tirto.id - Apa yang terlintas dalam pikiran kita saat membicarakan tentang Tembok Besar? Tentu saja yang muncul adalah Cina. Tembok yang membentang sejauh 21.196 kilometer ini memang dianggap sebagai ikon paling terkenal dari negeri Tirai Bambu. Tembok Cina adalah salah satu bangunan terbesar yang pernah diciptakan manusia. Saking besarnya bangunan ini, konon Tembok Cina bisa dilihat dengan jelas dari bulan.
Lantas, apa yang terjadi jika Tembok Besar ini diserang oleh sekelompok makhluk mitologi pada abad pertengahan? Apa yang harus dilakukan kaisar Cina pada masa itu?
Zhang Yimou, salah satu sutradara terbaik Cina, punya jawabannya: mengimpor seorang pahlawan berkulit putih untuk membunuhi makhluk-makhluk itu.
Itulah premis utama dari film “The Great Wall” yang akan dirilis oleh rumah produksi Universal Pictures pada Februari 2017 mendatang. Film kolosal besutan Zhang Yimou itu memang memasang aktor Hollywood Matt Damon sebagai pemeran utamanya.
Dalam cuplikan video promosinya, Damon tampak berjuang bahu-membahu dengan pasukan kekaisaran Cina untuk membasmi invasi “Taotie”--sejenis hewan mitologi yang menyerbu Tembok Besar setiap 60 tahun sekali.
Belum lagi dirilis di pasaran, “The Great Wall” sudah menuai suara negatif dari beberapa pihak. Pemilihan Matt Damon sebagai “sang penyelamat Tembok Cina” dianggap tak layak dan terkesan dipaksakan.
“Kita harus menyetop anggapan rasis bahwa hanya seorang kulit putih yang dapat menyelamatkan dunia!,” tandas Constance Wu, seorang aktris Hollywood berdarah Cina, kepada USA Today.
“Film itu tak berdasarkan fakta sebenarnya. Pahlawan Cina tidaklah seseorang yang terlihat seperti Matt Damon. Mereka seharusnya terlihat seperti Malala [Yousafzai], Mandela, dan Gandhi: orang-orang yang bersedia berdiri di depanmu untuk menghadapi para penindasmu,” lanjutnya.
Media sosial ketinggalan turut meledak atas pemilihan Matt Damon sebagai tokoh utama. Sebagian besar netizen yang berkomentar rata-rata menyerang konsep “white savior” atau “orang kulit putih selalu muncul sebagai penyelamat dari marabahaya”.
“Hal yang bisa kau harapkan dari Hollywood: bikin film di daerah manapun, dalam era apapun, dan selalu bisa memilih pemeran utama berkulit putih,” cuit akun @angryasianman dengan nada sinis.
“Karena orang-orang Asia tidak bisa memenangkan pertempuran mereka sendiri, bukan?,” cuit akun @Mimi_TheSound.
Tampaknya, Matt Damon akan lebih mudah membasmi makhluk-makhluk mitologi dengan panah dan pedang kunonya dibandingkan menghadapi cibiran netizen ini.
White savior dari masa ke masa
Kecenderungan mengagungkan supremasi kulit putih adalah penyakit lama Hollywood yang masih jauh dari kata sembuh. Fenomena ini tampak dari kebiasaan-kebiasaan seperti menampilkan aktor kulit putih untuk memerankan karakter ras lain (“whitewashing”) serta menempatkan karakter kulit putih sebagai penyelamat (“white savior”).
Masyarakat Amerika Serikat sebagai konsumen utama film-film Hollywood memang dikenal kurang bisa menghargai keberadaan pemeran dari ras selain kulit putih di layar kaca. Alhasil, mereka enggan untuk menonton film yang pemeran utamanya tidak berkulit putih. Film-film yang nekat memajang aktor kulit putih biasanya akan berakhir jeblok dari segi bisnis.
Di sisi lain, para aktor/aktris berwarna hanya “laku” dalam film-film dengan genre yang spesifik dan cenderung stereotipikal. Hal ini misalnya tampak dari kesuksesan bintang Asia, Jackie Chan, yang terpaku pada film-film laga komedi seperti “Rush Hour” saja. Padahal, di Hong Kong, Jackie Chan juga bermain cukup baik di film drama seperti “Shinjuku Incident”. Dalam film drama kriminal ini Jackie Chan bahkan tak sekalipun mengeluarkan kemampuan beladiri atau sisi humornya.
Virus superioritas kulit putih tidak hanya terjadi di kalangan penonton saja. Para pembuat film di AS sendiri pun mengidap penyakit yang sama. Fakta ini terlihat dari penuturan Charles J. Shields, penulis biografi "Mockingbird: A Portrait of Harper Lee” kepada LA Times.
Shields menceritakan bahwa Gregory Peck, produser sekaligus pemeran pengacara kulit putih Atticus Finch dalam film “To Kill a Mockingbird” (1963), sengaja menjadikan film itu sebagai sarana menyuarakan pandangannya atas segregasi rasial di Amerika yang kala itu memang menghangat.
Saat proses penyuntingan, Peck bahkan memaksa sang sutradara untuk memfokuskan film pada kepahlawanan sosok Atticus sehingga menenggelamkan karakter-karakter lainnya. Sosok kulit hitam Tom Robinson—pekerja kulit hitam yang dibela Atticus—bahkan hanya pasrah dan pasif di sepanjang film.
Protagonis kulit putih hampir selalu dipajang sebagai sumber solusi di dalam film-film Hollywood, khususnya dalam film-film bertema hubungan antar ras. Mereka seakan-akan selalu berhasil menjadi jembatan dari mereka yang tertindas untuk melawan bahkan mencapai kesetaraan dengan penindasnya.
Ada banyak film yang memakai pola seperti ini. Banyak dari film-film tersebut, berhasil menyabet predikat terlaris bahkan memenangkan penghargaan-penghargaan bergengsi.
“The Last Samurai” (2003) adalah salah satunya. Plot film ini berkisar di seputar pergesekan antara kaum samurai dan kaum modernis Jepang pada masa Restorasi Meiji. Sang tokoh utama yang diperankan oleh Tom Cruise diceritakan berperang di sisi kaum samurai yang menolak modernisasi yang digencarkan oleh Kaisar Meiji.
“Mereka [pembuat film] membuat seolah-olah Jepang tidak akan bisa keluar dari masa feodal tanpa bantuan Tom Cruise,” cecar Laurence Lerman, kritikus film dari majalah Variety.
Namun, pola “white savior” paling sering digunakan untuk memotret hubungan antara kulit putih dan kulit hitam khususnya di Amerika Serikat. Selain “To Kill a Mockingbird”, pola “white savior” bisa ditemukan dalam film-film kelas Oscar seperti “The Blind Side” (2009)--yang berkisah tentang seorang wanita kulit putih yang mendidik seorang gelandangan kulit hitam sehingga menjadi pemain american football sukses—hingga “Django Unchained” (2012) tentang seorang budak kulit hitam yang dibebaskan oleh seorang kulit putih dan menjadi partnernya sebagai pasangan pemburu hadiah.
Bumbu-bumbu stereotip
Jalinan plot yang dipakai pun nyaris serupa: seorang kulit hitam ada dalam kondisi tertindas atau terpuruk karena identitas rasial dan kemampuan ekonominya, tetapi mereka menyimpan potensi. Lalu datanglah sang penyelamat kulit putih yang membantu menemukan sekaligus mengembangkan potensi mereka. Akhir cerita hampir selalu manis: si kulit hitam akhirnya sukses dan lepas dari belitan kesusahan hidupnya.
Film-film “white savior” seringkali berangkat dari stereotip buruk tentang golongan minoritas. “Dangerous Mind” (1995) adalah salah satu contoh yang paling “baik”. Film ini menceritakan tentang usaha seorang guru perempuan eks-Marinir yang ditugaskan untuk mengajar di sekolah di kawasan kumuh California. Di tempat itu, ia harus berhadapan dengan anak-anak keturunan Hispanik dan kulit hitam dengan masalah-masalah yang stereotipikal: anggota gangster, berandalan, pengguna narkoba, bahkan hamil di luar nikah.
Sang guru—diperankan aktris Michelle Pfeiffer—harus menghadapi murid-murid bermasalah ini, keluarganya, serta lingkungan miskin yang keras. Ia harus berjibaku memperoleh pengakuan dan kepercayaan dari murid-muridnya. Pada akhirnya, murid-muridnya menyadari arti penting sang guru dan memintanya untuk kembali mengajar sembari berkata : “We see you as being our light!”
Poin yang harus dikritisi adalah, mengapa karakter kulit hitam harus selalu dibantu oleh si kulit putih untuk sukses? Di satu sisi, ada semacam sisi moral yang ingin ditampilkan bahwa tokoh kulit putih ikut bertanggung jawab terhadap kemalangan si kulit hitam.
Namun, hal ini juga menyiratkan bahwa kulit hitam takkan mampu keluar dari masalahnya sendirian. Ada sisi ketergantungan yang akhirnya mempertahankan ketimpangan antara kulit hitam terhadap kulit putih. Realitas seperti ini selalu diproduksi secara berulang kali dan menimbulkan anggapan bahwa struktur sosial inilah yang benar-benar menjadi pondasi masyarakat.
Matthew Hughey, sosiolog asal University of Connecticut, menyebutkan bahwa pandangan “white savior” telah menjadi semacam “hegemoni”. Ia berpendapat bahwa sekitar 90% masyarakat kulit putih AS tidak memiliki pengalaman nyata dalam berinteraksi dengan kelompok minoritas. Sementara itu, sekitar dua per tiga dari penonton film di AS adalah warga kulit putih.
“Dalam konteks itu, film-film populer bertemakan ras dan rasisme telah menjadi pedoman karena mereka tidak memiliki pengalaman nyata di masyarakat. Film dianggap sebagai gambaran otentik atas kehidupan dan menjadi penulis sejarah bagi memori kolektif dari sebagian besar masyarakat kita,” paparnya dalam laman University of Connecticut.
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Putu Agung Nara Indra