Menuju konten utama

Sejarah PLN: Dari Monopoli Sampai Kasus Suap & Korupsi

PLN punya sejarah panjang dan memonopoli pengelolaan listrik negara. Kini, Dirutnya, Sofyan Basir, ditetapkan tersangka oleh KPK.

Sejarah PLN: Dari Monopoli Sampai Kasus Suap & Korupsi
Petugas PLN area Bandung mengibarkan bendera Merah Putih di sutet tower 127 Cilegon-Cibinong, Bogor. Antara foto/muhammad adimaja/aww/16.

tirto.id - KPK menetapkan Direktur Utama PLN, Sofyan Basir, sebagai tersangka suap dalam kasus korupsi pembangunan PLTU Riau-1, Selasa (23/4/2019), yang juga menyeret mantan anggota Komisi VII DPR-RI, Eni Saragih, serta eks Menteri Sosial, Idrus Marham. PLN punya sejarah panjang dan menjadi pelaku monopoli dalam urusan perlistrikan di Indonesia.

Purnawan Basundoro dalam buku Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan (2009) mengungkapkan, sejarah kelistrikan di Indonesia secara umum dimulai pada 1897 ketika Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM) didirikan. Inilah perusahaan listrik pertama di Hindia Belanda atau yang kelak bernama Indonesia.

NIEM bernaung di bawah N.V. Handelsvennootschap, sebelumnya bernama Maintz & Co., yang berpusat di Amsterdam. NIEM kemudian membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pertama di Hindia Belanda, berlokasi di tepi Sungai Ciliwung, tepatnya di Gambir, Batavia.

Beberapa tahun kemudian, di Surabaya didirikan Nederlandsche Indische Gas Maatschappij (NIGM), perusahaan gas Hindia Belanda dan masih bertalian dengan NIEM. Jika wilayah operasi NIEM meliputi Batavia dan sekitarnya, maka NIGM bertugas mengaliri listrik untuk kota-kota besar di Jawa Timur serta Jawa Tengah.

Dikutip dari Balanced Development: East Java in the New Order (1993) yang disusun Howard William Dick, ‎James J. Fox, ‎dan J.A C. Mackie, berdiri Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM) yang merupakan bagian dari NIGM. ANEIM berkembang pesat dan menguasai hampir 40 persen kelistrikan di Hindia Belanda, sedangkan NIEM justru meredup.

Sebelum Belanda kalah dari Jepang pada 1942, ANEIM telah memiliki banyak anak perusahaan yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara, meliputi Jawa, sebagian Sumatera Barat dan Utara, Bali dan NTB, Kalimantan Barat dan Selatan, bahkan hingga Gorontalo, serta Ternate di Maluku.

Dengan demikian, hampir seluruh wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda memperoleh aliran listrik, meskipun belum merata ke semua daerah. Kinerja ANIEM dinilai sangat baik, hingga kemudian harus terhenti setelah Indonesia diambil-alih oleh Jepang sejak 1942.

Monopoli Listrik Dimulai

Selama masa pendudukan Jepang, urusan kelistrikan negara ditangani oleh sebuah instansi bentukan pemerintah militer Dai Nippon bernama Djawa Denki Djigjo Sja. Lembaga ini punya beberapa cabang di sejumlah wilayah dengan pusatnya di kota-kota besar. Dari sinilah monopoli listrik di Indonesia dimulai.

Tahun 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Indonesia pun merdeka pada 17 Agustus 1945. Orang-orang Indonesia yang bekerja di Djawa Denki Djigjo Sja melawan, menduduki, dan mengambil-alih kendali perusahaan listrik tersebut.

Agar tidak terjadi kekacauan, pada 25 Oktober 1945 pemerintah RI yang belum lama berdiri membentuk Jawatan Listrik dan Gas Bumi. Buku 50 Tahun Pertambangan dan Energi dalam Pembangunan (1995) terbitan Departemen Pertambangan dan Energi RI menyebutkan, jawatan ini dimasukkan ke dalam Kementerian Pekerjaan Umum sejak 27 Oktober 1945. Tanggal 27 Oktober 1945 kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahir PLN.

Terhitung tanggal 1 Januari 1961, Jawatan Listrik dan Gas Bumi diganti menjadi Badan Pemimpin Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN) yang menaungi urusan listrik, gas, dan kokas (batubara).

Namun, pada 1 Januari 1965, BPU-PLN dibubarkan. Sebagai gantinya, pemerintah membuka dua perusahaan negara, yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mengelola listrik dan Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai pengelola gas.

Terjadinya Gerakan 30 September (G30S) 1965 menjadi salah satu penyebab runtuhnya rezim Orde Lama pimpinan Presiden Sukarno yang kemudian melahirkan Orde Baru di bawah kendali Soeharto.

Tahun 1972, seperti dikutip dari website resmi PLN, pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan terkait status PLN. PLN ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum.

Status ini berlangsung cukup lama di sepanjang masa-masa kejayaan Orde Baru. Tahun 1994, pemerintah memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik. Maka, status PLN pun diubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan tetap sebagai PKUK, hingga kini.

Meskipun begitu, pada faktanya, PLN terus memainkan peran sebagai satu-satunya penyedia layanan listrik di Indonesia. Memang, ada beberapa perusahaan swasta yang mengelola pembangkit listrik, namun untuk urusan distribusi tetap dimonopoli oleh PLN.

Persoalan monopoli listrik ini pernah disinggung oleh Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo, pada pertengahan 2016 silam. Mendagri menyarankan agar PLN tidak lagi memonopoli penyediaan layanan listrik bagi masyarakat.

“Selama ini PLN telah melakukan monopoli dalam penyaluran listrik bagi masyarakat. Seharusnya PLN bisa seperti BUMN lainnya, misalnya Angkasa Pura, Pelindo dan beberapa BUMN lainnya,” kata Mendagri saat itu.

Kini, bukan saja soal monopoli yang dialami PLN, namun juga korupsi, setidaknya yang saat ini menjerat sang direktur utama, Sofyan Basir. Sofyan diduga turut menerima hadiah dari Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, untuk kepentingan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Riau 1.

.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PLN atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya