tirto.id - Tampang Charlize Theron adalah simbol standar kecantikan ras Kaukasia—yang menguasai industri kecantikan untuk waktu yang lama. Hidungnya kecil dan lancip, tulang pipi tinggi, bibir penuh yang akan sangat mencuri perhatian bila diberi gincu merah, dan tentu saja, berkulit terang dan berambut pirang.
Kalau tatapan matanya tak tajam atau lebih lembut sedikit, misalnya seperti Nicole Kidman, Theron akan sangat laku memainkan peran-peran protagonis. Sayangnya, dengan tatapan garang itu Theron lebih cocok memerankan cewek populer di SMA yang supercantik dan tahu dirinya cantik, lantas punya tabiat buruk memperlakukan orang lain. Persis seperti karakter Mavis Gary yang sukses diperankannya dalam Young Adult (2011).
Namun, ia adalah Charlize Theron. Satu dari sedikit aktor bunglon yang kemampuan ‘berubah bentuknya’ di atas rata-rata. Dalam rentang karier 25 tahun sebagai aktor, dan sekitar 40-an film yang pernah dibintanginya, Theron selalu menyuguhkan menu yang beraneka macam. Ia tak cuma berhasil jadi karakter yang cocok dengan tampang cantiknya.
Sebagian orang masih akan terkejut jika tahu Aileen Wournos dalam Monster (2003) dan Lorraine Broughton dalam Atomic Blonde (2017) adalah orang yang sama. Aileen adalah karakter kriminal pembunuh berdarah dingin di AS yang diangkat jadi film, sementara Lorraine adalah glorifikasi mata-mata Perang Dingin yang supercantik dan badass. Keduanya jelas punya karakter berbeda, tak cuma secara psikologis, tapi juga fisik. Namun, Theron tetap berhasil membawakan dua karakter ini.
Ia membuktikan kalau dirinya bukan cuma tipikal aktris yang main peran cantik (dan itu-itu) saja. Ia juga bisa jadi gemuk dan jelek seperti Aileen, atau tangguh dan jago berkelahi seperti Lorraine.
Kemampuan mimikri itu lalu dibuktikannya kembali lewat karakter Marlo dalam Tully, film teranyar Theron yang masih tayang di bioskop.
Kali ini perannya sangat sederhana. Marlo adalah ibu kelas menengah biasa, yang juga bekerja sambil mengurus rumah tangga. Ia punya dua orang anak, si 8 tahun Sarah (Lia Frankland) dan si 6 tahun Jonah (Asher Milles Fallica), serta seorang suami yang juga kelelahan dengan situasi keluarga kelas menengah mereka, Drew (Ron Livingston).
Di awal film, kita akan melihat Marlo begitu muram dan suntuk. Ia yang sudah masuk kepala empat sedang hamil besar sekali. Dalam sepotong dialog Craig (Mark Duplass), abangnya, kehamilan itu disebut sebagai kehamilan yang tak direncanakan. Namun, Marlo masih tetap harus bekerja, mengantar anak ke sekolah, dipanggil kepala sekolah Jonah karena sindrom austisme putranya, belum lagi harus memikirkan masalah keuangan yang mereka hadapi.
Kemuraman itu diukir tebal-tebal oleh Theron sejak awal film. Ekspresi, dandanan, gestur, hingga dialog-dialog Marlo begitu ketus dan gelap. Mata Theron yang biasa garang, benar-benar berubah redup dan lelah. Rambutnya yang pirang selalu masai. Bahkan, kadang lelucon yang keluar dari mulutnya bisa terdengar macam sindiran atau satire saking pahitnya. Bisa membuat kita yang menonton geram sekaligus iba di saat yang sama.
Diperankan Theron, emosi yang dilemparkan karakter Marlo jadi begitu nyata dan dekat. Terutama buat mereka yang berasal dari kelas menengah. Keletihan dan frustrasi menjadi ibu rumah tangga yang dirasakan Marlo langsung mengambil penuh fokus di layar. Rasanya sulit untuk menghindari kejenuhan Marlo yang tetap kentara, sekeras apa pun ia berusaha keras menutupinya.
Naskah yang ditulis Diablo Cody, penulis Juno (2006) dan Young Adult (2011) ini memang ingin mengangkat pergulatan nyata yang dialami seorang perempuan ketika jadi ibu.
Meski sudah terlampau lelah, Marlo tetap berusaha menjalani hidupnya tanpa keluhan. Ia tetap sabar memberus tubuh Jonah tiap malam, sebagai terapi yang dipelajarinya di Youtube, karena tak mampu membayar konsultasi terapis. Ia juga tak pernah mengeluh kecapekan pada suaminya Drew, yang punya hidup rutin sebagai kepala keluarga khas patriarki: pergi kerja pada pagi hari, pulang malam, menyapa anak-anak sebentar, lalu tenggelam dalam video games di kamar untuk menghindarkan diri dari stres sehari-hari.
Tabiat Drew yang terakhir mungkin cuma cocok buat kepala keluarga patriarki milenial. Namun, karakternya memang dihadirkan naskah untuk memerankan bagian figur ‘absent father’—jenis ayah yang paling banyak dalam pola keluarga patriarki. Drew cuma sedikit lebih baik, karena ia bukan jenis pemarah, tukang bentak, banyak mau, tukang main perempuan, atau punya tabiat-tabiat buruk lain yang umum dimiliki keluarga kelas menengah.
Diam-diam, keluarga Marlo tenggelam dalam kekacauannya sendiri. Tanpa sadar, ia dan suaminya kehilangan kendali atas hidup mereka, sebab kini hidup yang mengontrol semuanya. Marlo tak sadar kalau ia butuh bantuan, sementara Drew terlalu clueless untuk paham seberapa gawat kondisi mereka. Keadaan itu justru disadari oleh Craig, yang mulai merasakan redupnya mata sang adik.
Sebagai pengusaha kaya—yang punya mobil G Wagon sebagai klangenan, Jacuzzi ala orang Jepang sebagai hadiah dari bos, dan mesin karaoke baru untuk anak-anaknya—Craig merasa perlu memberi hadiah untuk adiknya. Marlo mengharapkan uang, tapi Craig justru ingin mengupah penjaga bayi buat si calon keponakan. Sang adik menolak, karena tak ingin ada orang asing yang menjaga putrinya.
Sementara Drew ragu. Ia sadar istrinya tampak agak lelah, tapi ia tak mau abang iparnya yang kaya turut campur urusan keluarga kecilnya. “Apa menurutmu Craig tidak akan mengontrol kita kalau kita menerima tawarannya?” tanyanya pada Marlo, retorik.
Demi harga diri keluarga yang perlu dijaga, Marlo setuju. Ia—sekali lagi—gagal paham bahwa dirinya butuh bantuan. Tapi di antara sadar dan tak sadar, dalam sebuah adegan ketika semua stres Marlo mencapai puncaknya, ia reflek memegang kertas pemberian Craig yang berisi nomor telepon si penjaga bayi. Lepas itu, hidupnya perlahan berubah baik, ketika seorang hipster cantik bernama Tully (Mackenzie Davis) mampir sebagai sang pengasuh bayi. Satu per satu masalah hidup Marlo terselesaikan. Mulai dari kurang tidur, kurang perhatian pada Jonah dan Sarah, hingga urusan ranjangnya dengan Drew yang sedang lesu karena hidup membuatnya demikian.
Tully tak cuma jadi orang yang mengasuh bayi Mia agar Marlo bisa tidur malam. Ia juga berubah jadi kawan bicara Marlo yang anehnya selalu membawa dialog-dialog kontemplatif—sesuatu yang fungsinya baru ketahuan di ujung plot. Sampai di sana, sekali lagi, lakon Theron perlu diberi pujian, begitu juga Davis.
Naskah Cody menciptakan relasi yang puitis dan dramatis antara Marlo dan Tully. Obrolan mereka bahkan kelewat fiktif dan estetik untuk terjadi di kehidupan nyata—jenis percakapan yang cuma terjadi dalam naskah film, atau dalam kepala seseorang dengan dirinya sendiri. Tapi, Theron dan Davis berhasil membuat dialog-dialog mereka hidup dan masuk akal. Tak cuma berhasil, chemistry keduanya bisa jadi adalah hal yang paling unggul dalam film ini.
Kekuatan lakon itu yang akhirnya membuat plot twist di ujung film berhasil menohok. Dan untuk itu, Cody perlu berterima kasih pada Theron dan Davis yang berhasil menerjemahkan naskahnya dengan jitu.
Pada akhirnya, gagasan Cody yang ingin menunjukkan bahwa ada masalah besar yang menjerat para ibu tentang bagaimana mereka jadi orangtua tersampaikan dengan baik. Saya bukan seorang ibu, bukan pula wanita, tapi sebagai anak pertama, saya ingat betul pergumulan yang ibu tunjukan ketika anak-anaknya masih kecil dengan umur yang tak terlalu jauh. Jeratan patriarki jadi alasannya. Kenangan tentang ibu yang kelelahan mengurusi rumah, menjaga adik bayi, dan bekerja di saat bersamaan kembali berdenting saat melihat tampang lelah Marlo.
Apa yang dirasakan Marlo memang tak bisa digeneralisasikan. Tapi ada diskusi yang coba dilempar Cody di sana, bahwa tak pernah seorang pun punya pengalaman jadi orangtua. Bahkan ketika sudah punya dua anak, Marlo tetap tak punya pengalaman jadi orangtua beranak tiga. Cody ingin bilang, tak pernah ada prosedur yang saklek untuk jadi orangtua yang baik. Dan membutuhkan bantuan adalah hal wajar, bukan dosa yang susah payah harus dihindari.
Hal itu digambarkannya secara sederhana. Misalnya dalam diskusi Marlo dan Craig tentang sejauh mana orangtua perlu menyewa jasa pengasuh buat anak mereka.
Dalam Tully, Cody bahkan memberikan peringatan keras bahwa ada konsekuensi yang jelas ketika kita mengabaikan kebutuhan seorang ibu. Cody ingin mengkritik pola keluarga yang selalu menumpukan kebahagiaan mereka pada prioritas kebahagiaan anak. Bahwa anak butuh ini dan itu. Bahwa orangtua harus begini dan begitu. Lewat Tully, Cody ingin bilang, bahwa orangtua yang bahagia justru jadi faktor penting dalam ihwal mengasuh anak dan membina keluarga.
Kalau tidak, dampaknya bisa fatal seperti gangguan jiwa yang dialami Marlo.
Sayangnya, tema kesehatan mental yang dibawa Cody masih lemah. Di ujung film, memang ada pesan bahwa orang dengan gangguan kesehatan mental bisa berbahaya—terutama untuk dirinya sendiri—ketika tak ada orang terdekat yang memantau. Pesan itu dideskripsikan dalam adegan mobil Marlo yang jatuh dari jembatan. Tapi, entah disadari atau tidak oleh Cody, tema kesehatan mental yang dijadikannya salah satu konflik utama Tully dirakit dan ditutup dengan glorifikasi berlebihan dan ujung tanggung.
Adegan pertemuan Marlo dan Tully untuk terakhir kalinya justru bisa bikin penonton salah kaprah tentang isu kesehatan mental. Adegan itu dibikin kelewat romantis, seolah-olah gangguan kesehatan mental yang dialami Marlo malah jadi fase ‘membebaskan’—fase yang membawa Marlo keluar dari masalah-masalahnya, dan kembali jadi dirinya sendiri. Padahal tak ada yang membebaskan dari masalah kesehatan jiwa. Mereka butuh bantuan, dan Cody justru tak memberi solusi itu di ujung naskahnya.
Hal inilah yang kemudian jadi kesalahan fatal Cody, naskahnya terlalu sempit.Tully berhasil hidup karena kualitas lakon Theron yang gamblang membongkar rahasia perempuan ketika jadi Ibu. Di tengah geliat para aktivis yang mulai nyaring berkoar-koar tentang kesadaran pada isu kesehatan jiwa, solusi salah kaprah di ujung Tully justru terasa konyol.
Editor: Windu Jusuf