tirto.id - Malam itu jadi momen yang paling nahas bagi Amril dan Suhendro. Dua pengemudi taksi itu mengalami luka berat akibat ledakan tabung gas milik salah satu taksi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) di Jalan Pemuda, Jakarta Timur. Peristiwa mengerikan ini terjadi pada 2 Juli 2002, kala itu pemerintah memang sedang gencar-gencarnya menggalakkan program konversi dari Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG).
Program konversi ini pada akhirnya layu sebelum berkembang semenjak digalakkan beberapa dekade sebelumnya. Kekhawatiran publik terhadap BBG untuk kendaraan dan ketidakseriusan pemerintah menjadi fakta yang sempurna dari mandeknya program ini.
Gagasan ini sejatinya sudah diperkenalkan sejak 31 tahun lalu dalam sebuah lokakarya nasional yang diselenggarakan di Jakarta, pada Juli 1986. Salah satu bahasan dalam pertemuan tersebut adalah soal kemungkinan pemanfaatan BBG, khususnya compressed natural gas (CNG) untuk kendaraan bermotor. Kala itu harga CNG yang relatif lebih murah dan lebih bersih lingkungan dibandingkan BBM.
Sayangnya, saat itu transportasi yang berminat menggunakan CNG sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena harga BBM yang masih dianggap terjangkau dan stasiun pengisian BBM atau SPBU tersebar di mana-mana. Sementara stasiun pengisian BBG atau SPBG masih sangat jarang.
Seiring dengan perkembangan waktu, tepatnya saat tren produksi minyak dalam negeri yang menurun, dan jumlah subsidi BBM setiap tahun meningkat, serta posisi Indonesia yang sudah menjadi net importir minyak sejak 2004, pemerintah kembali menggalakkan program konversi BBM ke BBG. Hal ini selaras dengan produksi gas bumi Indonesia yang mengalami peningkatan, serta cadangan gas bumi yang masih cukup besar.
Misalnya, berdasarkan data Kementerian ESDM, cadangan gas bumi Indonesia terhitung per 1 Januari 2015 mengalami peningkatan sebesar 151,33 Trillion Square Cubic Feet (TSCF). Jumlah tersebut meningkat sekitar 1,36 persen dibandingkan cadangan gas bumi per 1 Januari 2014 sebesar 149,3 TSCF.
Kondisi tersebut membuat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan BBG sebagai pengganti BBM. Konversi tersebut cukup strategis mengingat selama ini subsidi BBM kerap menjadi beban dalam APBN. Tak heran jika pemerintah mulai melirik BBG sebagai solusinya. Sayangnya semua itu hanya rencana, nyatanya sampai saat ini program konversi tak pernah sukses.
Berjalan Lambat
Setelah kegagalan pada 2002, program konversi BBM ke BBG mulai digalakkan kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga CNG untuk transportasi--kemudian sudah direvisi menjadi Perpres 125/2015. Melalui Perpres ini, masing-masing kementerian diberikan tugas dan tanggung jawab untuk mengawal program konversi. Awalnya semua begitu meyakinkan karena program ini lintas kementerian dan lembaga.
Misalnya, Kementerian ESDM bertugas menyediakan infrastruktur dan pasokan gas untuk BBG. Sementara itu, Kementerian Perindustrian ditugasi untuk membangun bengkel kendaraan dan menyediakan converter kit--alat pendukung penggunaan BBG pada kendaraan bermotor. Kementerian Perhubungan bertanggung jawab menyusun persyaratan teknis untuk kendaraan berbahan bakar gas yang layak jalan.
Selain itu, pemerintah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa program konversi BBM ke BBG untuk transportasi akan berjalan sukses, tidak seperti pada era sebelumnya. Pemerintah menunjuk Pertamina sebagai BUMN energi untuk memimpin program konversi. Sayangnya, pada akhirnya program ini berjalan di tempat, mengulang kisah kegagalan pemerintahan sebelumnya.
Banyak faktor yang membuat program ini berjalan lambat, di antaranya adanya rumor yang berkembang di masyarakat bahwa BBG tidak aman dan mudah terbakar jika terjadi kebocoran. Beberapa kasus kebakaran kendaraan BBG, terutama transportasi massal seperti bus TransJakarta membuat masyarakat merasa khawatir untuk menggunakan BBG. Padahal, anggapan itu tidak sepenuhnya benar, dan justru ketakutan tersebut yang membuat program konversi BBM ke BBG berjalan lamban di kota-kota besar di Indonesia.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) justru mendorong pemerintah agar segera merealisasikan program konversi BBM ke BBG tersebut. Secara khusus, YLKI mendesak Provinsi DKI Jakarta segera menerapkan kewajiban penggunaan BBG bagi angkutan umum.
Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, DKI Jakarta sebagai ibu kota harus menjadi perintis dalam penggunaan BBG pada kendaraan. Ia berkeyakinan, Pemprov DKI telah memiliki perangkat yang dapat digunakan untuk merealisasikan kebijakan mandatori penggunaan BBG, utamanya untuk kendaraan umum dan operasional.
Mandeknya program konversi tak hanya jadi kritikan kepada pemerintah, beberapa lembaga riset mencoba mencari tahu lebih dalam apa yang menjadi akar kegagalan demi kegagalan program ini.Agus Hartanto, dkk dari Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik-LIPI dalam artikel “Program Konversi dari BBM ke BBG untuk Kendaraan” menyebut beberapa kendala yang membuat program konversi ini berjalan lambat. Salah satunya adalah soal stasiun pengisian BBG. Minimnya ketersediaan SPBG ini membuat antrean panjang, sehingga pemilik kendaraan yang tadinya sudah menggunakan BBG, beralih kembali memakai BBM.
Hal tersebut sangat mungkin terjadi mengingat jumlah SPBG sangat sedikit. Berdasarkan data Kementerian ESDM per 2015, jumlah SPBG yang beroperasi di Indonesia sekitar 61 unit, ditambah 12 unit Mobile Refueling Unit (MRU). Jumlahnya memang bertambah dibandingkan 2012 yang baru mencapai 21 unit SPBG. Namun, tetap saja penambahan ini tak ada apa-apanya bila dibandingkan jumlah SPBU Pertamina per Juni 2012 di Jawa-Bali saja sudah mencapai 3.083 unit. Terbatasnya jumlah stasiun pengisian BBG menjadi salah satu faktor yang membuat konversi BBM ke BBG jalan di tempat.
Dalam “Outlook Energi Indonesia 2016” disebutkan, untuk mempercepat konversi BBM ke BBG, maka pada akhir 2015 pemerintah mengeluarkan regulasi baru berupa Perpres 125/2015 tentang Perubahan Atas Perpres 64/2012 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga BBG untuk Transportasi Jalan. Perubahan ini karena dalam regulasi yang lama terdapat ketentuan yang kurang mendukung percepatan pemanfaatan BBG.
Salah satu yang direvisi adalah ketentuan dalam Pasal 7 Perpres 64/2012. Sehingga pembangunan SPBG yang menggunakan APBN dapat dilaksanakan berdasarkan tahun jamak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Hal ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya, di mana anggaran pembangunan SPBG bersifat single year sehingga pembangunan harus diselesaikan dalam satu tahun anggaran, padahal pembangunan SPBG memerlukan waktu yang cukup lama.
Sementara untuk memperbanyak jumlah kendaraan yang menggunakan bahan bakar gas, pemerintah akan membagikan converter kit secara gratis sebanyak 200 hingga 500 unit di setiap lokasi yang dibangun SPBG. Seperti dilansir Antara, pada Kamis (2/3/2017), Kementerian ESDM membagikan 200 converter kit taksi yang berargometer secara gratis di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Menurut Kepala Bagian Ekonomi Sekretaris Kota Balikpapan Arzaedi Rachman, pembagian converter kit bagian dari kelanjutan dari program pemerintah untuk mengurangi penggunaan BBM dan mengalihkan ke gas. Bantuan converter kit sebelumnya sudah dipasang pada 150 unit kendaraan dinas Pemkot Balikpapan. Mereka mengisi bahan bakar gas pada 3 SPBG yang sudah ada di Balikpapan. Pola-pola proyek percontohan semacam ini sebenarnya sudah diterapkan, dan tak berlaku masif, artinya ada peluang tak bergulir maksimal.
Peneliti pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Kementerian Keuangan, Hadi Setiawan dalam artikel “Konversi BBM ke BBG: Belajar dari Pengalaman Sebelumnya” memberikan catatan terkait program konversi, ada beberapa hal yang harus dibenahi oleh pemerintah. Salah satunya adalah membangun pipa jaringan distribusi dan pengadaan SPBG. Suplai BBG harus dapat dijamin oleh pemerintah. Yang tak kalah penting soal pengadaan converter kit. Pemerintah harus tetap mengawal program distribusi converter kit terutama soal layanan purna jual, bengkel, dan teknisi untuk converter kit yang mudah dijangkau.
Semua itu seharusnya bisa jadi pelajaran bahwa kegagalan program sebelumnya pada intinya berawal dari kebijakan yang setengah hati. Program konversi yang setengah-setengah hanya akan mengulang kegagalan masa lalu.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti