Menuju konten utama

Konflik AS-Rusia dan Perang Dingin yang Tak Selesai

Hubungan bilateral Amerika Serikat dan Rusia sedang berada di titik nadir pasca aksi "serangan" cyber yang dilakukan oleh Kremlin kepada Komite Nasional Demokrat dan beberapa organisasi politik ketika masa Pemilu AS lalu. Sebuah kondisi yang sesungguhnya tidak mengherankan jika berkaca dari sejarah hubungan kedua negara.

Konflik AS-Rusia dan Perang Dingin yang Tak Selesai
Presiden Rusia Vladimir Putin. ANTARA FOTO/REUTERS/Maxim Zmeyev

tirto.id - Amerika Serikat dan Rusia kembali berseteru. Kali ini, AS memberikan hadiah “manis” bagi Rusia menjelang tutup tahun 2016. Presiden Barack Obama secara resmi menyatakan status “persona non grata” terhadap 35 diplomat Rusia sekaligus menutup dua kompleks diplomatik Rusia di New York dan Maryland.

Pemerintah AS juga memberlakukan sanksi terhadap dua badan intelijen terkemuka Rusia dan memberikan penalti kepada empat perwira dari salah satu badan intelijen tersebut, G.R.U. Sebagai catatan, G.R.U merupakan unit intelijen militer Rusia yang dikenal sangat kuat, demikian seperti dilansir dari The New York Times.

Sejumlah badan intelijen AS memang telah menyimpulkan bahwa G.R.U-lah yang bertanggung jawab terhadap serangan cyber terhadap Komite Nasional Demokrat dan beberapa organisasi politik di AS, sebuah aksi yang kemudian berujung pada dipublikasikannya sejumlah email yang dikumpulkan G.R.U untuk memberikan keuntungan pada kampanye Presiden terpilih Donald J. Trump yang pada saat itu masih menjadi calon presiden dari Partai Republik.

Pengusiran 35 diplomat tersebut sendiri, menurut pemerintah AS, merupakan respons terhadap tekanan yang diberikan Rusia kepada para diplomat AS di Moskow. Ke-35 diplomat itu diberi batas waktu hingga 72 jam untuk meninggalkan Negeri Paman Sam tersebut.

"Tindakan ini diambil sebagai jawaban atas pelecehan yang dilakukan Rusia terhadap para diplomat AS dan tindakan para diplomat Rusia yang kami anggap tidak konsisten dengan praktik-praktik diplomatik," kata seorang pejabat senior AS, sebagaimana dilansir dari kantor berita Antara.

"Kami berharap pemerintah Rusia mengevaluasi kembali tindakan-tindakan mereka, yang telah menghambat kemampuan dan keselamatan para personel kedutaan besar kami di Rusia."

Rusia jelas tidak tinggal diam. Sesaat setelah sanksi tersebut diumumkan, juru Bicara Presiden Rusia Vladimir Putin, Dmitry Peskov, memastikan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin akan mengeluarkan perintah atau keputusan presiden sebagai balasan sepatutnya atas sanksi diplomatik itu.

Dalam jumpa pers, Peskov menyatakan Moskow meragukan efektifitas langkah yang diambil pemerintahan AS sekarang yang umurnya tiga pekan lagi, sekaligus menyatakan bahwa sanksi itu hanya akan merusak hubungan Moskow dengan Washington.

Pengusiran diplomat Rusia tersebut sendiri merupakan sebagian dari serangkaian "hukuman" yang telah dan akan dilakukan oleh Pemerintah AS. Meski demikian, Trump, yang memiliki hubungan cukup nyaman dengan Rusia, mengatakan kepada wartawan bahwa isu "balas dendam" itu adalah sebuah distraksi dan tidak ada bukti konklusif mengenai siapa yang berada di balik serangan cyber itu.

"Saya pikir kita harus melanjutkan hidup kita," kata Trump, seperti dikutip dari BBC. "Saya kira komputer telah membuat kehidupan yang menjadi sangat rumit. Zaman komputer telah membuat situasi di mana tidak ada yang tahu persis apa yang sesungguhnya terjadi."

Amerika Serikat - Rusia

Perang Dingin yang Sesungguhnya Tak Pernah Usai

Konflik "serangan" cyber ini secara tidak langsung sesungguhnya mengindikasikan jika kedua negara secara rutin melakukan praktik spionase untuk saling melalukan cek dan ricek kekuatan masing-masing negara. Sebuah hal yang wajar mengingat keduanya masih merupakan salah satu dari kekuatan terbesar di dunia saat ini.

Seperti dikutip dari The New York Times, aksi pengusiran diplomat kali ini merupakan yang kedua terbesar sejak tahun 2000. Pada bulan Maret 2001 lalu, pemerintah AS pernah melakukan pengusiran terhadap 50 pejabat Rusia setelah Kremlin melakukan penangkapan terhadap Robert Philip Hanssen, seorang agen veteran FBI, setelah melakukan aksi pengintaian selama lebih dari 15 tahun.

Para pejabat Amerika Hanssen telah dibayar ratusan ribu dolar setelah ia mengajukan diri untuk menyerahkan sejumlah rahasia AS ke Rusia. Sebagai tanggapan atas pengusiran 50 diplomat itu, Pemerintah Rusia mengusir beberapa diplomat AS.

Pada Mei 2013, Pemerintah Rusia memerintahkan seorang pegawai Kedutaan Besar AS yang bernama Ryan C. Fogle untuk keluar dari Negeri Beruang Merah itu. Fogle ditangkap ketika membawa dua buah rambut palsu, sebuah atlas jalanan Moskow, uang tunai $130.000 dan sebuah surat yang menawarkan bayaran sebesar "hingga $1 juta untuk kerja sama jangka panjang."

Pada tahun yang sama di bulan Juni, Pemerintah AS mengusir dua diplomat Rusia setelah insiden penyerangan serang diplomat AS di luar gedung Kedutaan AS di Moskow oleh seorang polisi Rusia. Media setempat mengatakan diplomat tersebut merupakan agen CIA yang menyamar setelah menolak untuk menunjukkan kartu identitas sebelum memasuki gedung kedutaan AS.

Tahun 2010, Pemerintah AS mendeportasi sebanyak 10 warga Rusia yang dituduh sebagai sleeper agent setelah terbukti bersalah melakukan aksi konspirasi dalam pengadilan federal di Manhattan, AS.

Sebagai catatan, sleeper agent merupakan mata-mata yang ditempatkan di negara target atau organisasi untuk tidak melakukan misi langsung tetapi untuk bertindak sebagai aset potensial jika diaktifkan.

Pada tahun 1994, tepatnya pada bulan Februari, AS menangkap seorang pegawai CIA yang ternyata merupakan agen ganda, dan sesaat setelah penangkapan agen itu, yang bernama Aldrich H. Ames, AS mengusir diplomat senior Rusia, Aleksandr Lyskenko, yang mereka sebut sebagai petugas tingkat tinggi dari Intelijen Luar Negeri Rusia.

Menurut Departemen Luar Negeri AS, Lyskenko saat itu berada pada jabatan yang harus bertanggung jawab terhadap aktivitas Ames.

Langkah pemerintah terhadap kejadian tersebut sendiri cukup lunak, sebab Bill Clinton yang saat itu menjabat sebagai Presiden AS sedang melakukan upaya pemulihan hubungan dengan Rusia di bawah pimpinan Presiden Boris N. Yeltsin. Sebelum meminta Lyskenko untuk meninggalkan negeri Paman Sam, AS bahkan memberikan opsi pada Rusia agar secara sukarela menariknya kembali ke negara itu.

Pengusiran yang sangat masif pernah terjadi pada tahun 1986. Pemerintah AS di bawah Presiden Ronald Reagan kala itu mengusir sebanyak 55 diplomat Uni Soviet pada bulan November. Hal ini sebagai upaya dari pemerintah AS untuk menekan kegiatan spionase.

Pada saat itu, pemerintah Rusia juga mengeluarkan perintah agar 260 orang Soviet yang bekerja sebagai pegawai di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Moskow untuk berhenti bekerja.

Konflik kedua negara itu muncul setelah seorang karyawan PBB berkewarganegaraan Soviet, Gennadi F. Zakharov, ditangkap atas tuduhan spionase. Rusia menanggapinya dengan balas menangkap Nicholas S. Daniloff, koresponden untuk US News & World Report di Moskow, dan menuduhnya mata-mata. Meski demikian, Daniloff dilepaskan dua minggu setelah penangkapannya.

Selain sejumlah aksi pengusiran diplomat itu, langkah Presiden Putin memberikan suaka pada mantan pegawai CIA, Edward Snowden yang merupakan seorang whistleblower juga dapat merepresentasikan bahwa kedua negara sesungguhnya masih dalam situasi “kompetisi” memperebutkan pengaruh di dunia hingga saat ini.

Menjadi menarik untuk kemudian melihat bagaimana AS di bawah Trump akan membawa hubungan negara adi daya itu dengan Rusia setelah konflik pengusiran 35 diplomat ini.

Baca juga artikel terkait RUSIA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti