tirto.id - Ratu Kalinyamat menjadi salah satu tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah RI di peringatan Hari Pahlawan tahun 2023. Lantas, siapa sosok perempuan pemberani asal Jawa Tengah tersebut dan bagaimana biografi singkatnya?
Jepara ternyata tidak hanya melahirkan R.A. Kartini yang kemudian menjadi perempuan inspiratif bagi bangsa Indonesia. Jauh sebelum era Kartini, ada sosok pendekar wanita pendahulunya yang kelak sama-sama dinobatkan sebagai pahlawan nasional, yakni Ratu Kalimanyat.
Diego De Couto, seorang penulis asal Portugis, menyebut Ratu Kalinyamat dengan julukan Rainha de Jepara, senhora poderosa e rica. Artinya, "Ratu Jepara yang gagah berani dan berkuasa."
Ya, Ratu Kalinyamat adalah seorang pemimpin dalam makna sebenarnya. Ia memimpin Jepara selama 3 dekade pada abad ke-16 Masehi dan membawa kejayaan untuk wilayahnya. Bahkan, Ratu Kalinyamat pernah 2 kali mengirim pasukan untuk menyerang Portugis di Malaka.
Biografi Singkat Ratu Kalinyamat
Ratu Kalinyamat mempunyai nama asli Retna Kencana. Ia merupakan keturunan pemimpin Kesultanan Demak yang merupakan kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa. Ratu Kalinyamat alias Retna Kencana adalah putri Sultan Trenggono sekaligus cucu Raden Patah, Sultan Demak pertama.
Raden Patah (1500-1518 M) sendiri konon adalah putra Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V. Sedangkan Sultan Trenggono merupakan putra Raden Patah yang memimpin Kesultanan Demak pada 1521-1546 M.
Dikutip dari Indonesia The Land of 1000 Kings (2004) karya Dwitri Waluyo, Sultan Trenggono menikahi anak perempuan Arya Damar, Adipati Palembang yang merupakan wakil dari Majapahit.
Dari pernikahan itulah kemudian lahir Ratna Kencana atau yang lantas dikenal sebagai Ratu Kalinyamat. Ratna Kencana memang bukan lahir di Jepara, melainkan di Demak, di lingkungan kerajaan. Namun, nantinya ia bakal sangat lekat dengan Jepara.
Ratna Kencana menikah dengan Pangeran Thoyib, putra Sultan Mughayat Syah, pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam yang bertakhta pada 1514-1528 M. Pangeran Thoyib kemudian ditugaskan untuk memimpin wilayah pesisir sebelah timur Kesultanan Demak, yakni di daerah Kalinyamat dengan Jepara sebagai pusatnya.
Dari situlah kemudian nama Kalinyamat tersemat untuk Pangeran Thoyib yang menjadi memimpin daerah itu bersama istrinya, Ratna Kencana.
Namun, Pangeran Thoyib alias Pangeran Kalinyamat meninggal dunia pada 1549. Ia dibunuh orang-orang suruhan Arya Penangsang, Bupati Jipang Panolan, yang kala itu melakukan perlawanan terhadap Kesultanan Demak.
Andreas Gosana dalam Warawiri: Life Consists of Endless Back and Forth Journeys in Time (2016), menuliskan, setelah tragedi tersebut, Ratna Kencana menyandang nama Ratu Kalinyamat sebagai penghormatan terhadap mendiang suaminya. Ia juga melakukan ritual bertapa demi membalas dendam.
Dalam buku karya Bambang Sulistyanto berjudul Ratu Kalinyamat Sejarah atau Mitos (2019) terbitan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, pertapaan Ratu Kalinyamat yang ikonik ini dapat diartikan secara simbolis, yakni proses penyucian diri.
Pemberontakan Arya Penangsang -yang sempat menduduki Kesultanan Demak- akhirnya dapat diatasi atas peran sejumlah tokoh, termasuk Ratna Kencana alias Ratu Kalinyamat.
Arya Penangsang mati di tangan Sutawijaya atau Panembahan Senopati yang kelak mendirikan Kesultanan Mataram Islam.
Jasa-jasa Pahlawan Nasional Ratu Kalinyamat
Setelah Arya Penangsang tewas, Ratna Kencana dilantik menjadi pemimpin Jepara pada 10 April 1549 M. Gelar Ratu Kalinyamat pun semakin melekat pada sosok perempuan tangguh ini.
Menukil penelitian bertajuk "Ratu Kalinyamat: Ratu Jepara yang Pemberani" karya Chusnul Hayati dari Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, menuliskan, Ratu Kalinyamat merupakan wanita yang cerdas, berwibawa, bijaksana, dan pemberani.
Selama masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara semakin pesat perkembangannya. Menurut sumber Portugis yang ditulis Meilink-Roelofsz, Jepara menjadi kota pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa dan memiliki armada laut yang besar dan kuat pada abad ke-16.
Ketenaran Ratu Kalinyamat terdengar sampai ke negeri seberang. Pada 1550, Sultan Johor meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk mengusir penjajah Portugis dari Malaka.
Ratu Kalinyamat menyanggupi dengan mengirimkan 40 kapal perang yang mengangkut 4.000 orang tentara ke Malaka. Di sana, sebut H.J. de Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram (2001), armada perang Jepara bergabung dengan Persekutuan Melayu yang berkekuatan lebih dari 150 kapal.
Pasukan gabungan Jepara dan Melayu dengan hebatnya bertempur melawan tentara Portugis dan nyaris meraih kemenangan di Malaka.
Namun, 2.000 prajurit Ratu Kalinyamat dilaporkan gugur dalam perang dan sebagian menjadi korban badai di lautan. Sisa pasukan tersebut kemudian memutuskan pulang ke Jawa setelah berperang selama 3 bulan penuh di darat maupun laut.
Perang melawan Portugis berlanjut pada 1565, kali ini ke timur, yakni ke Maluku. Paramita Rahayu Abdurachman dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia (2008) menyebutkan, Ratu Kalinyamat mengirimkan pasukan untuk membantu Kerajaan Tanah Hitu di Maluku yang juga diserang Portugis.
Pulang dengan hasil yang kurang memuaskan dari Maluku, Ratu Kalinyamat tidak menyerah dalam membantu kerajaan-kerajaan di Nusantara untuk mengusir Portugis.
Pada 1573, datang permohonan dari Sultan Aceh, Ali Riayat Syah, untuk kembali melawan Portugis di Malaka. Ratu Kalinyamat yang memang pernah menjadi istri pangeran dari Aceh langsung mengiyakan permohonan bantuan tersebut.
Kali ini, armada perang dari Jepara jauh lebih besar yakni dengan kekuatan 300 kapal dan 15.000 prajurit. Pasukan ini tiba di Malaka pada 1574.
Namun, perjalanan armada kedua ke Malaka ini penuh rintangan di samudera sehingga memakan waktu tempuh yang lebih lama dari yang diperkirakan. Ketika tiba di Semenanjung Melayu, pasukan Aceh Darussalam ternyata sudah dipukul mundur oleh Portugis.
Armada Jepara kiriman Ratu Kalinyamat pun menyerang Portugis tanpa bantuan. Hasilnya, 30 kapal Jepara hancur. Situasi semakin memburuk karena Portugis memakai taktik licik.
Portugis membajak kapal-kapal milik Ratu Kalinyamat yang belakangan datang dengan membawa perbekalan bahan pangan. Alhasil, para prajurit Jepara yang sedang bertempur pun kekurangan makanan dan sekitar 7.000 orang gugur di Malaka.
Kekuatan Jepara semakin lemah akhirnya memutuskan pulang. Dari jumlah awal yang dikirim Ratu Kalinyamat, hanya sekitar sepertiga saja yang bisa kembali ke Jawa.
Beberapa tahun setelah peristiwa heroik itu, Ratu Kalinyamat meninggal dunia, yakni pada 1579 di Jepara. Jenazahnya disemayamkan di Kompleks Makam Masjid Mantingan, Jepara, Jawa Tengah.
Penulis: Beni Jo
Editor: Iswara N Raditya