tirto.id - Salah satu dari penyebar Islam Wali Songo di wilayah Jawa adalah Sunan Ampel.
Jejak dakwahnya amat terkenal, mulai dari peninggalan Masjid Agung Demak hingga ajaran Moh Limo yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
Sunan Ampel bernama lengkap Raden Muhammad Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat, lahir di Champa (Kamboja) sekitar 1401.
Ia tergolong keturunan bangsawan, anak dari ulama besar Syekh Maulana Malik Ibrahim, sekaligus juga keponakan dari Raja Majapahit.
Karena gonjang-ganjing politik di Champa, sekitar abad 15, Raden Rahmat melakukan perjalanan ke daerah Jawa untuk menunaikan misinya menyebarkan agama Islam.
Dalam perjalanannya ke tanah Jawa, Raden Rahmat sempat singgah di Palembang dan berhasil mengislamkan adipati Palembang Arya Damar yang diam-diam berganti nama Ario Abdillah. Ia juga singgah di Tuban dan berlabuh di Majapahit.
Karena hubungan baiknya dengan Raja Majapahit kala itu, Prabu Brawijaya, Raden Rahmat diberi sebidang tanah di Ampeldenta, Surabaya.
Di sanalah basis pertama dakwah Raden Rahmat berdiri. Karena ia menyebarkan Islam di kawasan Ampeldenta, ia dikenal sebagai Sunan Ampel.
Di kawasan Surabaya itu, dakwahnya dimulai dengan mendirikan pesantren Ampeldenta, ia mendidik kader-kader penyebar Islam.
Di antara murid-murid Sunan Ampel yang terkenal adalah Sunan Giri, Raden Patah, Raden Kusen, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.
Dakwah Islam yang dilakukan Sunan Ampel bersamaan dengan lemahnya posisi kerajaan Majapahit.
Kendati Prabu Brawijaya menolak masuk Islam, namun ia menghormati posisi Sunan Ampel dan mengizinkan dakwahnya, asalkan tidak dilakukan dengan pemaksaan.
Sebelum membangun pesantren, Sunan Ampel menarik perhatian masyarakat dengan membagikan kerajinan dalam bentuk kipas yang terbuat dari akar-akaran dan ayaman rotan.
Bagi yang mau mengambilnya, tidak perlu menukarkan dengan uang, melainkan dengan dua kalimat syahadat.
Mengenai kondisi masyarakat kala itu, banyak dari mereka menganut animisme, bersemadi, judi sabung ayam, minum-minuman keras, dan lain sebagainya yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Karena itulah, Sunan Ampel menekankan prinsip Moh Limo dalam dakwahnya sebagai berikut:
- Moh Main (tidak berjudi)
- Moh Ngombe (tidak mabuk)
- Moh Maling (tidak mencuri)
- Moh Madat (tidak menghisap candu)
- Moh Madon (tidak berzina)
Tempat ibadah juga tidak dinamai musala melainkan “langgar”, mirip dengan kata “sanggar”. Kemudian, orang penuntut ilmu diberikan nama santri, yang berasal dari shastri, yaitu orang yang tahu kitab suci Hindhu (Nur Hamiyatun, Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam, Vol. 5(1), 2019).
Dakwah Islam Sunan Ampel juga melalui jalur politik. Dalam buku Atlas Wali Songo (2016) yang ditulis Agus Sunyoto, Sunan Ampel menjabat sebagai penguasa Surabaya menggantikan penguasa sebelumnya, Arya Lembu Sura meninggal (Hlm. 197).
Sunan Ampel juga menjalin jaringan dakwah dan kekerabatan melalui perkawinan putra-putri penyebar Islam dengan penguasa Majapahit.
Sebagai misal, Retna Panjawati, putri Arya Lembu Sura yang beragama Islam menikah dengan Prabu Brawijaya. Mas Murtosimah, putri Sunan Ampel dinikahkan dengan Raden Patah (Adipati Demak), dan lain sebagainya.
Di Demak yang merupakan wilayah dakwah Sunan Ampel, bersama dengan Raden Patah dan penguasa wilayah setempat, ia mendirikan Masjid Agung Demak. Nama Sunan Ampel diabadikan menjadi nama salah satu dari empat tiang masjid tersebut.
Dari sisi keluarganya, Sunan Ampel memiliki dua istri, yaitu Nyai Ageng Manila atau Ni Gede Manila, putri Tumenggung Wilatika dan Mas Karimah, putri Ki Wiro Suryo.
Dari dua istrinya itu, Sunan Ampel memiliki tujuh anak, termasuk Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Syarifuddin (Sunan Drajat).
Sunan Ampel diperkirakan meninggal pada 1481 di Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat masjid Ampel, Surabaya.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno