tirto.id - Medio 2015, Ririn Aristia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di Barito Kuala, kabupaten yang terletak paling barat dari Provinsi Kalimantan Selatan. Ririn Aristia, nama yang identik dengan perempuan itu bukan nama pemberian orang tuanya sejak lahir. Ia terlahir sebagai seorang laki-laki.
Di sekolah, Ririn berpakaian layaknya laki-laki. Ia tak suka pelajaran olahraga, ia lebih suka memasak. Perangainya memang gemulai, tapi tak ada perlakuan yang berbeda dari guru-gurunya. Ririn bahkan menjadi kesayangan sebagian guru berkat kepandainya mengolah penganan.
Ia ingat usianya baru 15 tahun saat mulai bekerja di sebuah rumah makan. Ia sekolah sembari bekerja, meski pada akhirnya ia tak sampai tamat SMA. Ririn lalu pindah ke Kota Banjarmasin, dan kembali bekerja di sebuah rumah makan khas Cina.
Majikannya merupakan seorang transpuan, karyawannya sebagain besar adalah laki-laki yang gemulai. Di sana Ririn merasa menemukan kenyataan dari pencarian jati dirinya. Ia adalah seorang lelaki gemulai, yang jakunnya tak tanpak dari lahir, tapi memiliki penis, tak punya payudara dan vagina.
Melihat majikannya adalah seorang transpuan, memiliki usaha dan punya banyak karyawan, Ririn merasa punya harapan yang sama dan tak ragu mengakui dirinya sebagai seorang waria. Di tempat itu ia akhirnya lebih aktif berkomunitas dengan sesama waria.
Saya menemui Ririn di Pesantren Waria Al Fatah, Yogyakarta, pada Minggu (19/5/2019). Saat itu, ia ikut kegiatan kajian sebelum berbuka puasa yang juga dihadiri sejumlah mahasiswa. Ia berpenampilan layaknya perempuan muslimah, mengenakan rok dan baju panjang berpadu kerudung warna abu-abu tua.
Sekilas sulit mengetahui jika Ririn sebetulnya adalah laki-laki, parasnya seolah tak ada yang menunjukkan bahwa ia kaum adam. Sorot matanya sayu berwana kehijauan bekal kontak lensa yang ia kenakan, pipinya diselimuti bedak dan bibirnya bergincu merah.
Ririn ikut diskusi bersama mahasiswa sebelum membatalkan puasanya hari itu. Kehadirannya di pesantren sore itu adalah untuk mengikuti rangkaian program peduli, pertukaran waria antar-provinsi yang digagas Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
Sementara Ririn adalah salah satu perwakilan waria dari Banjarmasin yang mengikuti program tersebut. Program itu menyelenggarakan sejumlah pelatihan keterampilan seperti tata rias hingga pelatihan pemulasaraan jenazah yang sebagian diadakan di Pesantren Al Fatah.
Melihat para waria bisa berkumpul dan punya tempat khusus belajar agama, Ririn menjadi mafhum bahwa para waria juga ingin beragama dengan selayaknya dan beribadah dengan sebaik-baiknya.
“Kami memang waria, tapi masalah agama tidak dilukapan,” kata Ririn yang saat ini berusia 20 tahun.
Sebagai muslim ia percaya, bahwa ibadah bukan urusan main-main. Ketika salat Ririn memilih mengenakan sarung dan peci, ia menghadap Sang Pencipta sesuai dengan apa yang digariskan Tuhan kepadanya, yakni seorang laki-laki.
“Kalau aku salatnya memang kayak laki-laki, karena menurut aku salat itu bukan main-main walaupun aku biasa pakai hijab, tapi kalau salat aku pakai sarung," ujar Ririn.
Selain Ririn, saya menemui Shinta Ratri (57 tahun), Pimpinan Pondok Pesantren Al Fatah. Ia jadi pusat perhatian sore itu. Ia menjawab sejumlah pertanyaan para mahasiswa yang penasaran dengan derap aktivitas di Al Fatah. Ia duduk di tengah-tengah di dalam pendopo utama rumah lawas berbentuk Joglo.
Ruangan itu merupakan pusat kegiatan pesantren, tempat biasannya para santri yang semuanya waria, mengaji dan sembahyang. Ruangan itu tak besar, ketika sore itu diisi sekitar 25 mahasiswa dan beberapa santri sudah sesak.
Selain tidak besar, tak banyak juga ruangan yang bisa dimanfaatkan karena memang bangunan yang terletak di kawasan Kabupaten Bantul itu bukan dibangun khusus pesantren. Bangunan itu rumah pribadi milik Shinta yang sejak 2014 dimanfaatkan sebagai pesantren setelah pesantren yang sama di Notoyudan dipindahkan.
Shinta mengabdikan dirinya untuk pesantren bersama enam orang waria lainnya yang juga jadi pengurus Al Fatah. Kini ada sekitar 40-an waria yang bergabung di pesantren itu. Pada bulan biasa mereka berkegiatan setiap hari Minggu, ketika Ramadan kegiatan diadakan dua kali dalam sepekan, Rabu dan Minggu.
“Kegiatan kami mulai mengaji belajar fiqih, baca Alquran, baca kitab kuning didampingi ustaz,” kata Shinta.
Waria Juga Manusia dan Punya Hak Beribadah
Presepsi negatif yang kerap dialamatkan kepada para waria, menurut Shinta menjadi salah satu hal yang membuat para waria minder untuk bisa masuk masjid atau musala untuk beribadah, alih-alih belajar agama.
Untuk itu, Pesantren Al Fatah menjadi tempat para waria belajar agama, sekaligus bukti bahwa waria juga perlu beribadah. “Waria juga manusia yang punya hak untuk beribadah,” kata Shinta.
Menurut Shinta, waria sebagai mahluk ciptaan Tuhan punya tanggung jawab untuk bisa beribadah dan tunduk sebagai hamba. Oleh karena itu, ia percaya agama Islam juga menerima waria yang juga mahluk ciptaan Tuhan.
"Karena agama Islam itu agama rahmatan lil alamin, dan kami juga ingin membuktikan bahwa agama Islam itu merahmati orang-orang [termasuk] waria, karena pada dasarnya menjadi waria itu bukan pilihan kami,” ujar Shinta.
Bagi Shinta, menjadi waria itu takdir yang tidak bisa diingkari. Sepahit apa pun hidup sebagai waria, kata Shinta, harus dijalani dengan penuh tanggung jawab yaitu beribadah dan menyembah Allah.
Karena itu, Shinta tak lagi berfikir, apa kata orang tentang statusnya di mata Allah. Apakah ibadah seorang waria akan diterima atau tidak? Bagi dia hanya Allah yang mengetahuinya.
“Ketika ikhlas beribadah, Tuhan akan menerima ibadah kita dan membalasnya,” kata Shinta yang dalam kesehariannya mengenakan hijab ini.
Tuduhan untuk Para Waria
Pada 2016 lalu, sekolompok orang menamakan diri sebagai Front Jihat Islam (FJI) pimpinan Abdurrahman mendatangi Pesantren Al Fatah. Mereka minta pondok pesantren waria tersebut ditutup. Arif Nuh Safri (36 tahun), salah satu ustaz yang sejak 2010 mendampingi para waria mengaji saat itu berada di lokasi.
Ia menceritakan saat itu sejumlah orang mendatangai pesantren dan meminta ditutup dengan tudingan pesantren itu sedang membuat fiqih waria yang hendak mendukung legalitas LGBT. Arif saat itu bertanya langsung kepada Abdurrahman tentang alasannya hendak menutup pesantren.
“Alasan mereka datang ke sini karena pesantren waria mau membuat fiqih waria. […] yang kemudian diplintir itu fiqih waria dikonotasikan ada upaya untuk [melegalkan] pernikahan sejenis, itu omong kosong," kata dia.
Arif sudah bersinggungan selama bertahun-tahun dengan para waria di pesantren tersebut, sejak 2010 mendampingi mereka, ia tidak pernah menemukan adanya upaya dari para waria untuk mendukung legalitas pernikahan sesama jenis seperti apa yang dituduhkan.
Bagi mereka, kata Arif, bukan pernikahan sesama jenis yang diharapkan.
“Mereka diterima di masyarakat dan diterima di keluarga itu jauh lebih besar, mereka lebih bahagia daripada sekedar mengurusi seks itu tok,” kata Arif yang juga pengajar di Institut Ilmu Al-Quran An-Nur dan Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Penilaian orang bahwa waria itu unik dan berbeda, menurut Arif, menjadi hal yang lumrah.
Namun, menganggap bahwa mereka tak patut beribadah layaknya manusia adalah sebuah persoalan. Padahal, kata Arif, agama hadir di manapun, kapanpun dan kepada siapapun. Oleh karena itu, kata dia, agama adalah hak asasi yang artinya melekat pada diri seseorang, sehingga tidak dapat diganggu gugat.
“Walapun secara fisik kita memandang mereka -kalau orang selalu bilang tidak mensyukuri kodratnya- tapi, kan, di balik itu semua mereka merasakan nilai-nilai spiritual yang melekat pada dirinya,” kata Arif.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz