Menuju konten utama

Sejarah Desa Ki Ageng Mangir: 'Pertahanan Hindu yang Terakhir'

Sejarah Desa Mangir terkait erat dengan Ki Ageng Mangir IV atau Wanabaya dan polemiknya dengan Kerajaan Mataram Islam pimpinan Panembahan Senapati.

Sejarah Desa Ki Ageng Mangir: 'Pertahanan Hindu yang Terakhir'
Sanggar pamujan linggayoni yang berada di halaman rumah Utiek Suprapti di Mangir Lor, Pajangan, Bantul, Yogyakarta, Selasa (12/11/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Aksi pembubaran upacara doa keagamaan Paguyuban Buwana Mangir di kediaman Utiek Suprapti yang berlokasi di Dusun Mangir Lor, Pajangan, Bantul, Yogyakarta, pada Selasa (12/11/2019) lalu menyisakan kisah tersendiri. Utiek mengatakan bahwa Desa Mangir adalah pertahanan Hindu yang terakhir.

Desa Mangir punya riwayat menarik dalam perjalanan sejarah Dinasti Mataram hingga kini. Desa ini lekat dengan sosok Ki Ageng Mangir Wanabaya atau Ki Ageng Mangir IV yang hidup pada masa Danang Sutawijaya bergelar Panembahan Senapati (1587-1601), pendiri Kesultanan Mataram Islam.

Wanabaya berselisih dengan Kesultanan Mataram Islam. Savitri Scherer dalam pengantar buku Mangir (2000) karya Pramoedya Ananta Toer menyebutkan, Wanabaya adalah seorang prajurit yang diangkat sebagai pemimpin masyarakat karena kepiawaiannya mempertahankan penduduk setempat dari rongrongan pasukan perang Panembahan Senapati.

Ki Ageng Mangir sebenarnya bukan merujuk kepada nama orang atau individu semata, melainkan gelar yang disematkan untuk pemimpin Desa Mangir. Ki Ageng Mangir IV atau Wanabaya adalah keturunan dari Raden Megatsari atau Ki Ageng Mangir I yang konon masih terhubung dengan Prabu Brawijaya V (1468-1478) dari Majapahit.

Mangir: Antara Senapati & Wanabaya

Terdapat beberapa versi terkait kemungkinan penyebab polemik antara Wanabaya dan Mataram Islam. Salah satunya menyebut bahwa Panembahan Senapati terobsesi menundukkan Mangir demi memperoleh legitimasi karena Wanabaya memiliki garis darah dari Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V.

Majapahit merupakan turunan dari Kerajaan Mataram Kuno (752-1045). Beberapa puluh tahun setelah kekuasaan Majapahit runtuh pada awal abad ke-16 Masehi, muncul Kesultanan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senapati tahun 1588.

Wanabaya merasa Mangir tidak perlu memenuhi kewajiban kepada Mataram Islam sebagai kerajaan yang berkuasa kala itu. Dikutip dari Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan (2008) tulisan Pranoedjoe Poespaningrat, Desa Mangir adalah desa “perdikan” yang diakui kemandiriannya sejak zaman Majapahit.

Menurut Kitab Negarakertagama seperti yang dinukil Theodore G. Th. Pigeaud dalam Java in the 14th Century (1962), pada zaman Majapahit, desa “perdikan” dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan menyetor jasa bagi proyek kemasyarakatan yang dijalankan oleh kerajaan.

Selain motivasi mendapatkan legitimasi dengan menaklukkan Wanabaya, Panembahan Senapati juga merasa bahwa Desa Mangir masih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Mataram Islam sehingga harus memenuhi kewajibannya.

Tak hanya itu, Panembahan Senapati juga agak khawatir apabila nantinya Desa Mangir justru menjadi ancaman bagi Kesultanan Mataram Islam jika dibiarkan berstatus sebagai wilayah yang merdeka di bawah pimpinan Wanabaya.

Sebaliknya, Wanabaya tetap kukuh dengan keyakinannya bahwa Desa Mangir adalah wilayah merdeka sejak era Majapahit. Salah satu versi sejarah menyebutkan, Wanabaya tewas dibunuh oleh Panembahan Senapati setelah menjadi menantunya, dan akhirnya Desa Mangir dikuasai oleh Mataram Islam.

Pertahanan Hindu Terakhir

Kepada reporter Tirto, Utiek mengatakan bahwa bukan sekali ini saja ia mengalami penolakan terkait aktivitas keagamaan di rumahnya. Bahkan, dulu ia menghadapi situasi seperti ini seorang diri. Utiek tetap berpegang teguh dengan apa yang diyakininya.

“Pertama, saya didemo lautan manusia dari ujung ke ujung. Saya sendiri, tahun 2012. Sebenarnya bukan karena legalitas, tapi tidak boleh di sini. Hampir seluruh [warga di] Mangir ini keluarga saya karena eyang kami lurah di sini,” tutur Utiek di kediamannya, Selasa (12/11/2019).

“Saya berkali-kali pernah dikepung orang. Kalau sekarang saya bersyukur banyak saudara saya [banyak orang yang mendukungnya],” tambahnya.

Utiek amat menyayangkan masih adanya tindakan yang cenderung intoleransi seperti itu. Menurutnya, semua manusia adalah bersaudara, bahkan masih satu keluarga besar, yang seharusnya bisa hidup berdampingan dan saling menghormati antar sesama.

“Sebenarnya kita ini semua keluarga. Keluarga dari leluhur kita dulu,” tuturnya sembari menambahkan, para leluhur pasti bersedih jika melihat anak-cucunya tidak bisa hidup rukun.

“Kita dengan keluarga kita semua ini yang mulanya enggak kenal tapi tiba-tiba ketemu langsung kayak saudara sendiri. Itu bukti kalau kita ada keterkaitan,” imbuh Utiek.

Utiek menyebut dirinya adalah pemeluk agama Hindu, tepatnya Siwa-Buddha. Keyakinan ini merupakan sinkretisme ajaran Hindu dan Buddha di Nusantara yang muncul sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno.

Selain itu, Utiek meyakini ia masih keturunan Ki Ageng Mangir, meskipun bukan dari garis Ki Ageng Mangir IV atau Wanabaya. Utiek menegaskan bahwa ia akan terus berupaya mempertahankan identitas Mangir karena menurutnya, desa ini adalah pertahanan Hindu yang terakhir.

“Nah, di sini adalah Desa Mangir, pertahanan agama Hindu yang terakhir. Dan saya ini berjuang itu sudah sekian tahun. Saya tetap akan berusaha dan berusaha saya menjalankan ini bukan karena kemauan saya. Kadang-kadang di luar kemauan saya,” tandas Utiek.

Baca juga artikel terkait INTOLERANSI DI YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Addi M Idhom