tirto.id - Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di Jawa, bahkan di Indonesia. Riwayatnya kerap dikait-kaitkan dengan cerita rakyat atau mitologi Jawa yang bahkan masih dipercaya oleh sebagian orang hingga saat ini. Kendati begitu, sejarah Gunung Merapi sebenarnya bukan hanya sekadar legenda.
Lereng selatan Gunung Merapi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan lereng lainnya merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Magelang (sisi barat), Boyolali (utara dan timur), serta Klaten (tenggara).
Ada perbedaan pendapat dari para ahli mengenai pembagian periodesasi sejarah Gunung Merapi. Wirakusumah dan kawan-kawan dalam Geologic Map of Merapi Volcano Central Java (1989) membaginya menjadi dua fase besar, yakni fase Merapi Muda dan fase Merapi Tua.
Sedangkan penelitian P. Berthommier berjudul “Volcanological Study of Merapi (Central Java): Tephrostratigraphic and Chronology-Eruptive Products” (1990) menyatakan bahwa periodesasi gunung ini dibagi menjadi empat tahap, yaitu fase pra-Merapi, fase Merapi Tua atau Purba, fase Merapi Pertengahan, serta fase Merapi Baru.
Empat Fase Merapi
Berthommier memperkirakan, fase pra-Merapi terjadi kurang lebih 400 ribu tahun lalu. Pada tahap pertama ini, Gunung Merapi belum lahir. Yang ada waktu itu adalah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Bibi, berdiri di lereng timur Merapi sekarang (kini termasuk wilayah Boyolali).
Setelah Gunung Bibi hancur, tumbuh gunung baru di sebelah baratnya pada sekitar 60 ribu tahun lalu. Inilah fase Merapi Tua atau Purba. Lava basaltik (endapan batuan dari pembekuan magma) gunung ini membentuk dua bukit yang kemudian dikenal sebagai Turgo dan Plawangan (terletak di Sleman, Yogyakarta).
Periode ketiga adalah fase Merapi Pertengahan yang terjadi sekitar 8 ribu tahun silam. Lelehan lava dari Merapi pada tahap ini membentuk Bukit Batulawang dan Bukit Gajahmungkur di sisi utara dari puncak.
Selama sesi ini, Merapi sudah melelehkan lava dan mengeluarkan awan panas. Diperkirakan juga sempat terjadi letusan eksplosif, meskipun erupsi Merapi amat jarang bertipe seperti ini. Area kawah yang dinamakan Kawah Pasarbubar juga terbentuk pada periode ini.
Tahap terakhir oleh Berthommier disebut fase Merapi Baru yang dimulai sejak 2 ribu tahun lalu. Kawah Pasarbubar yang terbentuk di periode ketiga membentuk kerucut di puncak Merapi. Sedangkan batuan dasar yang menyusunnya diperkirakan masih berasal dari fase Merapi Tua.
Mengubur Candi Sambisari
Dari penelitian yang dilakukan, diperkirakan pernah terjadi beberapa kali letusan selama fase Merapi Baru ini. Salah satunya adalah erupsi yang dampaknya mengubur Candi Sambisari, terletak sekitar 23 km di sebelah selatan Merapi (kini daerah Kalasan), tidak jauh dari Candi Prambanan, atau hanya 12 km di timur Kota Yogyakarta.
Riset bertajuk “Menelusuri Kebenaran Letusan Gunung Merapi 1006” (1999) yang dilakukan Supriati Dwi Andreastuti, Chris Newhall, dan Joko Dwiyanto, memperkirakan erupsi ini terjadi pada 1006 M.
Candi Sambisari, kompleks candi umat Hindu yang dibangun pada era Rakai Garung dari Kerajaan Mataram Kuno, ditemukan pertamakali pada 1966 dan berada 6,5 meter di bawah tanah yang tidak lain adalah timbunan lahar dingin Merapi.
Sejak itu, Merapi diketahui telah berkali-kali meletus bahkan hingga saat ini. Erupsi terakhir yang cukup besar terjadi pada 2010 lalu. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, korban tewas dalam bencana ini tercatat 341 orang tewas, termasuk sang juru kunci, Mbah Maridjan.
Pada pertengahan 2018 tahun lalu, Merapi menunjukkan peningkatan aktivitas lagi dan masih berlangsung hingga akhir Januari 2019 ini. Gunung yang kerap dikait-kaitkan dengan mitologi Kraton Yogyakarta ini puluhan kali mengeluarkan guguran lava.
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) pada Selasa (29/1/2019) menyatakan tingkat status Gunung Merapi adalah waspada atau level 2. Pemantauan terhadap aktivitas Merapi yang cenderung meningkat masih terus dilakukan.