tirto.id - Pemilihan umum serentak 2024 memang sudah ditetapkan digelar pada 14 Feberuari 2024, tapi masih banyak persoalan teknis yang mesti dilakukan. Salah satu permasalahan yang menjadi perhatian adalah soal masa kampanye.
Hingga saat ini, masih terjadi perdebatan dalam penentuan pelaksanaan waktu kampanye antara 90 hari yang digagas pemerintah dan DPR atau 120 hari sebagaimana diusulkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara.
Pemerintah memandang masa kampanye dibatasi 90 hari usai penetapan calon legislatif untuk pileg dan capres-cawapres merupakan opsi ideal. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian beralasan, pembatasan waktu kampanye 90 hari demi mencegah perpecahan di masyarakat.
“Tiga bulan sudah cukup. Kami (pemerintah) kira, masyarakat juga tidak lama terbelah dan dengan adanya teknologi komunikasi media maupun media sosial, kami kira ini waktunya cukup,” kata Tito.
DPR juga mendorong agar masa kampanye pemilu berjalan lebih singkat dan tidak sampai 120 hari seperti yang dicanangkan KPU. Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP Rifqinizamy Karsayuda mengaku ingin agar pemilu dipersingkat dengan alasan menerapkan prinsip jujur, adil, dan terbuka.
“Kami ingin laksanakan pemilu yang efektif dan efisien tanpa harus langgar asas konstitusi yaitu 'luber' (langsung, umum, bebas, rahasia) dan 'jurdil' (jujur dan adil). Karena itu DPR cenderung agar masa kampanye Pemilu 2024 bisa dipersingkat,” kata Rifqi di Jakarta seperti dikutip Antara.
Ketua Komisi II DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia sepakat waktu kampanye agar tidak mencapai 120 hari.
“Memang harus dipertimbangkan masa kampanye harus lebih dipersingkat dibandingkan sebelumnya. KPU mengusulkan masa kampanye 120 hari, itu sama dengan pemilu lalu karena itu kemungkinan 75-90 hari,” kata dia, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 25 Januari 2022.
Doli mengaku ada perbedaan usulan antara KPU yang ingin masa kampanye 120 hari, sementara beberapa anggota DPR ingin 60 hari. Ia sendiri menyarankan kisaran 75-90 hari dengan menekankan beberapa hal seperti pengelolaan massa secara masif serta metode kampanye. Komisi II akan terus melakukan pembahasan soal ini.
Sementara itu, KPU memiliki alasan kuat soal usulan masa kampanye 120 hari. Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi menjelaskan angka 120 hari berdasarkan hasil simulasi internal KPU soal pelaksanaan Pemilu 2024.
“Dari simulasi yang dilakukan KPU, berdasarkan regulasi yang ada sekarang, maka waktu yang dibutuhkan untuk sengketa dan logistik minimal 164 hari, sengketa butuh 38 hari, sedangkan logistik butuh 126 hari," kata Pramono dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (27/1/2022).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, KPU membuat draf Peraturan KPU (PKPU) soal masa kampanye selama 120 hari. “Jadi, rancangan 120 hari dalam draf PKPU Tahapan itu sudah mengharuskan pemadatan proses penyelesaian sengketa serta lelang, produksi dan distribusi logistik pemilu,” kata dia.
Menurut Pramono, penentuan waktu hingga 120 hari tidak melanggar Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Ia mengingatkan undang-undang hanya menegaskan masa kampanye dimulai 3 hari setelah penetapan calon dan berakhir 3 hari sebelum hari pemungutan suara. Selain itu, tidak ada patokan masa kampanye.
Dia mencontohkan pada Pemilu 2019, masa kampanye berlangsung selama enam bulan tiga pekan, yakni mulai 23 September 2018 hingga 13 April 2019. Bahkan pada Pemilu 2014, kata dia, masa kampanye berlangsung selama 15 bulan, mulai 11 Januari 2013 hingga 5 April 2014.
“Sebab kampanye itu diperbolehkan sejak penetapan partai politik peserta pemilu. Jadi, 120 hari masa kampanye yang dirancang KPU saat ini telah berkurang banyak dari pemilu-pemilu sebelumnya,” kata Pramono.
Bukan Soal Waktu, tapi Efektivitas
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Erik Kurniawan menilai persoalan masa kampanye bukan pada 90 hari atau 120 hari. Permasalahan utama adalah seberapa efektif KPU dalam menyampaikan pesan dan informasi pemilu dan seberapa efektif partai meyakinkan pemilih.
Erik mengingatkan bahwa publik mulai mengalami kebingungan dalam menghadapi begitu banyak informasi saat ini. Oleh karena itu, kata dia, waktu kampanye pendek dengan kampanye ideal akan jauh lebih baik daripada perdebatan jumlah hari.
“Hemat saya, semakin pendek dan efektif masa kampanye makin baik. Cuma persoalannya, kan, masa kampanye dikaitkan dengan pengadaan dan distribusi logistik pemilu. Isunya jadi tumpang tindih,” kata Erik kepada reporter Tirto, Kamis (3/2/2022).
Erik menambahkan, “Ada korelasi teknis antara dua hal itu (masa kampanye dengan distribusi logistik), tapi enggak ada korelasi subtantif bagi pemilih.”
Erik mengingatkan, waktu pendek akan membuat partai harus kreatif dalam berkampanye demi meyakinkan publik. Selain itu, durasi lama bisa memicu high cost politik.
Ia juga mengingatkan bagaimana waktu kampanye panjang berdampak buruk seperti Pemilu 2019. Sebagai catatan Pemilu 2019 merupakan pemilu dengan masa kampanye terlama yaitu lebih dari 6 bulan dari September 2018 hingga April 2019. Umumnya masa kampanye hanya berlangsung 3 bulan.
Erik menilai, masalah logistik KPU tidak relevan karena KPU sudah berpengalaman dalam pemilu dan penyediaan jasa logistik. Ia memandang janggal KPU justru mengalami masalah logistik. Ia sebut perlu ada aturan spesifik soal logistik agar tidak menjadi masalah.
“Kita sudah lima kali pemilu, jadi soal pengadaan sudah khatam lah KPU. Bagaimana spek barang, penyedia jasa, dan lainnya. Jumlah partai dan kandidat juga sudah diketahui sebelumnya. Jadi akselerasi mungkin saja dilakukan tanpa menabrak regulasi yang ada dan mengurangu mutu," kata Erik.
“Ditambah sekarang kemajuan pelaku usaha logistik juga sangat signifikan selama pandemi. Mungkin ini juga bisa dimanfaatkan sebagai peluang,” kata Erik.
Masa Kampanye Pendek Lebih Baik?
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai tidak perlu perdebatan berapa hari dalam pelaksanaan masa kampanye. Sebab, semua berkaitan dengan proses pendaftaran. Meski demikian, ia memandang waktu kampanye pendek akan jauh lebih baik.
“Tidak ada standar dalam jumlah hari kampanye terbuka, karena bergantung cepat atau lambatnya pendaftaran. Tetapi dalam skema politik, semakin pendek masa kampanye makin baik, baik bagi kontestan juga penyelenggara,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Kamis (3/2/2022).
Dedi pun mengingatkan masa persiapan penyelenggaraan pemilu tidak bisa bergantung pada waktu kampanye. KPU seharusnya siap dalam menjalankan proses pemilu. Oleh karena itu, dalih soal logistik tidak bisa digunakan demi memperpanjang pemilu.
Dedi juga mengatakan, masa kampanye pendek bisa membawa sejumlah dampak yang lebih baik bagi pemilu.
“Konsekuensi masa kampanye pendek di antaranya, meminimalisir perubahan pilihan publik, sehingga bagi parpol lama maupun yang baru, mendapat dampak yang setara. Sementara bagi penyelenggara, pendeknya masa kampanye akan membuat agenda mereka lebih ringkas mengingat segera menghadapi pilkada,” kata Dedi.
Dedi mengakui bahwa ada dampak politik bila pemilu dan pilkada berjalan berdekatan. Para kepala daerah bisa memiliki waktu panjang dalam promosi dan mengasumsikan pemenang pemilu bisa memenangkan pilkada.
“Tetapi, bagi penyelenggara bisa saja alami kesulitan, meskipun tidak menjadi alasan mengingat pilkada akan lebih besar pekerjaan di KPUD, dan itu sudah mereka siapkan jauh-jauh hari," kata Dedi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz