tirto.id - Pernyataan Edy Mulyadi yang menyebut lokasi Ibu Kota Negara (IKN) baru merupakan “tempat jin buang anak” berbuntut panjang. Omongan dia dianggap menyinggung publik, apalagi bagi masyarakat yang berada di Kalimantan. Maka STR dari Persatuan Pemuda Dayak, mengadukan Edy Mulyadi ke Polda Kalimantan Timur. Pengaduan itu tercantum dengan nomor LP/B/21/2022/SPKT/Polda Kaltim tanggal 24 Januari 2022.
Edy Mulyadi juga diadukan ke Polda Sulawesi Utara oleh Ketua DPD Partai Gerindra Sulawesi Utara Conny Rumondor. Pelapor merasa Edy diduga menyebarkan ujaran kebencian terhadap Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto lantaran menyebut si Menteri Pertahanan sebagai ‘macan yang mengeong’. Laporan terdaftar dengan nomor LP/B/29/I/2022/SPKT/POLDA SULUT tanggal 22 Januari 2022.
Senin, 31 Januari 2022, Edy mendatangi kantor Bareskrim Mabes Polri untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan ujaran kebencian. Ini merupakan panggilan kedua, mestinya dia dimintai keterangan pada Jumat, 28 Januari, tapi batal hadir karena tim kuasa hukumnya menilai pemanggilan terhadap kliennya bermasalah, tak sesuai KUHAP. Mestinya Edy dipanggil minimal tiga hari setelah perkara berada di tahap penyidikan, namun baru dua hari kliennya mesti menghadap polisi.
Sebelum penyidik memeriksa, Edy menuturkan "Musuh saya bukan penduduk Kalimantan, bukan suku ini, suku itu. Saya kembali minta maaf kepada para sultan, termasuk suku-sukunya. Mereka semua bukan musuh saya, musuh saya dan musuh kita adalah ketidakadilan," ucap dia. Pun ia meminta maaf kepada seluruh elemen di Kalimantan.
Edy pun ditetapkan sebagai tersangka usai diperiksa pada 31 Januari 2022. Polisi juga langsung menahan Edy selama 20 hari ke depan di Rutan Bareskrim Polri. Penahanan dilakukan dengan alasan objektif dan subjektif.
Edy dan tim kuasa hukumnya menduga ada pihak yang menargetkan dirinya karena bersikap kritis. "Saya dan pengacara sadar betul bahwa saya dibidik. Saya dibidik bukan karena ucapan 'tempat jin buang anak', bukan karena 'macan yang mengeong', tapi karena saya dikenal kritis," klaim dia.
Edy mengklaim dirinya telah mengkritisi beberapa Rancangan Undang-Undang seperti Cipta Kerja, Mineral dan Batubara (Minerba), bahkan regulasi perihal Komisi Pemberantasan Korupsi. “Itu saya kritisi semua dan jadi bahan incaran," imbuh Edy.
“Saya menduga, pengacara juga menduga, (saya) akan ditahan. Sejatinya, bobot politis jauh lebih besar daripada persoalan hukumnya." Edy kini harus menjawab segala pertanyaan yang dilontarkan penyidik, namun tidak bagi Arteria Dahlan, anggota Komisi III DPR sekaligus politikus PDIP.
Pupuhu Agung Dewan Karatuan Majelis Adat Sunda pada 20 Januari 2022, mengadukan Arteria Dahlan kepada Polda Jawa Barat buntut pernyataannya yang meminta Jaksa Agung mencopot Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat karena menggunakan bahasa Sunda saat rapat.
“Kami minta diperlakukan hukum yang sama, Arteria Dahlan itu tidak diapa-apain (diperiksa) oleh Mabes Polri, apa bedanya dengan Edy Mulyadi? Edy Mulyadi kok langsung diproses hukum, apa karena Arteria Dahlan, Komisi III, Anggota DPR, PDIP?" kata Herman Kadir, kuasa hukum Edy, Jumat (28/1/2022) di Bareskrim Polri.
Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menyatakan jika Edy merasa bertanggung jawab terhadap perbuatannya, maka silahkan ia mempertanggungjawabkannya dengan hadir pada pemeriksaan penyidikan Polri.
“Tidak perlu menyinggung kasus-kasu lain. Karakteristik setiap kasus berbeda. Ada yang lidik dan sidiknya mudah, ada yang sedang, ada yang sulit, dan ada yang sulit sekali sehingga waktu yang diperlukan penyidik untuk melakukan lidik dan sidik kasus berbeda,” ujar dia kepada reporter Tirto, Senin (31/1/2022). Pada prinsipnya semua orang sama di hadapan hukum.
Kapan seseorang dimintai keterangan, itu murni diskresi penyidik. Pada ranah akademis, misalnya, yang menjadi riset utama adalah perbedaan polisi cepat atau lambat memeriksa sebuah kasus.
“Itu banyak faktor. Faktor normatifnya yaitu bergantung pada pembuktian, kalau non-normatif ada faktor politik, misalnya, siapa yang dipanggil itu juga berpengaruh, latar belakang orang yang berurusan dengan penyidik juga berpengaruh,” kata Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, kepada Tirto, Senin (31/1/2022).
Perihal ujaran kebencian, itu bukan hanya tugas polisi, tapi juga tugas legislatif untuk merumuskan ulang regulasi, kata dia. Khususnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pada 23 Juni 2021, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Menkominfo Johnny G Plate menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU ITE. Penandatanganan SKB itu disaksikan langsung oleh Menkopolhukam Mahfud MD.
SKB itu diterbitkan guna menjaga ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan. Kementerian dan lembaga yang melaksanakan kebijakan hukum di bidang informasi dan transaksi elektronik turut membantu mengkaji hal ini. Ada delapan pasal yang memiliki pedoman implementasi berdasarkan SKB tersebut, yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36.
Bahkan Kapolri menerbitkan Surat Edaran Nomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Surat itu bertujuan supaya Polri lebih selektif dalam menangani kasus dalam UU ITE.
Namun, Fachrizal berpendapat meski ada pedoman tersebut, tapi hal itu tidak menyelesaikan persoalan. “Memang yang perlu dilakukan (ialah) merevisi undang-undang terkait. Di negara-negara maju, tidak semua ujaran kebencian itu dipidana, karena ada mekanisme lain, mekanisme perdata, misalnya,” terang dia.
Orang yang merasa dirugikan bisa mengajukan secara perdata semisal ganti rugi, jadi negara tidak perlu campur tangan dalam kasus horizontal seperti ini, kecuali perkara berskala masif dan menimbulkan keonaran, kata Fachrizal.
Apakah Polri mampu mengusut perkara tanpa melibatkan unsur politis? Fachrizal sebut lepasnya polisi dari tentara bermaksud agar Korps Bhayangkara bisa independen dalam menjalankan tupoksinya, namun independensi itu pun dipertanyakan. Umpama soal mekanisme pemilihan orang nomor wahid di Polri, belakangan ini hanya muncul calon tunggal.
“Itu memiliki preferensi tertentu, artinya yang dianggap loyal kepada kepala pemerintahan yang akan diajukan ke DPR. Belum lagi kepentingan partai politik yang berkuasa,” kata dia.
Jadi, kata dia, ihwal pengusutan perkara yang dijerat dengan UU ITE tak jadi masalah polisi semata, tapi sistem peradilan pidana di Indonesia yang mesti dibenahi. Ia mencontohkan, polisi mengumpulkan alat bukti dan memeriksa saksi, gelar perkara, itu bukan untuk polisi menghukum dengan tangannya sendiri.
“Siapa yang bisa menghukum? Pengadilan. Yang dilakukan polisi adalah mengumpulkan bukti, apakah yang dilakukan Edy Mulyadi bisa dibawa ke pengadilan?” kata Fachrizal.
Problemnya adalah KUHAP Indonesia merupakan peninggalan Orde Baru, maka pengawasan pengadilan tergolong lemah. Supervisi jaksa terhadap penyidik kepolisian pun tak optimal. Hal ini menimbulkan cara pandang: bila dilaporkan polisi, maka jadi terhukum, jadi pesakitan. Sehingga lanjut Fachrizal, isitilanya bukan ‘dituntut’ tapi ‘dipolisikan’. Karena pembingkaian publik adalah kala seseorang dipolisikan maka masuk penjara.
“Secara norma, tidak begitu. Hakim yang punya kewenangan menimbang bukti, yang kurang di (sistem peradilan) kita itu keterlibatan hakim dan jaksa mengawasi polisi sejak awal,” kata dia.
Jangan Tebang Pilih Pelaku
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto berujar dalam kasus ini integritas kepolisian memang diuji, dihadapkan pada persepsi publik terkait penegakan hukum yang tebang pilih.
“Idealnya kedua terduga, AD maupun EM, harus sama-sama dipanggil kepolisian untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Bahwa dalam prosesnya kemudian tidak ditemukan kesalahan pada salah satu, itu bisa dijelaskan secara terbuka dalam proses penyelidikan dan penyidikan,” ujar Bambang kepada Tirto, Senin (31/1/2022).
Perihal Edy merasa dibidik, Bambang berpendapat stigma seperti akan selalu muncul bila Polri tidak konsisten dalam penegakan hukum. Semua laporan terhadap Edy dan Arteria, tetap diterima dan diproses.
“Persoalannya ini bukan delik aduan biasa yang menyangkut orang per orang yang bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif, tapi menyangkut kelompok masyarakat. Maka harus ditindaklanjuti. Jika dalam prosesnya ditemukan atau tidak ditemukan pelanggaran hukum itu adalah soal lain. Terpenting adalah kepolisian harus menjelaskan secara transparan dan berkeadilan,” kata Bambang.
Tanpa konsistensi dalam prinsip semua orang sama di depan hukum, stigma Polri tebang pilih, ada pengaruh politis bisa berakar. Polisi bertindak benar saja masih disorot, apalagi bertindak salah, kata dia.
Mampukah Polri merampungkan perkara ini tanpa menilai unsur politis? Bambang menyatakan bisa saja. Persoalan politis atau tidak itu terkait dengan persepsi publik. Satu-satunya cara untuk menepisnya dengan bertindak secara konsisten dan transparan berdasar hukum yang berlaku.
Jika Edy dan Arteria sama-sama melanggar hukum, tapi hanya satu pihak yang diproses oleh penyidik, maka artinya polisi tak konsisten. Itulah yang melahirkan perspektif perihal pengaruh politis.
“Tanpa ada konsistensi, sepertinya susah untuk menghindari stigma bahwa polisi bergerak karena tekanan faktor-faktor di luar hukum,” kata Bambang.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz