tirto.id - Sayangnya, Red Sparrow sudah keduluan Atomic Blonde.
“Filmnya cuma mau menghibur, jangan taruh beban politik apa pun di dalamnya. Kalau kalian jenis hater yang punya blog, jangan nonton! Kalian sama sekali enggak diundang!”
Meski dua detik kemudian ia tertawa, JLaw—singkatan Jennifer Lawrence—pasang tampang serius saat mengatakan hal di atas. Mungkin dia sudah membaca beberapa review tentang filmnya, dan tak senang. Atau mungkin dia cuma mabuk.
Sebab, mustahil tak membawa-bawa Red Sparrow ke ranah politik. Film itu jelas-jelas berkonten politis. Pertama ia diangkat dari novel James Matthews yang berjudul sama. Mathews ini adalah bekas anggota CIA—badan intelijen Amerika—yang mengangkat cerita mata-mata Rusia dalam bukunya. Semua orang yang pernah belajar sejarah di sekolah dasar tentang Perang Dunia, tahu kalau Amerika dan Rusia adalah teladan sempurna dari istilah "musuh bebuyutan".
Jadi, arah plot kisah Red Sparrow akan sangat jelas: Amerika Serikat baik, dan Rusia-lah penjahatnya. Ingat, film ini adalah produksi Hollywood—industri film AS. Sepanjang film saja kita akan melihat orang-orang Rusia yang berbahasa Inggris di negara mereka.
Tapi, jika JLaw memang tak mau membahas bobot politis film terbarunya, mari kita fokus pada isi filmnya saja—yang berdasarkan keterangan sang aktris: Red Sparrow adalah film yang lebih berkonsentrasi pada sisi psikologis karakter-karakternya, alih-alih glorifikasi kehidupan mata-mata. Untuk hal itu ia benar.
Tempat itu adalah mimpi buruk orang-orang liberal. Di sana, mereka diingatkan kembali bahwa bagi Rusia: “tubuhmu adalah properti negara. Negara sudah memberikanmu hidup. Ini saatnya negara meminta kembali darimu.” Maka, tugas para Sparrow adalah untuk memberikan apa pun yang negara minta—termasuk ketika mereka menyuruhmu mengoral, dipenetrasi di depan umum, dan tentu saja mati.
Di tempat itu memang ada beberapa adegan sadis, bugil, dan mengerikan—yang tentu saja dipotong Lembaga Sensor Film Indonesia demi menjaga pandangan kita (sekaligus menyimpan potongan adegan itu buat mereka saja).
JLaw benar. Lewat Dominika, kita memang akan cemas di bangku penonton karena roller-coaster emosi yang dihadapinya. Sebagai aktris ia berhasil menyajikan elemen tersebut. Akting JLaw sebagai perempuan muda yang diperkosa, dihajar hingga babak belur, dan disiksa negaranya sendiri memang bikin bergidik. Sejenak, kita bisa lupa betapa kocaknya kepribadian Jennifer Lawrence di kehidupan nyata, dan kembali teringat gadis kaku bernama Katniss Everdeen di The Hunger Games.
Kita akan melihat lebih banyak adegan Dominika disiksa dan bergulat dengan perasaannya, ketimbang koreografi canggih ala film mata-mata. Tak seperti di film-film sejenis, yang tokoh utamanya pasti memperlihatkan adegan tarung, JLaw nyaris sama sekali tak punya itu di sini. Red Sparrow memang hanya berfokus menglorifikasi sadisme yang mungkin menimpa karakter agen intelijen macam Dominika.
Tapi tentu saja, semua sajian itu tak terlepas dari tuntutan naskah. JLaw benar-benar tampil tersiksa karena atmosfer Rusia yang dibangun Matthews, dan sang sutradara Francis Lawrence. Negara itu ditampilkan kelam, dingin, dan mengerikan lewat kolusi, nepotisme, dan militernya yang nasionalis fanatik.
Kengerian itu makin kontras, ketika alur naskah membawa Dominika bertemu Nate Nash (Joel Edgerton)—anggota CIA—yang biro tempatnya bekerja lebih cair dan penuh humor bila dibanding kantor intelijen Rusia. Nate juga menjelaskan pada Dominika bahwa negaranya tak akan pernah mengorbankan ‘orang mereka’, sebagaimana Rusia akan sangat mudah melakukan hal sebaliknya.
Di sini juga ada karakter Stephanie Boucher (yang diperankan sangat kocak oleh Mary-Louis Parker), karakter lesbian yang bekerja sebagai orang pemerintahan AS. Semakin menambah kontras, bahwa Amerika lebih liberal ketimbang pemerintahan Rusia yang anti-homoseksual.
Saat JLaw bilang kalau filmnya sama sekali tak patut dikait-kaitkan dengan politik, ia jelas-jelas salah—maksudnya, mabuk. Dominika sendiri adalah agen ganda yang ingin lari dari Rusia dan tinggal di Amerika, karena menganggap tanah Paman Trump itu adalah tempat yang lebih aman. Bagaimana mungkin Red Sparrow tak tampil politis?
Jika kita hanya ingin fokus pada ceritanya, mungkin Atomic Blonde adalah tontonan yang lebih menghibur. Film itu juga berkisah tentang agen ganda yang diperankan aktris pirang. Alurnya juga kompleks, dengan ranjau twist di ujung film. Bahkan ia punya adegan tarung single-shot selama enam menit yang kerennya luar biasa—sesuatu yang bikin Charlize Theron, sang pemeran utama, kelihatan lebih badass ketimbang JLaw.
Mungkin, kalau Red Sparrow tampil lebih awal, dan tidak terlalu kentara menampilkan propaganda lawas Amerika versus Rusia—mungkin saja—ia tak terasa sehambar ini.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Windu Jusuf