tirto.id - Kegemparan melanda Maluku bagian utara pada awal 1534. Kabar mengejutkan terdengar dari jauh: Sultan Tabariji, penguasa Kesultanan Ternate yang dinobatkan setahun sebelumnya, telah melepaskan Islam dan beralih menganut Kristen.
Rakyat Ternate sontak merapatkan barisan. Mereka bersiap menolak kedatangan Sultan Tabariji yang sedang dalam perjalanan pulang dari tanah pembuangan di India. Apapun yang bakal terjadi, Ternate tidak boleh diperintah raja yang telah berpindah agama.
Sementara itu, kapal yang membawa Sultan Tabariji telah berlabuh di Malaka dan bersiap melanjutkan pelayaran menuju Ternate.
Kuatnya Islam di Ternate
Menurut sumber-sumber lokal, seperti disebutkan Arkeologi Islam Nusantara karya Uka Tjandrasasmita (2009), Kepulauan Maluku telah dikunjungi orang-orang Islam, yakni kaum pedagang dari Arab sejak abad ke-14 (hlm. 60). Ketika itu, Ternate dipimpin raja ke-12, Molomateya (1350-1357).
Penguasa Ternate pertama yang diyakini memeluk Islam adalah Zainal Abidin (1486-1500). Sejak periode inilah gelar sultan mulai digunakan untuk menggantikan sebutan kolano, gelar pemimpin yang sebelumnya dipakai secara turun-temurun.
Pada era Sultan Zainal Abidin, syariat Islam juga mulai dilaksanakan. Bahkan sistem pemerintahan Islam Ternate ini menjadi standar yang diikuti hampir seluruh kerajaan di Kepulauan Maluku. Menurut Djokosurjo dalam Agama dan Perubahan Sosial (2001), Sultan Zainal Abidin konon pernah berguru kepada Sunan Giri di Gresik (hlm. 106).
Baca juga: Jalan Setapak Syekh Siti Jenar
Kendati begitu, Islam diduga masuk ke Ternate jauh sebelum masa Raja Molomateya. Indikasinya adalah nama-nama bernuansa Timur Tengah sudah dipakai beberapa penguasa Ternate terdahulu. Beberapa di antaranya raja ke-2 dan ke-3, yakni Jamin Qadrat (1277-1284) dan Komala Abu Said (1284-1298), juga Syah Alam (1332-1343) serta Abu Hayat I (1347-1350).
Yang jelas Islam dan Ternate sudah berinteraksi sedari abad ke-13, jauh sebelum Portugis datang pada 1512. Bahkan, Ternate menjadi pusat penyebaran Islam ke hampir seluruh Kepulauan Maluku dan pulau-pulau lain di sekitarnya, hingga ke Filipina bagian selatan.
Baca juga: Orang Yahudi Naik Haji: Leopold Weiss
Drama Portugis dan Tabariji
Tabariji naik ke puncak singgasana Kesultanan Ternate pada 1533 berkat campur tangan Portugis. Itu terjadi setelah pemimpin sebelumnya, Sultan Abu Hayat II (berkuasa sejak 1529), dilengserkan. Saudara tiri Tabariji diturunkan paksa karena sering terlibat polemik dengan Portugis.
Tidak mudah bagi Portugis untuk menggulingkan Sultan Abu Hayat II. Dukungan besar dari rakyat Ternate menjadi penghalang terbesar. Hingga pada 1531, sang sultan dituding sebagai otak pembunuhan pejabat tinggi Portugis. Ia kemudian ditangkap, dimakzulkan, diadili, dan diasingkan ke Malaka.
Dalam Sejarah Sosial Kesultanan Ternate (2010) disebutkan, Portugis lantas memakai pengaruhnya untuk mendesak dewan kerajaan agar mengangkat Tabariji sebagai pemimpin baru (hlm. 9). Saat itu, Tabariji masih berstatus pangeran.
Bagi Portugis, Pangeran Tabariji lebih mudah dikendalikan setelah diangkat menjadi sultan. Portugis juga meyakini Tabariji akan berterima kasih karena telah dibantu mengambilalih takhta Ternate dari trah Abu Hayat II yang merupakan saudara tirinya. Mereka berdua adalah putra Sultan Bayanullah (1500-1522) dari lain ibu.
Baca juga: Perang Ternate-Portugis vs Tidore-Spanyol
Portugis ternyata salah perkiraan. Sultan Tabariji awalnya memang kooperatif, namun lama-kelamaan mulai memperlihatkan penentangan, bahkan menunjukkan kebencian terhadap Portugis. Inilah yang membuat Portugis berpikir lagi bagaimana caranya menindak tegas sultan yang telah mereka naikkan itu.
Seperti saat menjungkalkan Sultan Abu Hayat II, Portugis menerapkan taktik serupa terhadap Sultan Tabariji. Diungkapkan R. Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (1981), Sultan Tabariji dibawa ke India untuk diadili atas tuduhan persekongkolan jahat (hlm. 50). Tuduhan tersebut palsu belaka.
Dipaksa Pindah Agama atau Sukarela?
Sejumlah referensi mencatat bahwa di India, Sultan Tabariji dipaksa Portugis agar meninggalkan Islam dan masuk Kristen jika ingin berkuasa kembali di Ternate. Selain itu, Tabariji diminta pula untuk menyerahkan Ambon, Buru, dan Seram, serta mengakui Ternate sebagai vasal dari Kerajaan Portugis (Sejarah Sosial Kesultanan Ternate, 2010: 9).
Namun, ada beberapa sumber lain yang menuliskan kisah berbeda tentang perpindahan agama Sultan Tabariji. Paramita Rahayu Abdurachman (2008) dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia, misalnya, menyebut bahwa Tabariji masuk Kristen bukan karena paksaan.
Baca juga: Willy Amrull Sang Pendeta, Adik Buya Hamka
Disebutkan pada halaman 44, dengan mengutip tulisan P. Tiele (1877-1887) dalam De Europeers in den Maleischen Archipel, Volume I-IX, Sultan Tabariji bertemu seorang bangsawan Portugis bernama Jordao de Freytas yang sering datang ke Maluku. Pertemuan itu terjadi di India, tepatnya di Goa, lokasi di mana Sultan Tabariji akan diadili.
De Freytas menyarankan kepada Tabariji memeluk Kristen untuk membuktikan bahwa ia tidak terlibat dalam persekongkolan yang dituduhkan kepadanya. Nasihat itu dituruti. Tabariji akhirnya memeluk Kristen dan memakai nama Manuel. Ibunda Tabariji juga dikristenkan, dibaptis dengan nama Isabella.
Baca juga:
Kerelaan Tabariji dan ibunya memeluk Kristen disebut-sebut memantik simpati Raja Portugis. Menurut R.Z. Leirissa dalam Sejarah Kebudayaan Maluku (1999), atas perintah Raja Portugis, Tabariji dipulangkan ke Ternate untuk dipulihkan posisinya sebagai sultan (hlm. 29).Apakah Tabariji masuk Kristen dengan terpaksa atau sukarela memang masih menjadi perdebatan. Tapi yang pasti, Tabariji sudah berpindah agama dan bersiap pulang ke Ternate dari India melalui Malaka.
Baca juga: Sultan Baabullah Sang Penakluk
Di Ternate sendiri, singgasana Kesultanan Ternate telah diduduki oleh Sultan Khairun Jamil. Orang ini tidak lain adalah saudara kandung Sultan Abu Hayat II yang dijungkalkan Portugis sebelum menaikkan Tabariji.
Sultan Khairun Jamil menggalang kekuatan rakyat untuk menolak pulangnya Tabariji yang telah berpindah agama. Namun, Tabariji tak pernah kembali. Ia meninggal dunia dalam pelayaran setelah transit di Malaka pada 1534 itu.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan