tirto.id - Gunung Lawu menjadi salah satu gunung di Jawa yang sering menjadi lokasi kegiatan pendakian. Kendati begitu, cukup banyak misteri yang menyelimuti gunung setinggi 3.265 meter ini. Sejarah Gunung Lawu pun kerap dikaitkan dengan legenda tentang Prabu Brawijaya V, raja terakhir Kerajaan Majapahit.
Terletak di perbatasan dua provinsi, meliputi Kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah serta Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan di Jawa Timur, Lawu menempati posisi ke-76 gunung tertinggi di dunia. Gunung ini memiliki tiga puncak, yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan yang paling tinggi bernama Hargo Dumilah.
Gunung Lawu sebenarnya termasuk gunung api. Bahkan, Stephen Backshall dalam buku bertajuk Indonesia (2003) menyebut bahwa Lawu merupakan salah satu gunung volkano terbesar di Jawa.
Hanya saja, gunung ini cukup lama “beristirahat” alias tidak aktif lagi untuk sementara. Tercatat, Gunung Lawu terakhir kali erupsi pada 28 November 1885.
Selain sebagai lokasi pendakian, Gunung Lawu terbilang populer karena terdapat banyak destinasi wisata di sekitarnya, sebut saja Tawangmangu, Cemorosewu, Telaga Sarangan, Candi Sukuh, Candi Cetho, Astana Giribangun, Kebun Teh Jamus, berbagai lokasi air terjun, dan masih banyak lagi.
Sejarah dan Legenda Gunung Lawu
Sejarah Gunung Lawu kerap dikaitkan dengan legenda yang menyelubungi masa lalu gunung ini. Keberadaan Candi Sukuh dan Candi Cetho seolah menjadi penanda bahwa Gunung Lawu terhubung dengan Kerajaan Majapahit, terutama di masa menjelang keruntuhannya yakni pada abad ke-15 Masehi.
Puncak Lawu disebut-sebut menjadi tempat bersemayamnya Prabu Brawijaya V (1468-1478), raja terakhir Majapahit. Brawijaya V adalah ayahanda Raden Patah (1475-1518) yang nantinya mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak, sekaligus memungkasi riwayat Majapahit.
Terlepas dari pro dan kontra yang kemudian muncul, keterkaitan Prabu Brawijaya V dengan Gunung Lawu tercatat dalam beberapa referensi. Salah satunya dinukil dari Ensiklopedi Adat-istiadat Budaya Jawa (2007) karya Purwadi.
Disebutkan, kala itu Majapahit harus menghadapi peperangan dengan Kerajaan Keling (Kediri) yang dipimpin oleh Raja Girindra Wardhana pada 1478. Lantaran terdesak, Brawijaya V menyingkir ke Gunung Lawu dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai pertapa. Petilasan terakhir sang raja dikenal sebagai Pringgondani.
Ada pula yang menyebut alasan Brawijaya V menyepi ke Gunung Lawu adalah karena ia mempunyai firasat bahwa Majapahit di ambang keruntuhan dan sulit diselamatkan. Ditambah lagi, Brawijaya V risau karena sang putra, Raden Patah, memeluk Islam dan membangun kekuatan baru di Demak.
Jejak Prabu Brawijaya V di Gunung Lawu dapat ditelisik dari banyaknya penganut Buddha di desa-desa yang terletak di lereng gunung tersebut.
Ong Hok Ham lewat buku Madiun dalam Kemelut Sejarah (2018) menuliskan, Raden Patah pernah mengutus adiknya yang bernama Raden Alkali untuk mengislamkan warga di lereng timur Gunung Lawu.
Pendakian dan Misteri di Gunung Lawu
Ada tiga jalur utama pendakian untuk menuju puncak Gunung Lawu, yakni dimulai dari Cemorokandang di Tawangmangu (Jawa Tengah), Candi Cetho di Karanganyar (Jawa Tengah), atau Cemorosewu di Sarangan (Jawa Timur).
Selain ketiga jalur utama yang populer dan cukup dikenal itu, sebenarnya masih ada satu lagi jalur pendakian di Gunung Lawu. Jalur pendakian alternatif itu dilakukan dari tempat bernama Singolangu, termasuk dalam wilayah Magetan.
Pendakian Singolangu terletak tidak jauh dari Telaga Sarangan, sekitar 3 kilometer jaraknya. Oleh sebagian kalangan, jalur ini dipercaya sebagai jalur pendakian tertua untuk menuju ke puncak Lawu. Di sepanjang jalur Singolangu ini, dapat ditemui beberapa petilasan atau situs.
Di sisi lain, Gunung Lawu menyimpan misteri yang terkadang sukar diterima akal sehat. Selain sebagai lokasi pendakian bahkan tempat wisata, gunung ini juga seringkali menjadi tujuan bagi orang-orang yang punya kepentingan spiritual.
Setiap malam 1 Suro (1 Muharram), misalnya, banyak orang yang mendaki Gunung Lawu hingga ke puncak untuk melakukan ritual atau berziarah. Tiga puncak utama Gunung Lawu kerap dianggap sebagai salah satu tempat paling sakral di Jawa.
Rizki Ridyasmara dalam kisahnya bertajuk Sukuh: Misteri Portal Kuno di Gunung Lawu (2016), menuliskan bahwa bagi kalangan tertentu, kawasan Gunung Lawu adalah pusat dari segala rahasia Tanah Jawa dan Nusantara.
Berbagai cerita yang bernuansa mistis acapkali juga menyertai hal-hal yang terjadi di Gunung Lawu. Mitos, misteri, kisah gaib, dipercaya atau tidak, seolah menjadi sensasi tersendiri di Gunung Lawu, termasuk bagi para pendaki.
Editor: Agung DH