tirto.id - Kesultanan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan bercorak Islam terbesar dalam sejarah Nusantara yang pernah berdiri di Jawa. Lantas, siapa pendiri Mataram Islam dan di daerah mana letak atau lokasi kerajaan ini?
Wilayah Mataram semula merupakan bagian dari Kesultanan Pajang yang melanjutkan garis penerus Kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Pusat pemerintahan Kesultanan Pajang berada di Surakarta atau Solo.
Sejak abad ke-16 Masehi, tepatnya tahun 1586, wangsa Mataram di bawah pimpinan Danang Sutawijaya alias Panembahan Senapati berhasil menyatukan beberapa wilayah untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Kesultanan Pajang.
Hingga akhirnya, Kesultanan Pajang menyerahkan kekuasaan kepada Panembahan Senapati yang sekaligus menjadi awal riwayat berdirinya kerajaan baru bernama Kesultanan Mataram Islam.
Jauh sebelumnya pada abad ke-8 Masehi, di Jawa juga pernah berdiri Kerajaan Mataram Kuno yang bercorak Hindu-Buddha dan berbeda zaman dengan Kesultanan Mataram Islam. Meskipun demikian, jika ditelusuri lebih rinci, dua kerajaan ini masih terhubung dalam satu garis riwayat nan panjang.
Sejarah Awal Mataram Islam
Riwayat Kesultanan Mataram Islam bermula dari tanah perdikan berupa hutan yang dikenal sebagai alas Mentaok yang diberikan pemimpin Kesultanan Pajang, Sultan Hadiwijaya (1560-1582) atau Jaka Tingkir, kepada Ki Ageng Pemanahan.
Ki Ageng Pemanahan adalah pendiri Wangsa Mataram yang juga ayah dari Panembahan Senapati atau Sutawijaya. Ki Ageng Pemanahan merupakan cucu Ki Ageng Selo yang dipercaya masih memiliki keturunan dari garis raja-raja Majapahit dan Kerajaan Mataram Kuno.
Sultan Hadiwijaya memberikan hadiah kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai balas jasa karena telah membantu memadamkan perlawanan Arya Penangsang dari Kerajaan Jipang.
Dikutip dari M. C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern1200-2004 (2005), perlawanan terhadap Pajang dimotori oleh Danang Sutawijaya alias Panembahan Senapati yang tidak lain adalah putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Perlawanan tersebut terjadi pada masa pemerintahan Sultan Pajang ke-3, yakni Pangeran Benawa atau Sultan Prabuwijaya (1586-1587). Panembahan Senapati melancarkan perlawanan terhadap Pajang sejak tahun 1578.
Lokasi & Pendiri Mataram Islam
Pada 1584, Panembahan Senapati mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Mataram Islam di alas Mentaok meskipun belum diakui oleh Pajang. Alas Mentaok adalah wilayah yang kini dikenal sebagai Yogyakarta.
Hingga akhirnya, Kesultanan Pajang benar-benar runtuh pada 1587 dan mengakui keberadaan Kesultanan Mataram Islam.
Panembahan Senapati sebagai pendiri pemerintahan Mataram Islam kemudian menobatkan diri sebagai raja atau sultan pertama bergelar Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama (1587-1601).
Adapun lokasi berdirinya Kesultanan Mataram Islam, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, adalah di bekas alas Mentaok, dengan pusat pemerintahannya disebut dengan nama Kutagede atau Kotagede di Yogyakarta.
Keberhasilan Panembahan Senapati memerdekakan Mataram dari cengkeraman Pajang merupakan langkah penting bagi riwayat kesultanan ini di masa-masa selanjutnya hingga mencapai puncak kejayaan.
Kepemimpinan Panembahan Senapati
Soekmono dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia3 (1981) memaparkan, Panembahan Senapati mulai memperluas wilayah kekuasaan Mataram Islam secara masif, terutama di sepanjang Bengawan Solo hingga ke Jawa bagian timur, juga sebagian Jawa bagian barat.
Sejak tahun 1590, berturut-turut Jipang (Solo), Madiun, Kediri, Ponorogo, Jagaraga (Magetan), dan Pasuruan, dapat ditaklukkan. Di kawasan barat, Cirebon dan Galuh (sekitar Ciamis) menjadi bagian dari Mataram Islam pada 1595.
Namun, upaya Panembahan Senapati untuk menguasai Banten pada 1597 gagal lantaran kurangnya transportasi air.
Panembahan Senapati wafat pada 1601 dan dimakamkan di Kota Gede, Yogyakarta. Penerusnya adalah Raden Mas Jolang atau yang kemudian bergelar sebagai Susuhunan Hanyakrawati, ayah dari Sultan Agung.
Kelak, Kesultanan Mataram Islam berhasil menancapkan hegemoni kekuasaan di Jawa dengan wilayah kekuasaan yang amat luas, kekuatan militer yang besar, serta kemajuan di berbagai bidang kehidupan.
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya