tirto.id - Mantan Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri, Mochamad Ardian Noervianto resmi ditahan KPK. Masa penahanan berlaku 20 hari sejak 2 Februari hingga 21 Februari 2022. Ardian menjadi tersangka bersama Bupati Kolaka Timur nonaktif, Andi Merya Nur dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna, Laode M. Syukur Akbar.
Ardian diduga menerima suap pengurusan pinjaman dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2021 Kabupaten Kolaka Timur. Sebagai Dirjen Bina Keuangan Daerah periode Juli 2020-November 2021, Ardian memang berkewenangan menyusut surat pertimbangan mendagri atas permohonan pinjaman dana PEN yang diajukan pemerintah daerah.
Andi Merya mengajukan pinjaman sebesar Rp350 miliar. Ia meminta dukungan Ardian serta meminta pejabat pusat itu mengawal proses permohonan pinjaman.
Laode M. Syukur ialah pihak yang menjembatani Ardian dengan Andi. KPK menduga Ardian meminta sejumlah fee dari permohonan yang diajukan Andi.
Menurut Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, Ardian diduga sudah menerima uang suap tahap awal sebesar Rp1,5 miliar dan M. Syukur menerima Rp500 juta dari Andi.
Ardian dan Laode disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sementara Andi Merya disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor.
Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendagri sebagai pihak pengawas internal mendaku perbuatan kotor Ardian di luar jangkauan instansi mereka. Perkara ini bukan persoalan lembaga.
“Kasus ini merupakan kasus individual yang di luar jangkauan Itjen Kemendagri,” ujar Irjen Kemendagri, Tumpak Simanjuntak di Gedung Merah Putih, KPK, Rabu (2/2/2022).
Tumpak pun berjanji akan memperbaiki mekanisme pencegahan korupsi di internal lembaga.
“Meskipun saat ini kami juga sama-sama dengan deputi pencegahan terlibat di dalam stranas penanggulangan korupsi sebagaimana Perpres 54 2018 dan juga bersama BPKP akan ikut terlibat di dalam pengelolaan MCP (monitoring center for prevention),” tukasnya.
Kemendagri Jangan Cuci Tangan
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai respons Kemendagri terkait kasus Ardian tidak tepat. Mestinya perkara suap menyuap ini menjadi cambuk mereka untuk bebenah diri.
“Jika menyebutnya individual. Ini seolah menunjukkan Kemendagri lepas tangan atas korupsi dalam instansinya,” ujar Egi kepada reporter Tirto, Jumat (4/2/2022).
Mestinya Kemendagri memaparkan kepada publik, bagaimana mereka melakukan kerja-kerja pengawasan di internal; penerapan kerja transparansi dan koordinasi dengan instansi terkait, Kementerian Keuangan.
Instansi yang dipimpin Jenderal (Purn) Polisi Muhammad Tito Karnavian harus mampu bersikap transparan terhadap proses pencairan dana PEN; daerah mana saja yang mengajukan pinjaman, berapa nominalnya, berapa banyak yang Kemendagri rekomendasikan. Semestinya itu dipublikasikan terbuka, kata Egi.
“Jangka waktu 3 hari untuk Kemendagri bisa saja menjadi celah. Tapi faktornya, kan, tidak tunggal. 3 hari, kalau ada pengawasan di setiap prosesnya, mestinya tak jadi masalah,” ujarnya.
Untuk tahun 2022, pemerintah menetapkan anggaran PEN sebesar Rp321,2 triliun. ICW pernah membuat kajian bahwa alokasi dana PEN untuk sektor perlindungan sosial, sektoral kementerian/lembaga, pemda, insentif usaha, UMKM, dan BUMN; berpotensi rawan penyelewengan.
Meski ICW lebih menyoroti pengalokasian dana PEN kepada BUMN, namun menurut Egi, secara substansi sama dengan pengalokasian untuk sektor lain.
Beberapa hal yang ICW soroti, ialah ketidakjelasan kriteria pemohon dana PEN, tidak adanya rencana dan realisasi penggunaan dana PEN tersebut, dan pemantauan pemanfaatan dana PEN yang minim.
Sehingga ketika itu ICW merekomendasikan, pemerintah mengevaluasi dan melakukan audit penggunaan dana PEN yang teralokasi untuk BUMN.
Efek Korupsi Dana PEN
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Zaenur Rohman khawatir tindak korupsi dana PEN akan melahirkan bentuk korupsi lainnya. Karena setiap kepala daerah yang berambisi mendapatkan dana PEN, membutuhkan uang untuk menyuap pejabat pemerintah pusat.
Ia menduga uang suap yang dihimpun kepada daerah bukan berasal dari anggaran sah dan berpotensi menimbulkan efek pengembalian. Dampak lainnya, kualitas program pemerintah daerah menjadi berkurang.
“Ini kan butuh pengembalian, dari mana? Dari dana PEN itu tadi. Pasti akan dikorupsi,” ujar Zaenur dalam keterangan rekaman suara, Kamis (3/2/2022).
Selain itu, perkara korupsi dana PEN bisa membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, terkhusus upaya-upaya penanganan pandemi.
Lebih lanjut Zaenur menilai, modus korupsi dana PEN mirip dengan modus korupsi Dana Alokasi Khusus, Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), dan kasus-kasus yang melibatkan dana alokasi dari pusat ke daerah. Dalam beberapa kasus juga melibatkan anggota legislatif, seperti kasus yang menjerat eks Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan.
Oleh sebab itu, Zaenur meminta pemerintah memberlakukan kriteria yang jelas dan objektif dalam setiap proses pencairan dana dari pusat untuk daerah.
Semisal, pemerintah pusat membuat daftar daerah yang tepat untuk menerima dana stimulus tersebut. Untuk menghindari perjanjian di bawah tangan, Zaenur menyarankan pemerintah memanfaatkan kemajuan teknologi berbasis data untuk mengalokasikan dana ke daerah.
“Penentuannya tak boleh subjektif dan individual di tingkat pusat. Harus bisa dilihat dan transparan oleh semua pihak. Kalau semua kriteria terpenuhi, maka tak perlu penilaian subjektif,” tukasnya.
Selain memang pemerintah perlu mengoptimalkan pengawasan. Serta meningkatkan kerja sama pengawasan dengan instansi terkait seperti PPATK dan KPK.
“Pemerintah pusat harus mengingatkan pemerintah daerah. Tidak perlu menyuap pejabat pusat untuk dapat dana insentif. Tidak perlu membeli uang dengan uang,” ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz