Menuju konten utama

Hikayat Siput Melawan Sultan

Seorang warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta menyomasi Sri Sultan Hamengkubuwono X terkait larangan warga keturunan memiliki tanah dengan sertifikat hak milik, setelah gugatan ke MA dan PTUN kandas.

Perjuangan warga Tionghoa rebut haknya. Melaporkan BPN ke Ombudsmen RI Yogyakarta. Siput dan kawan-kawan menyomasi Sultan [Tirto/Kresna]

tirto.id - Lelaki 60-an tahun itu turun dari sebuah mobil di pelataran Kepatihan Kantor Gubernur Yogyakarta, pada Rabu (14/9/2016). Ia mengenakan batik lengan pendek, celana kain hitam, sepatu tersemir mengkilap dan kopiah hitam. Waktu baru menunjukkan pukul 10.20 WIB saat Siput tiba.

Dia lalu melangkah dengan tenang menuju pintu utama ruang Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Tangan kirinya menjinjing tas plastik berisi berkas-berkas.

“Ngarso Dalam enten (ada)?” tanyanya ramah dengan logat medok Yogyakarta pada seorang petugas protokoler Gubernur.

“Nggak ada. Ada apa ya Pak? Bapak siapa dan ada keperluan apa?” tanya si petugas.

“Saya Siput, ini sama teman-teman mau bertemu Sultan,” balas pemilik nama Zaelous Siput Lokasari itu.

“Maaf, Sultan sedang keluar, ada acara di Hotel Ambarukmo,” tukas si petugas.

“Oh begitu, kalau gitu saya ketemu Wagub saja,” pungkas Siput.

Siput lantas kembali ke mobilnya bersama dua temannya. Dia meminta supirnya membawa mobil mengitari bangsal Kepatihan, lalu parkir tepat di depan pintu masuk ruang Wakil Gubernur Yogyakarta, Sri Paduka Paku Alam X.

“Mau ketemu Pak Wagub, ada nggak ya?” tanya Siput begitu turun dari mobil.

“Ada keperluan apa ya? Sudah ada janji belum Bapak?” tanya petugas protokoler.

“Bilang saja Pak Siput, belum ada janji sebenarnya, karena ini mau ketemu Pak Gubernur tapi tidak ada. Jadi sekalian saja ke Pak Wagub,” jawab Siput.

Petugas lantas mempersilahkan Siput masuk ke ruang tunggu. Lima menit menunggu, seorang petugas protokoler lainnya datang menghampiri Siput. Dia disambut baik seperti sudah saling mengenal.

“Pak Siput, Pak Wagub sedang ada rapat ini, ada apa ya?” tanyanya.

“Kalau ketemu sebentar bisa nggak ya mas?”

“Wah tidak bisa Pak Siput, beliau setelah ini sudah ada janjian dengan tamu.”

“Oh begitu, ya sudah, kalau begitu saya titip ini saja,” kata Siput lalu mengeluarkan dua amplop map warna coklat. “Ini untuk pak Wagub, sekalian titip untuk Pak Gub,” sambungnya.

“Ini apa pak Siput?”

“Begini, ini somasi saya ke Pak Gubernur dan Wakil Gubernur. Saya minta tolong untuk disampaikan langsung ke Pak Gubernur dan Wakil Gubernur supaya dibaca langsung.”

“Oh, kalau ini lebih baik langsung ke bagian umum saja Pak Siput, supaya nanti ada tanda terimanya. Inikan resmi, supaya nanti ada tanggapan resmi juga,” terang petugas.

Tanpa basa-basi, Siput pun mengikuti saran si petugas. Dia pun berjalan keluar Kantor Wakil Gubernur menuju kantor bagian umum yang masih dalam satu kompleks. Di sana, Siput pun menyerahkan somasi itu. Dia lantas mendapatkan tanda terima.

Somasi yang dilayangkan Siput itu mengenai larangan warga negara nonpribumi di Yogyakarta yang tidak diperbolehkan memiliki hak milik tanah. Siput mendesak agar Sultan mencabut aturan itu sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM.

“Itu kan pelanggaran HAM. Kalau tidak diberi tanggapan dan tidak dipatuhi somasi saya, saya akan bawa ke ranah hukum,” kata Siput kepada tiga orang wartawan yang mencegatnya. Setelah itu, Siput dan dua temannya pergi meninggalkan kantor Gubernur.

Sementara itu, di aula Hotel Royal Ambarukmo lantai 8, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang sekaligus Raja Keraton Yogyakarta baru saja selesai menyampaikan pidatonya dalam acara yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Setelah itu dia duduk menyaksikan pemaparan dari OJK dan BPD. Sekitar pukul 12.30 WIB, acara selesai. Sultan pun keluar dari ruangan.

Dia terkejut ketika ditanya wartawan tentang somasi dari Siput. “Ke aku somasinya? Ya nggak tahu, belum baca aku. Ya nggak papa,” kata Sultan menanggapi somasi Siput.

Merancang Somasi, Melawan Ketakutan

Somasi yang dibuat Siput sudah dipikirkannya dengan masak beberapa hari sebelumnya. Saat itu, Siput sebenarnya masih berhitung. Dia masih ragu dengan keputusan untuk menyampaikan somasi. Dia pun beberapa kali meminta saran dari temannya, Willie Sebastian dan Bambang Muryanto.

Willie adalah warga Yogyakarta keturunan Tionghoa yang bernasib sama dengan Siput. Keduanya tidak diperbolehkan memiliki hak milik tanah di Yogyakarta lantaran ada Surat Instruksi Wakil Gubernur tahun 1975 yang melarang pemberikan hak milik tanah pada warga negara nonpribumi, salah satunya keturunan Tionghoa. Sedangkan Bambang adalah jurnalis senior salah satu surat kabar nasional berbahasa inggris, The Jakarta Post.

“Apa perlu ya disomasi?” tanya Siput.

Willie sejak awal mendukung Siput untuk melayangkan somasi. Jauh sebelumnya, Wili dan Siput juga terlibat dalam sejumlah aksi bersama untuk menuntut kesetaraan hak kepemilikan tanah. Willie dan Siput sama-sama tergabung dalam organisasi Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi, disingkat Granad.

Inti somasi sebenarnya sederhana. Siput ingin agar Sultan menaati rekomendasi Komnas HAM yang sudah dilayangkan dua kali.

Rekomendasi pertama Komnas HAM tertanggal 11 Agustus 2014, meminta Gubernur mencabut Surat Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta nomor K898/I/A/1975 perihal Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi karena melanggar Hak Asasi Manusia.

Rekomendasi kedua dilayangkan setahun setelahnya, pada Agustus 2015. Isinya, Komnas HAM mengingatkan Sultan untuk melaksanakan rekomendasi pertama yang meminta Sultan untuk mencabut surat instruksi yang diskriminatif itu.

“Saya menyebutkan bahwa Gubernur adalah orang yang bijak yang paham Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 45. Ini sopan ya, nggak masalahkan kalau buat somasi ini?” tanya Siput mencari pembelaan untuk meyakinkan diri.

“Menurut saya nggak apa-apa. Memang begitu, kita kan menyampaikan yang benar,” ujar Willie.

Sejatinya, keraguan Siput menggambarkan ketakutannya. Menyomasi Sultan, seroang gubernur seumur hidup dan sekaligus Raja Keraton Yogyakarta memang bukan perkara sepele. Jangankan menyomasi, untuk bersuara mengkritik saja mungkin tidak banyak keturunan Tionghoa di Yogyakarta yang seberani dan senekad Siput.

Sebagian besar warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta yang sebenarnya memiliki masalah yang sama, mendapat perlakuan diskriminatif memilih diam. Tak jarang juga yang menyebut Siput gila. Siput bahkan sempat diminta untuk menghentikan perlawanannya untuk mendapatkan hak milik tanah. Mereka khawatir, tindakan Siput akan berdampak buruk bagi kelangsungan para keturunan Tionghoa lainnya.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/10/04/HL-WNI-Non-Pribumi-3.jpg" width="860" /

Turun ke Jalan

Memang mungkin baru pertama kalinya dalam sejarah pasca reformasi 1998, warga keturunan Tionghoa melakukan perlawanan terbuka terhadap penguasa. Tepat pada 28 September 2015, Granad yang diketuai Willie melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPRD Yogyakarta.

Siput juga terlibat dalam aksi itu. Selain itu, elemen masyarakat Yogyakarta lainnya yang tidak sepakat dengan diskriminasi dan penggusuran serta penyerobotan lahan petani pun turut dalam aksi tersebut.

Mereka melakukan aksi long march dari taman parkit Abu Bakar Ali menuju titik nol. Dalam perjalanan mereka pun berhenti di depan Gedung DPRD Yogyakarta dan Kantor Gubernur untuk melakukan orasi.

Di tengah terik matahari dan ratusan massa itu, Willie lantang meneriakan orasi. Pengeras suara digenggamnya erat. Suaranya sedikit terbata-bata saat membacakan tuntutannya, namun tetap nyaring terdengar.

“Kami menuntut penghapusan diskriminasi rasial di Yogyakarta dan di seluruh Indonesia,” teriak Willie.

Meski lantang, teriakan Willie ternyata tidak didengar para wakil rakyat. Buktinya, sampai kini belum ada sikap apapun dari para wakil rakyat. Mereka juga memilih diam meski diskriminasi yang dialami warga yang dilabeli nonpribumi terus berlanjut.

Gugat Aturan

Handoko, warga keturunan Tionghoa di Yogyakarta yang juga seorang advokat, terdiam ketika membaca sebuah skripsi mahasiswa yang magang di kantornya. Skripsi itu menyinggung soal diskriminasi warga Tionghoa di Yogyakarta yang tidak diperbolehkan memiliki hak milik tanah.

Selama ini Handoko memang sudah mendengar kabar itu. Namun dia tidak menyangka jika hal itu benar-benar secara resmi diatur oleh pemerintah daerah Yogyakarta. Dia mengira jika itu semua hanya aturan tidak tertulis atau sebatas rumor belaka.

Pada 2014, Handoko getol mencari tahu soal masalah itu. Sampai suatu hari dia bertemu dengan Siput dan aktivis Granad lainnya. Pertemuan dengan Siput itu mencetuskan ide untuk menggugat aturan diskriminatif itu ke Mahakamah Agung. Tanpa pikir panjang, Handoko langsung mendaftarkan perkara ke MA pada Januari 2015.

Sayangnya gugatan itu ditolak. Surat instruksi wakil gubernur 1975 itu dianggap bukan produk undang-undang, sehingga MA tidak bisa mengadilinya. MA pun memutus N.O yang merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima, karena alasan gugatan mengandung cacat formil. Gugatan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh hakim untuk diperiksa dan diadili, sehingga tidak ada obyek gugatan dalam putusan untuk dieksekusi.

Putusan itu tidak membuat Handoko putus asa untuk memperjuangkan kebenaran. “Kita ini sudah merdeka kok, aturan seperti ini ya harusnya tidak ada lagi. Kalau ada pembedaan seperti ini, orang lahir dengan mata sipit adalah ketidakadilan. Masak seperti itu? Ini nggak bener,” katanya.

Pada Maret 2016, bersama dengan Siput dan para aktivis lainnya, Handoko mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta. Lagi-lagi usahanya gagal. PTUN tidak menerima gugatan itu karena Surat Instruksi itu bukan termasuk diskresi, sehingga PTUN tidak bisa mengadilinya.

“Lalu apa? Aturan di bawah undang-undang bukan, diskresi juga bukan. Ini aturan apa? Seperti lebih sakti dari undang-undang,” kata Handoko jengkel.

Turunkan Sultan

Siput pun jengkel mendengar kabar kegagalan Handoko. Dia nyaris frustrasi. Puncak kejengkelan Siput terjadi pada 11 April 2016. Pagi itu, sekitar pukul 09.00 WIB, Siput tiba di Kantor BPN Kulonprogo memenuhi panggilan Kepala BPN Kulonprogo, Muhammad Fadil.

Siput dipanggil terkait upayanya untuk membalik nama kepemilikan tanah seluas 2.125 meter persegi di Triharjo, Kulonprogo, atas nama istrinya, Veronika. Tanah itu baru saja dibeli seharga Rp 605.625.000 pada tahun 2015. Namun BPN Kulonprogo menolak memproses balik nama itu. Alasannya jelas, karena istrinya adalah seorang keturunan Tionghoa.

“Pak Fadil,” kata Siput dengan nada merendah, “Saya itu memang keturunan Tionghoa, tapi saya ini WNI. Kenapa nggak boleh punya hak milik tanah?”

“Saya hanya menjalankan aturan. Kalau di Jawa Tengah pasti boleh. Karena di Yogyakarta ada aturan itu, jadi saya mengikuti aturan itu,” jelas Fadil.

Jawab itu membuat Siput naik pitam.

“Lho, kita sama-sama WNI di KTP. Kenapa harus ada pembedaan begini? Apa gunanya kemerdekaan ini kalau masih ada diskriminasi? Kamu ini petugas negara atau pembantunya Keraton?” bentak Siput dengan suara melengking, sebelum akhirnya diusir dari Kantor BPN Kulonprogo.

Setelah kejadian itu, Siput melaporkan BPN Kulonprogo ke Ombudsman RI Yogyakarta karena maladministrasi pelayanan dan diskriminasi. Ternyata Siput bukan satu-satunya yang melapor ke Ombudsman. Catatan Ombudsman menunjukan, ada enam laporan serupa yang tersebar di Kabupaten Kulonprogo, Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta.

Di tengah kebuntuan itu, Siput pun memutuskan untuk mengambil langkah yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia akan menempuh jalur pidana. Tekadnya sudah bulat. Somasi sudah dilayangkan. Dia memberikan waktu 30 hari kepada Sultan untuk mencabut aturan diskriminatif itu. Jika tidak, Siput siap melawan Sultan di meja hijau. Apapun risikonya.

“Sultan itu benar, seumur hidup jadi Gubernur. Tapi kalau melanggar HAM tetap harus diberhentikan,” tegasnya.

Baca juga artikel terkait TIONGHOA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Hukum
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti
-->