tirto.id - Mata perempuan itu tidak kosong. Ada marah dan ketidaknyamanan di dalamnya. Alisnya juga menungkik ke dalam, menegaskan murka sekaligus ketakutan yang dipahat dalam raut muka itu. Tangan kanannya sedang menyuapkan mi instan ke dalam mulut. Sementara tangan kirinya goyang seolah sedang dikibaskan, tanda mengusir siapa pun yang sedang ditatapnya saat itu.
Persona sang wanita direkam dalam sebuah foto monokrom yang dijepret Scott Typaldos, seorang fotografer lepas berkewarganegaraan Swiss yang kini tengah mengerjakan proyek jangka panjangnya bertajuk “Butterflies”.
Meskipun monokrom, tapi rambut si wanita jelas terlihat kusut masai. Pakaian dan kulitnya juga gadel. Cara makannya pun menunjukkan hal aneh. Dia terlihat... tidak sehat.
Di bawah foto wanita itu, ada foto seorang pria yang sedang menungging. Setengah telanjang sambil tertawa mengintip dari sebuah lubang di tembok. Ia dikerangkeng dalam sebuah tempat yang kelihatannya sempit sekali.
Semakin ke bawah, semakin banyak foto aneh. Ada seorang pria botak, telanjang bulat, yang kakinya dirantai pada sebuah tembok tengah memandang heran ke arah lensa Typaldos.
Rupanya, kumpulan foto monokrom itu diambil Typaldos di Indonesia. Orang-orang berpose aneh tadi adalah para penghuni panti sosial dan rumah sakit jiwa yang sengaja dikunjunginya di negeri ini. Ia membingkai semua foto menyedihkan itu dalam proyek Butterflies-nya. Indonesia sendiri adalah negara keempat yang disinggahinya setelah Ghana, Togo, dan Kosovo.
Proyek keempat ini rupanya disorot The Washington Post dan diterbitkan awal Agustus lalu. Jurnalisnya, Kenneth Dickerman, menuliskan kalau foto-foto Typaldos mengagetkan dunia tentang bagaimana kehidupan para penderita disabilitas psikososial di panti sosial Indonesia.
Human Right Watch (HRW) sudah terlebih dulu menerbitkan laporan yang juga menyoroti buruknya penanganan Indonesia terhadap warganya yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Maret lalu, dalam laporan 74 halaman berjudul, “Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia”, HRW secara garis besar mendapati kalau alasan buruknya penanggulangan masalah kesehatan mental diakibatkan oleh dua hal. Satu, stigma di masyarakat. Hal lainnya adalah kewalahan Indonesia menyiapkan fasilitas penanggulangan kesehatan mental.
Menurut laporan tersebut, sebagian besar daerah di Indonesia mempercayai kalau gangguan kesehatan jiwa disebabkan kerasukan roh jahat, karena sebagai pendosa, melakukan perbuatan amoral, atau kurang iman. Hal ini berujung dengan dibawanya yang bersangkutan ke dukun atau kiai yang dianggap keluarga mampu menyembuhkan.
Stigma-stigma ini yang kemudian mendorong terjadinya tindakan diskriminatif yang dialami para penyandang disabilitas psikososial. Mereka cenderung tidak diberikan hak untuk memilih perawatan mana yang ingin didapatkan, seluruh keputusan dipegang penuh walinya atau keluarga.
Hal ini digambarkan gamblang dalam Undang-undang No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa: seorang anggota keluarga atau wali membawa seorang anak atau orang dewasa penyandang disabilitas psikososial ke sebuah rumah sakit atau panti sosial, tanpa persetujuan dan tinjauan pengadilan.
Human Rights Watch mendapati 65 kasus orang ditahan sewenang-wenang di rumah sakit jiwa, di panti sosial, dan di pusat pengobatan tradisional dan keagamaan atau yang dijalankan oleh lembaga nonpemerintah. Tak ada seorang penyandang disabilitas psikososial dari yang diwawancarai, mengatakan bahwa mereka ke sana secara sukarela.
Padahal, Indonesia ikut meratifikasi Konvensi Hak-hal Penyandang Disabilitas (CRPD) pada 2011. Isinya, Indonesia setuju menjamin hak setara bagi semua penyandang disabilitas termasuk menikmati atas kebebasan dan keamanan, dan bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk.
Betapa Sepelenya Indonesia
Stigma buruk terhadap penyandang disabilitas psikososial yang ada di masyarakat diperparah dengan pengetahuan negara yang sama buruknya terhadap isu kesehatan mental. Terbukti dari keseriusan negara ini yang macam tong kosong nyaring bunyinya.
Selain ratifikasi CRPD, 2014 silam Indonesia meloloskan Undang-undang No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Di dalamnya kembali ditegaskan pelarangan pasung yang sudah jadi cara tradisional orang Indonesia dalam menangani keluarganya yang menderita gangguan kesehatan jiwa. Padahal pelarangan ini sudah ada sejak 1977.
Kendati demikian, data termutakhir menunjukkan kalau masih ada 18.800 kasus pemasungan yang terjadi di negeri ini.
Mungkin budaya pasung ini belum bisa ditinggalkan karena negara abai dalam tugasnya memenuhi kebutuhan kesehatan jiwa. Negara membuktikannya sendiri melalui data yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan. Data itu menunjukkan hampir 90 persen orang tidak bisa mengakses layanan kesehatan jiwa.
Negara berpenduduk 250 juta jiwa ini hanya punya 48 rumah sakit jiwa, lebih separuhnya berada di empat provinsi dari keseluruhan 34 provinsi. Delapan provinsi tak punya rumah sakit jiwa, tiga provinsi tidak punya psikiater. Sementara di seluruh Indonesia hanya ada 600 hingga 800 psikiater. Dengan kata lain, satu psikiater terlatih melayani 300.000 hingga 400.000 orang.
Bentuk lain dari tong kosong nyaring bunyinya adalah implementasi nondiskriminasi pada UU Kesehatan Jiwa yang jauh panggang dari api. Berdasarkan laporan HRW, di hampir separuh rumah sakit, institusi, dan pusat pengobatan yang mereka datangi, petugas laki-laki lebih gampang keluar-masuk bangsal perempuan.
Penugasan dan akses bebas tanpa memandang perbedaan gender ini termasuk dilakukan malam hari, memunculkan risiko tinggi bagi perempuan dan gadis penyandang disabilitas psikososial mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.
“Kalau saya mandi, laki-laki dan petugas menyaksikan saya,” kata Tasya, perempuan penyandang disabilitas psikososial yang tinggal di sebuah pusat pengobatan di Brebes pada peneliti HRW. “Seorang petugas laki-laki meraba vagina saya tadi pagi. Mereka melakukannya untuk bersenang-senang.”
HRW tak menemukan bukti petugas ditegur atau diperkarakan atas perbuatan kekerasan fisik atau seksual.
Penanganan masalah kesehatan jiwa di Indonesia memang masi menyisakan lubang yang harus dibenahi. Ini tentu saja sangat penting untuk segera diatasi.
Apalagi WHO menyebutkan satu dari empat orang di dunia ini akan terpapar gangguan kejiwaan dalam satu titik di hidupnya. Bayangkan jika satu orang itu adalah Anda! Dan regulasi tentang Kesehatan Jiwa masih begini-begini saja di Indonesia. Maukah kita?
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti