tirto.id - Tak ada yang lebih indah melebihi petualangan bagi remaja laki-laki berusia 14 tahun seperti Leopold Weiss. Kebetulan, jelang akhir 1914, perang besar telah berkecamuk di Eropa setelah Gravilo Princip menembak putra mahkota Austro-Hongaria, Pangeran Franz Ferdinand von Habsburg.
Perang yang dikenal sebagai Perang Dunia Pertama itu, di mata Leopold adalah “kesempatan besar pertama untuk wujudkan mimpi kanak-kanaknya yang seolah ada dalam genggaman,” tulisnya dalam buku sohornya Road to Mecca—autobiografinya yang pertama dirilis pada 1954.
Leopold pun mengambil langkah nekad ala remaja belasan tahun, hanya saja dia lebih gila dari kebanyakan remaja lainnya.
“Di umur 14 tahun, aku melarikan diri dari sekolah dan bergabung masuk tentara Austria dengan nama palsu.” Kebetulan, tinggi badan Leopold melebihi remaja seusianya. Dia terlihat seperti pemuda 18 tahun, usia terendah untuk bergabung dalam ketentaraan Austria. “Kira-kira seminggu kemudian, ayahku yang malang berhasil melacakku melalui polisi, dengan segera aku dikawal kembali ke Wina, di mana keluargaku tinggal.”
Ketika umurnya mendekati prasyarat menjadi tentara Austria, ia malah berhenti memimpikan dirinya menjadi tentara dan mulai mencari hal lain. Apalagi, perang berakhir dan kekaisaran Austro-Hongaria pun tamat riwayatnya. Leopold menjadi pemuda terpelajar yang belajar sejarah seni dan filsafat di Universitas Wina. Namun, dalam hati di merasa, “hatiku tidak berada dalam kuliah-kuliah itu. Karier akademis yang tenang tidak menarik bagiku.”
Baca juga:Orang Yahudi di Indonesia
Leopold pun meninggalkan Universitas Wina dan luntang-lantung di sekitar Jerman di sekitar 1920. Hidupnya tak menentu. Pemuda dari keluarga kelas menengah—ayahnya adalah pengacara—ini tak pernah jelas isi kantongnya. Namun, dia sempat merasa terbebas dari beban keuangan selama dua bulan dan mendapat pengalaman baru.
“Aku bekerja sebagai asisten FW Murnau. Kepercayaan diriku tumbuh pastinya,” kata Leopold.
Dia menjadi asisten sutradara, dan akhirnya menjadi penulis naskah film. Tahun berikutnya, dia menjadi operator telepon di kantor berita Amerika di Berlin. Tahun berikutnya lagi, 1922, Leopold berangkat ke Palestina, yang kala itu berada di bawah pendudukan Inggris. Palestina menjadi awal petualangannya ke dunia Islam.
Leopold tinggal di Yerusalem. Dia tinggal di rumah paman dari pihak ibunya, Dorian—seorang psikiater di rumah sakit jiwa Yerusalem. Leopold bekerja sebagai wartawan paruh waktu bagi surat kabar Frankfurter Zeitung. Di Palestina, Leopold punya kawan baru, baik Arab maupun Yahudi.
Pendukung Zionisme melihat Leopold dengan penuh curiga karena simpati-simpatinya kepada orang-orang Arab dalam laporannya ke Frankfurter Zeitung. Namun, Leopold tak mau ambil pusing. Baginya, kala itu, “tidak semua orang Yahudi di Palestina adalah bagian dari Zionis.”
Baca juga:Bantuan Menyusut, Palestina Terancam Bangkrut
Di Timur Tengah, Leopold tak hanya tinggal di Yerusalem yang merupakan kota suci bagi Yahudi, Kristen juga Islam. Dia berkelana hingga ke Iskandariah, Mesir, dan daerah-daerah lain di Timur Tengah. Dia banyak bertemu dengan orang-orang beragama Islam, tentunya. Dia sempat kembali ke Eropa dan bertemu Elsa, wanita beranak satu. Mereka kemudian menikah. Heinrich, anak Elsa, menjadi anaknya juga.
“Setelah beberapa tahun dalam pengembaraannya ke sekitar Timur Tengah; setelah menjadi Muslim pada 1926; setelah masuk Islam...” Leopold Weiss pun mengubah namanya menjadi Muhammad Asad. Sementara itu, Elsa menjadi Aziza dan Heinrich menjadi Ahmad.
Sebagai orang Islam, mereka pun penasaran dengan kota Mekkah. Pasangan itu, bersama anak mereka, melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada awal 1927. Asad dan Aziza sering membaca Alquran bersama. “Dan Elsa sepertiku, semakin terkesan dengan keterkaitan batin antara ajaran moral dan pedoman praktisnya.”
Sayangnya, petualangan hebatnya sebagai orang Islam itu harus diwarnai dengan kehilangan. Di tahun tersebut juga istrinya meninggal di Madinah. Belakangan, dia bertemu dengan perempuan lain yang belakangan menjadi istrinya, Munira.
Setelah melewati Laut Tengah, mereka tiba di kota pelabuhan Arab Saudi, Jeddah. Asad menulis, “Jeddah hari itu (1927) satu-satunya tempat di Hijaz di mana orang-orang non Muslim dimungkinkan untuk tinggal.” Menurut Paul Lunde dalam "The Lure of Mecca" di jurnal Saudi Aramco World, dari Tayma, Asad melintasi gurun Arafah menuju Mekah.
Setidaknya, dia lima kali naik haji. “Aku tinggal enam tahun di Arab Saudi.” Nama Arab pun disematkan pada dirinya sebagai Muhammad Asad. Semasa berada di Arab Saudi, Raja Ibnu Saud sudah berkuasa. “Pertemuan pertamaku dengan Raja Abdul Azis ibn Saud bertempat di Mekah awal tahun 1927, beberapa bulan setelah masuk Islam,” katanya.
Baca juga:Menanti Haji hingga Mati
Setelah masuk Islam dan berkali-kali naik haji, Asad tak hanya mengenal Raja Abdul Azis, tapi dekat dan menjadi penasihat dari Pangeran Fayzal. Dalam satu kunjungan menemui raja, Asad bertemu dengan tamu asing asal Indonesia, yakni Haji Agus Salim.
Tak hanya dengan Agus Salim, tokoh Islam lain yang ditemui bahkan kemudian mempercayainya adalah kaum terpelajar Pakistan. Setelah Pakistan merdeka, dia menjadi Duta Besar Pakistan pertama di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani