Menuju konten utama

Sejarah PLTU Pertama di Indonesia & Kasus Dirut PLN Sofyan Basir

PLTU pertama dalam sejarah di Indonesia dibangun pada masa kolonial di Gambir.

Sejarah PLTU Pertama di Indonesia & Kasus Dirut PLN Sofyan Basir
Ilustrasi PLTU. Tirto.id/Asih Kirana

tirto.id - Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN), Sofyan Basir, telah ditetapkan sebagai tersangka suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi pembangunan PLTU Riau 1. Sejarah mencatat, PLTU atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap pertama di Indonesia dibangun di Batavia alias Jakarta.

Terungkap dari buku Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan (2009) yang ditulis Purnawan Basundoro, pada 1897 didirikan perusahaan listrik pertama di Hindia Belanda (Indonesia) bernama Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM).

NIEM berada di bawah naungan perusahaan listrik yang berpusat di Amsterdam, Belanda, yakni N.V. Handelsvennootschap atau yang sebelumnya bernama Maintz & Co. Untuk menghasilkan listrik, NIEM tentu saja membutuhkan pembangkit. Maka, tidak lama setelah NIEM berdiri, dibangunlah PLTU.

Dikutip dari listrikindonesia.com, PLTU milik NIEM ini didirikan di tepi Sungai Ciliwung, tepatnya di Gambir (kini Jakarta Pusat), Batavia. Dengan kekuatan 3.200+3.000+1.350 kilowatt, PLTU ini merupakan pembangkit listrik tenaga uap pertama di Hindia Belanda, untuk memasok kebutuhan listrik di Batavia dan sekitarnya.

Saat ini, PLTU Gambir sudah tidak ada lagi. Dalam buku Kerja Tuntas, Kerja Ikhlas (2017) karya Sandiaga Uno, hal itu sempat disinggung. “Pada tahun 1897, Belanda mengoperasikan PLTU pertama di pinggir Kali Ciliwung di daerah Gambir. Sisa peninggalan tersebut bisa kita lihat dari gedung PLN yang bernuansa klasik di Gambir,” tulisnya.

Setelah PLTU pertama itu, dibangun lagi PLTU kedua di Hindia Belanda pada 1920 dengan lokasi di Dayeuhkolot, Bandung. PLTU berkapasitas 2x750 kilowatt ini digunakan untuk keperluan pemancar radio ke luar negeri. Sama seperti PLTU Gambir, PLTU Dayeuhkolot kini juga sudah tidak ada lagi.

PLTU Batubara Setelah Merdeka

Setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia masih disibukkan oleh berbagai persoalan penting, terutama perjuangan mempertahankan kemerdekaan karena Belanda datang kembali dan ingin berkuasa lagi.

Pertikaian melawan Belanda baru tuntas pada 27 Desember 1949 usai pengakuan kedaulatan. Namun, setelah itu pun pemerintah Indonesia masih belum bisa tenang membangun negara karena munculnya banyak gangguan dari dalam negeri, juga polemik dengan Malaysia dan persoalan status Papua Barat.

Rezim Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Sukarno baru sempat membangun PLTU pada 1962, kendati situasi negara sebetulnya belum betul-betul stabil ditambah krisis ekonomi yang sedang melanda.

Tulisan Deni Almanda bertajuk “Meningkatkan Efisiensi PLTU Batu Bara” dalam laman energi.lipi.go.id menyebutkan, PLTU yang pertamakali beroperasi di Indonesia (pasca-kemerdekaan) dibangun dengan kapasitas 25 megawatt. Pembangunan PLTU ini bertempat di Priok, Jakarta Utara.

Sebelumnya, pada 1 Januari 1961, pemerintah mengganti Jawatan Listrik dan Gas Bumi diganti menjadi Badan Pemimpin Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN) yang menaungi urusan listrik, gas, dan kokas (batubara).

PLTU Batubara menjadi sumber utama pembangkit listrik di Indonesia, bahkan dunia, karena paling murah. Sekitar 60 persen listrik dunia bergantung pada sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui ini. Hanya saja, penggunaan batubara berisiko tinggi karena emisi karbonnya paling tinggi dibandingkan dengan jenis bahan bakar lain.

Selama pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto, pembangunan infrastruktur marak dilakukan. Terlebih, bertolak belakang dengan era Sukarno, Soeharto membuka pintu lebar-lebar kepada pihak asing untuk turut “mengelola” sumber daya alam di Indonesia.

Nandang Sudrajat dalam buku Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia (2018) memaparkan, penggerak roda perekonomian Orde Baru adalah didorongnya paket kebijakan untuk mendatangkan investasi asing di Indonesia.

Salah satu kebijakan yang pertamakali diluncurkan, lanjut Nandang, adalah perubahan tentang pengelolaan bahan galian dengan terbitnya UU No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.

Melalui undang-undang ini pula, investasi asing di bidang pertambangan mulai masuk, termasuk untuk penambangan batubara di beberapa wilayah di Indonesia, terutama Kalimantan dan Sumatera.

Rencananya, PLTU Riau 1 yang menyeret nama Dirut PLN Sofyan Basir, mantan anggota Komisi VII DPR-RI Eni Saragih, dan bekas Menteri Sosial Idrus Marham juga memakai batubara sebagai bahan bakarnya. Nilai proyek PLTU berkapasitas 2 x 300 megawatt ini menembus angka 900 juta dolar AS.

PLTU Riau 1 termasuk dalam program proyek pembangkit 35 ribu megawatt yang dicanangkan Joko Widodo (Jokowi) usai terpilih sebagai Presiden di Pilpres 2014 lalu. Proyek ini masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027.

Baca juga artikel terkait SUAP PLTU RIAU atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Mufti Sholih