tirto.id - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menilai pengelolaan keuangan penyelenggaraan ibadah haji periode 1438 Hijriyah atau 2017 belum sepenuhnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan itu muncul dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2017 yang diserahkan oleh BPK ke DPR. Laporan BPK itu menemukan ada pemborosan atau kemahalan harga, pemanfaatan barang/jasa tidak sesuai perencanaan, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume, permasalahan ketidakpatuhan dan persoalan 3E (ekonomi, efisiensi dan efektivitas).
"Atas permasalahan tersebut, pada umumnya pihak penyelenggaraan haji menerima hasil pemeriksaan BPK dan akan melakukan pengkajian ulang, menyusun standar dan kebijakan yang diperlukan, meningkatkan pengawasan dan pengendalian, serta menarik dan menyetorkan kekurangan penerimaan dan kelebihan pembayaran ke kas negara," kata Ketua BPK RI Moermahadi Soerja Djanegara di Rapat Paripurna DPR RI, pada Selasa (3/4/2018).
Pemeriksaan pengelolaan keuangan penyelenggaraan ibadah haji itu dilakukan oleh BPK terhadap 2 objek, yakni Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan.
Hasil pemeriksaan BPK terhadap penyelenggaraan haji 2017 mendapati total 17 temuan yang memuat 27 permasalahan. Masalah itu ialah 11 kelemahan sistem pengendalian internal, 12 ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan senilai Rp2,66 miliar dan 4 masalah 3E senilai Rp95,74 miliar. Totalnya ialah senilai Rp98,4 miliar.
Laporan BPK menyatakan, selama proses pemeriksaan, kementerian terkait telah menindaklanjuti temuan BPK dan melakukan penyetoran ke kas negara dan atau penyerahan aset sebesar Rp2,01 miliar.
Sebagai contoh, pemeriksaan itu menemukan pemborosan atau kemahalan harga di penyelenggaraan haji senilai Rp91,864 miliar.
Pemborosan itu bersumber dari pemilihan penyedia vaksin meningitis meningokokus yang tidak cermat sehingga dibeli lebih mahal sebesar Rp70,71 miliar. Vaksinasi meningitis meningokokus adalah syarat utama bagi jemaah haji Indonesia yang akan berangkat ke Arab Saudi.
Sumber lain ialah pembayaran sewa gedung Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Khalidiyah tahun 2016, yang tak dapat digunakan, memicu pemborosan Rp21 miliar. Penambahan komponen pajak penghasilan (PPh) di perhitungan harga perkiraan sendiri (HPS) di pengadaan transportasi perjalanan nonkloter untuk panitia penyelenggara ibadah haji juga mengakibatkan kemahalan Rp153,31 juta.
BPK juga mencatat barang milik negara berupa 3.539 alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan (Perbekkes) senilai Rp3,88 miliar masih tertahan di dalam gedung KKHI Khalidiyah yang tidak digunakan. Akibatnya, barang-barang itu tak bisa dimanfaatkan serta berpotensi rusak.
BPK juga menemukan kelebihan pembayaran atas pengadaan transportasi perjalanan nonkloter untuk panitia penyelenggara ibadah haji, pengadaan obat dan Perbekkes, serta kontrak sewa gedung KKHI Aziziyah senilai Rp2,004 miliar.
Temuan BPK lainnya ialah kelebihan pembayaran atas pengadaan konsumsi jemaah haji pada embarkasi Bekasi senilai Rp89,14 juta. BPK menemukan pula kelebihan pembayaran tiket dan uang harian untuk perjalanan dinas luar negeri senilai Rp109,91 juta.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom