Menuju konten utama

Pangkal Potensi Korupsi Dana Bansos: Data Penerima yang Amburadul

Selama data penerima amburadul, ada di banyak tempat, selama itu pula potensi korupsi bansos tetap ada.

Pangkal Potensi Korupsi Dana Bansos: Data Penerima yang Amburadul
Paket sembako bantuan presiden (Banpres) yang didistribusikan melalui GP Ansor di Jakarta, Jumat (4/12/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Terlepas dari segala manfaatnya buat rakyat miskin, bantuan sosial (bansos) di Indonesia masih memiliki sejumlah masalah. Salah satu yang paling kentara adalah data penerima berantakan.

Masalah ini belum kelar, muncul lagi problem baru. Menteri Sosial Juliari Batubara, salah satu orang yang paling punya kuasa terhadap penyaluran bansos, justru diduga 'main belakang'. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan kader PDIP ini diduga menerima suap dengan total Rp17 miliar dari pengadaan sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 di Jabodetabek--satu dari enam program perlindungan sosial dari Kementerian Sosial untuk mengatasi pandemi COVID-19.

"Fee tiap paket bansos disepakati oleh MJS dan AW (dua orang yang ditunjuk Juliari sebagai Pejabat Pembuat Komitmen) Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket," kata Ketua KPK Firli Bahuri Minggu (6/12/2020).

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan mengatakan dana bansos potensial jadi bancakan atau lahan subur korupsi sepanjang ada tumpang tindih data penerima, yaitu orang-orang miskin. "Potensinya [korupsi] besar," katanya kepada reporter Tirto, Senin (7/12/2020). Sebab, tumpang tindih data membuat pengawasan dan evaluasi tidak dapat dilakukan ketat.

Dan itulah yang saat ini terjadi.

Misbah bilang masing-masing kementerian punya data sendiri soal orang miskin. "Kemensos [namanya] DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), Kemenaker sendiri," katanya. KKP juga punya data soal nelayan miskin. Begitu pula dengan Kementan dengan data petani miskin. Di satu sisi, data sebagian orang miskin yang tak terkait profesi sudah dimiliki BPS dan Kemensos.

Dia bilang fenomena ini adalah bentuk "politik data", yaitu "data menjadi ego sektoral [tiap-tiap] kementerian."

"Kami total seluruh kementerian, terkait persoalan pendataan [bansos], bisa Rp5,7 triliun. Angkanya besar sekali," katanya. Nilai tersebut didapat dari hasil riset Fitra dari tujuh kementerian dan lembaga yang punya pendataan dan pagu untuk masyarakat katagori miskin.

Dalam konteks dugaan korupsi Juliari, data yang dipakai bukanlah data Program Keluarga Harapan (PKH) yang terdaftar dalam Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemensos dan DTKS. Ia adalah hasil kolaborasi antara Kemensos dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Tumpang tindih juga kejadian di banyak daerah." Ia bahkan menduga penyelewengan bansos bisa lebih parah di tingkat daerah.

Berdasarkan data yang dikatakan Juliari sebelum jadi tahanan KPK, hingga 3 November 2020, realisasi bansos sembako Jabodetabek telah mencapai 82,59 persen.

Oleh karena potensial jadi lahan korupsi, ia menilai semestinya data-data terkait "diintegrasikan." Satu data ini sebenarnya sudah lama digembar-gemborkan pemerintah, kata Misbah, tapi "ya, belum ada bentuknya."

Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) mulai dilakukan pada 2005, dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Ini adalah sensus kemiskinan pertama di Indonesia. PSE kemudian beberapa kali berganti nama, sampai akhirnya kita mengenalnya sebagai DTKS. Baik DTKS dan Pusdatin Kemensos merupakan hasil pendataan pemerintah yang selesai di 2015. Data ini belum pernah diperbarui lagi sampai sekarang.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra el Talattov juga menjelaskan data penerima bantuan perlu diperbaiki. "Dievaluasi, bukan ditambah tambah lagi," katanya kepada reporter Tirto, Senin.

Selain itu, pemerintah juga harus memperketat pengawasan setelah terbukti bansos sembako bisa diselewengkan. Abra menyarankan tim audit yang ditempatkan di tiap kementerian dan daerah lebih tajam lagi melakukan pemantauan. "Kalau perlu diberikan ancaman bahwa KPK dan kepolisian tidak tidur. Ini banyak pejabat yang sering kali merasa masih aman, tidak terdeteksi, tak terpantau" katanya.

Pemerintah mengalokasikan anggaran bansos senilai Rp110,2 triliun melalui dana pemulihan ekonomi nasional yang totalnya Rp356,5 triliun pada 2021.

Ia juga menggarisbawahi evaluasi soal bansos tidak bisa selesai ketika Juliari ditetapkan sebagai tersangka. Aktor-aktor lain yang berpotensi melakukan hal serupa, juga semestinya dicegah. Pasalnya, pemerintah akan melanjutkan sejumlah bansos hingga 2021. Ada program bansos reguler hingga Desember 2021, lalu bansos tunai sepanjang Januari hingga Juni 2021.

Baca juga artikel terkait DATA BANSOS atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino