Menuju konten utama
Sejarah Kerajaan

Takhta Majapahit dan Bakti Tribhuwana Tunggadewi Kepada Ibu

Naik dan turunnya Tribhuwana Wijayattunggadewi sebagai penguasa Majapahit merupakan wujud baktinya terhadap sang ibunda.

Takhta Majapahit dan Bakti Tribhuwana Tunggadewi Kepada Ibu
Gapura Bajang Ratu di Mojokerto, Jawa Timur. FOTO/Istimewa

tirto.id - Majapahit terguncang sepeninggal Raja Jayanagara yang tewas ditikam tabibnya sendiri pada 1328 M. Putra Raden Wijaya, pendiri kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, itu belum sempat dikaruniai anak. Tak ayal, kematian Jayanagara menimbulkan polemik terkait siapa penggantinya. Situasi inilah yang nantinya menaikkan Tribhuwana Tunggadewi ke tampuk kekuasaan.

Lantaran Jayanegara tidak punya putra mahkota, yang berhak naik takhta adalah Gayatri, salah satu istri almarhum Raden Wijaya yang juga ibu tiri Jayanegara. Namun, Gayatri enggan menjadi penguasa, ia sudah melepaskan ambisi duniawinya dengan menjadi bhiksuni (Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Volume 1, 2006: 30).

Baca Juga: Ratu Harisbaya Memicu Konflik Sumedang vs Cirebon

Di lingkaran utama kekuasaan Majapahit saat itu sudah tidak ada laki-laki lagi. Dari kelima istrinya, Raden Wijaya hanya dikaruniai satu orang putra, yakni Jayanegara, serta dua orang putri, yaitu Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat.

Gayatri kemudian memberi titah kepada putri pertamanya, Tribhuwana Tunggadewi, untuk naik takhta, menjadi ratu penguasa Majapahit. Demi baktinya kepada sang ibunda, Tribhuwana bersedia dan kelak mengantarkan Majapahit ke gerbang kejayaan.

Raja Perempuan Majapahit

Nama asli Tribhuwana Tunggadewi adalah Dyah Gitarja. Beberapa bulan setelah Jayanegara tewas, ia dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Majapahit pada 1329, dengan gelar Sri Tribhuwanattunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (Slamet Muljana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979:135).

Tribhuwana Tunggadewi dipanggil sebagai “rajaputri”, untuk membedakan dengan istilah “ratu” yang dalam tradisi kerajaan di Jawa memiliki makna yang luas. “Ratu” bukan hanya disematkan kepada perempuan saja, namun bisa juga untuk menyebut wanita terhormat yang punya pengaruh di istana, ibunda raja misalnya.

Rajaputri Tribhuwana Tunggadewi sebenarnya tidak pernah terpikir naik takhta sebagai pemimpin Kerajaan Majapahit. Ia hanya mematuhi titah sang ibunda, Gayatri, dan memang karena tidak ada keturunan laki-laki lain sepeninggal Jayanegara.

Baca Juga: Kegigihan Ratu Kalinyamat Mengusir Portugis

Semasa Jayanegara masih hidup, Tribhuwana Tunggadewi dan adiknya, Dyah Wiyat, dilarang menikah. Jayanegara takut takhtanya terancam oleh suami-suami kedua adik tirinya itu. Setelah raja ke-2 Majapahit itu tewas, banyak pangeran dari berbagai negeri yang datang untuk melamar Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat.

Setelah diadakan sayembara, Tribhuwana Tunggadewi disunting oleh Pangeran Cakradhara atau Kertawardhana, bangsawan muda keturunan raja-raja Singhasari (Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study in Cultural History, 2001: 540). Sedangkan Dyah Wiyat kawin dengan pangeran lainnya bernama Kudamerta.

Nantinya perkawinan Tribhuwana dengan Cakradhara dikaruniai anak laki-laki bernama Hayam Wuruk. Orang inilah yang kelak membawa Majapahit mencapai puncak keemasannya, berkat rintisan serta bimbingan sang rajaputri.

Rajaputri Penakluk Nusantara

Selama era Jayanegara (1309-1328), Majapahit belum sempat menikmati masa-masa indah. Ia dianggap lemah, jahat, dan tidak bermoral. Banyak intrik yang muncul karena kepemimpinannya yang dinilai kurang baik. Setidaknya sudah terjadi lebih dari 8 kali pemberontakan terhadap Jayanegara yang akhirnya tewas dibunuh tabibnya sendiri.

Ihwal pemunuhan itu, banyak silang pendapat. Salah satu yang kontroversial terbaca dari tulisan Parakitri Simbolon (1995) yang mengutip J. Krom dalam “De Hindoe-Javaansche Tijd”. Ia menulis bahwa insiden pembunuhan Jayanegara oleh tabibnya itu justru didalangi oleh Gajah Mada, salah seorang panglima perang Majapahit (hlm. 396).

Gajah Mada menyimpan dendam terhadap Jayanegara yang disebutkan telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepada istrinya. Maka itu, Gajah Mada memperalat tabib istana untuk membunuh sang raja, Jayanegara.

Versi yang lebih banyak beredar bukan istri Gajah Mada yang diganggu oleh sang raja. Menurut Pararaton, justru istri sang tabib sendiri yang digoda oleh Jayanagara. Itulah yang memicu dendam sang tabib sehingga memutuskan membunuh Jayanagara.

Naik takhtanya Tribhuwana Tunggadewi sebagai pengganti Jayanegara pun sempat memantik keraguan karena belum ada sejarahnya Majapahit dipimpin seorang perempuan. Namun, sang rajaputri berhasil menepis skeptisme itu dan justru menjadi pembuka gerbang Majapahit menuju masa emas.

Purwadi (2007) dalam buku Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa menyebut bahwa jasa besar Tribhuwana Tunggadewi adalah meletakkan dasar-dasar politik kenegaraan Majapahit (hlm. 107).

Gajah Mada berperan besar dalam kesuksesan era Tribhuwana. Saat dilantik menjadi mahapatih pada 1334, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa (Pitono Hardjowardojo, Sedjarah Indonesia Lama, 1961:191). Ia berikrar tidak akan merasakan kenikmatan duniawi sebelum berhasil mempersatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit.

Baca Juga: Kejamnya Sultan Samudera Pasai dan Serbuan Majapahit

Pada era Tribhuwana Tunggadewi inilah ekspansi besar-besaran dimulai. Tahun 1343, Majapahit menaklukkan Bali (Supratikno Raharjo, dkk., ‎Sejarah Kebudayaan Bali, 1998: 78). Tiga tahun berselang, giliran kerajaan-kerajaan di kawasan lain di Nusantara, terutama di Sumatera, yang ditundukkan.

infografik tribhuwana wijayatunggadewi

Bakti Mengalahkan Ambisi

Majapahit sebenarnya sedang menuju kegemilangan ketika Tribhuwana Tunggadewi memutuskan turun takhta pada 1350. Keputusan tersebut diambil seiring wafatnya Gayatri. Bagi Tribhuwana, singgasana Majapahit sebenarnya adalah hak sang ibunda yang memberinya kuasa untuk menjadi pemimpin.

Maka itu, setelah Gayatri tiada, Tribhuwana Tunggadewi menganggap bahwa amanat sang ibunda telah ditunaikannya, dan ia merasa tidak berhak lagi menjadi penguasa meskipun saat itu Majapahit tengah merintis pamor sebagai kerajaan yang digdaya.

Denys Lombard (1996) dalam Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, menyebut bahwa Rajapatni (nama lain Gayatri) dan putrinya, Tribhuwana Tunggadewi, jelas-jelas memegang peranan penting dalam kehidupan politik Kerajaan Majapahit selama zaman mereka, yakni 1328-1350 (hlm. 93).

Takhta Majapahit selanjutnya diserahkan kepada putra mahkota, Hayam Wuruk. Tribhuwana Tunggadewi sendiri kemudian menempati posisi sebagai salah satu anggota Saptaprabhu, semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan.

Sebagai penghormatan untuk Gayatri, Raja Hayam Wuruk menggelar upacara besar-besaran yakni Upacara Srada. Seluruh pegawai istana, pemuka kerajaan, rayat, juga para raja dari berbagai negeri datang berbondong-bondong ke Majapahit untuk menghadiri upacara tersebut (Purwadi, Jejak Nasionalisme Gajah Mada, 2004:214).

Baca Juga: Klarifikasi Soal Gaj Ahmada dan Klaim Kesultanan Majapahit

Selanjutnya, Tribhuwana Tunggadewi, juga Gajah Mada, mendampingi Hayam Wuruk mengelola pemerintahan, termasuk meneruskan obsesi penaklukan wilayah-wilayah lain di Nusantara. Pada masa inilah Majapahit mencapai puncak kejayaannya yang dirintis sejak era kepemimpinan sang rajaputri Tribhuwana Tunggadewi.

Baca juga artikel terkait HARI IBU atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS