa kembali terjadi. Berdasarkan arsip Harian Kompas (2005), saat itu, mati listrik melanda Jawa dan Bali yang membuat masyarakat Jabodetabek dan Banten mengalami pemadaman listrik selama 3 jam, yang juga dirasakan hingga Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan Bali.

Jika ditarik lebih jauh lagi, kejadian terparah terjadi pada 13 April 1997. Saat itu, aliran listrik yang mati (blackout) di sebagian besar Jawa-Bali, terjadi secara mendadak dalam waktu hampir bersamaan, yaitu pukul 10.15 WIB. (pemadaman listrik selama kurang lebih 10 jam).

Kejadian itu sempat disebut sebagai blackout terparah sepanjang sejarah negara Indonesia. Namun, kejadian serupa kemarin barangkali lebih parah, termasuk dengan berbagai dampak yang ditimbulkan.

"Saya minta tidak terulang lagi, itu saja. Cukup sekian," tegas Presiden Jokowi di hadapan jajaran petinggi PLN.

Monopoli Listrik Negara

PLN merupakan satu-satunya instansi yang memegang kendali atas pengelolaan listrik di Indonesia, sehingga jika terjadi insiden listrik mati atau pemadaman listrik, dalam lingkup kecil apalagi dalam cakupan yang lebih luas, BUMN berbentuk Perseroan Terbatas (PT) inilah yang memang seharusnya bertanggung jawab.

Dikutip dari situsweb resmi PLN, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan terkait status PLN pada 1972. PLN ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum.

Status ini berlangsung cukup lama dalam rezim pimpinan Presiden Soeharto. Hingga pada 1994, pemerintah memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik. Maka, status PLN pun diubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan tetap sebagai PKUK, hingga kini.

Kendati demikian, fakta di lapangan menunjukkan PLN tetap saja memainkan peran sebagai satu-satunya penyedia layanan listrik di Indonesia. Memang, beberapa perusahaan swasta mengelola pembangkit listrik, akan tetapi untuk urusan distribusi tetap dimonopoli PLN.

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memang memberikan pengecualian terhadap beberapa BUMN, termasuk PLN dalam konteks penyediaan listrik negara untuk masyarakat.

Hal ini pernah disoroti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada 2009. Salah satu anggota KPPU waktu itu, Tadjuddin Noor Said, menyebut PLN tidak hanya berperan sebagai PT, tetapi sudah seperti regulator kelistrikan.

PLN, kata Tadjuddin dikutip dari HukumOnline (29 Februari 2009), bahkan berani menentukan pajak penerangan jalan raya dan pajak penggunaan listrik yang sebenarnya bukan wewenang BUMN berlogo petir itu.

Tadjuddin kembali mencontohkan, PLN, misalnya, boleh menentukan logistik kelistrikan. Akan tetapi, ketika PLN menentukan penggunaan lampu hemat energi tidak diperbolehkan, itu janggal. "Itu cenderung kartel," sebut Tadjuddin.

Menteri Dalam Negeri RI dalam Kabinet Kerja Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK), Tjahjo Kumolo, juga sempat menyentil hak monopoli PLN. Pada pertengahan 2016, Tjahjo menyarankan PLN tidak lagi memonopoli penyediaan layanan listrik di Indonesia.

"Selama ini, PLN telah melakukan monopoli dalam penyaluran listrik bagi masyarakat. Seharusnya PLN bisa seperti BUMN lainnya, misalnya Angkasa Pura, Pelindo dan beberapa BUMN lainnya," ujar Tjahjo.

Mendagri menyoroti fakta bahwa masih banyaknya keluhan masyarakat, khususnya di luar Jawa, akibat listrik yang sering mati mendadak dan berlangsung berulang kali bahkan dalam waktu yang relatif lama.

Terlebih dengan mati listrik massal yang terjadi di Jabodetabek dan sekitarnya kemarin, evaluasi mengenai monopoli listrik negara barangkali mulai bisa diwacanakan, salah satunya dengan tujuan PLN tidak lagi menanggung beban sendirian.

Baca juga artikel terkait MATI LISTRIK atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz & Mufti Sholih