tirto.id - Upacara doa untuk leluhur Ki Ageng Mangir di Bantul dibubarkan setelah mendapatkan tekanan dari warga pada Selasa sore pekan ini. Upacara doa ini bertempat di rumah Utiek Suprapti, Dusun Mangir Lor, Pajangan, Bantul, sekitar 14 kilometer dari arah selatan pusat Kota Yogyakarta.
Upacara doa yang dihadiri para pemeluk Buddha dan Hindu itu, tergabung dalam Paguyuban Padma Buwana Manggir, sedianya menggelar dua sesi: pertama doa agama Buddha; kedua dalam agama Hindu. Namun, Paguyuban merampungkan satu sesi doa saja.
Upacara doa sesi pertama dipimpin oleh Pendeta Buddha Tantrayana Kasogatan Padma Wiradharma. Sementara sesi kedua sedianya dipimpin oleh Resi Begawan Manuaba.
Menurut kesaksian Pendeta Padma Wiradharma, sejak memulai acara, sekitar pukul 14.00, ia sudah melihat warga hilir-mudik di jalan depan rumah Utiek Suprapti, tempat upacara doa tersebut.
Sekitar satu jam setelah acara, saat ia memimpin doa, warga berdatangan—ia menyebut puluhan warga. Warga berkumpul di jalan depan rumah Utiek, hanya lima meter dari halaman rumah yang berpagar tanaman.
Upacara doa itu digelar di halaman rumah Utiek. Tenda terpasang di halaman rumah menghadap “sanggar pamujan”—sebutan untuk tempat semacam pura yang dibikin Utiek.
Pendeta Padma Wiradharma menceritakan, “ketika saya memimpin upacara, memang ada teriakan-teriakan” dari warga.
“Ada yang baru mau masuk ke sini disuruh pergi. Itu saya mendengarnya jelas,” tambahnya.
'Upacara Doa ini Urusan Privat'
Nusya dari Komunitas Kasogatan Buddha Jawi, yang ikut upacara doa, bercerita kepada Tirto bahwa ia diundang untuk berdoa kepada leluhur Ki Ageng Mangir.
“Ketika sudah dalam perjalanan, ada ritus yang di-puput oleh pendeta Buddha, ada ramai-ramai,” katanya.
“Ada masyarakat tampaknya enggak berkenan.”
“Dan ada polisi datang. Tapi, kami terus melanjutkan upacara sampai selesai satu sesi itu,” tambah Nusya.
“Saat Resi Begawan Manuaba datang pun ditahan oleh masyarakat,” ujar Nusya.
Karena ada "teriakan-teriakan" dan tekanan, sesi upacara doa kedua batal digelar.
Berdasarkan penjelasan yang ia dengar dari Kapolsek Sri Basaria, warga menghendaki ada surat izin kegiatan dari RT hingga provinsi.
“Sudah dimediasi, tapi ada perbedaan persepsi di sini, masyarakat dan Kapolsek menganggap pura ini urusan publik [...]"
"Kami beranggapan ini urusan privat," ujar Nusya.
"Nah, kalau urusan privat, masak doa tahlilan harus izin? Kan, enggak. Itu perbedaan persepsi yang harus dijembatani," katanya.
Rekaman video berdurasi 1 menit 59 detik, yang kami dapatkan dari AB Setiadji—salah seorang yang ikut upacara doa—menggambarkan belasan warga berkumpul di pos ronda, sekitar 10 meter dari halaman rumah Utiek Suprapti.
Video yang direkam pukul 15.50 itu memperlihatkan belasan warga berjalan ke arah timur, mendekati mobil berkelir hitam menuju rumah Utiek. Sampai di depan rumah Utiek, warga mengadang mobil tersebut.
“Mundur. Mundur,” teriak seseorang. “Ayo balik. Mundur. Mundur.”
“Tidak ada apa-apa di sini. Mundur.”
Video itu juga merekam seorang yang lain menggebrak kap mobil.
Alasan Warga: 'Tak ada Izin' dan 'Menyimpang'
Seorang warga bernama Agung Warsito, Ketua RT 3 yang rumahnya berjarak 20 meter dari rumah Utiek, bercerita ribut-ribut mengadang mobil pemuka agama Hindu itu persis di depan rumahnya.
Warga tidak sampai memasuki rumah Utiek karena warga “menghargai” aparat keamanan yang berjaga-jaga di sana. Warga juga menghormati Kapolsek yang “berdialog” di rumah Utiek, kata Agung.
“Tapi situasinya panas juga. Pokoknya, sudah tegang sampai dari Polres turun dua mobil juga,” tambanya.
Agung berkata warga menolak upacara doa di rumah Utiek karena “tak ada pemberitahuan” dan “tak ada izin resmi” kegiatan tersebut.
“Tiap ada event, warga kadang enggak pernah dikasih tahu, kadang warga dari luar banyak yang penganut agama Hindu [datang]. Warga menolak karena belum ada izin," katanya.
Kepala Dusun Mangir Lor Lha Lha Setiawan berkata warga menolak upacara doa di rumah Utiek Suprapti karena menuding “menyimpang dari ajaran agama.”
“Itu yang bilang dari Kemenag waktu mediasi di kecamatan," kata Setiawan kepada reporter Tirto. “Yang jelas ritual itu diikuti oleh beberapa agama, tapi memakai ritual satu agama.”
Setiawan mengklaim acara doa di rumah Utiek dihentikan karena kejadian-kejadian sebelumnya yang sudah jadi pemicu.
Pada 2012, kata Setiawan, Utiek membuat pernyataan bermaterai tidak akan melakukan kegiatan ritual sebelum ada izin.
Tetapi, menurutnya, Utiek masih melakukan ritual, mengundang orang dari berbagai daerah beberapa kali tanpa meminta izin ke warga.
Pada 2018, pernah ada mediasi di Kecamatan Pajangan, menghadirkan instansi terkait dari Pemkab Bantul, ujar Setiawan.
Pada pertemuan itu, Utiek dilarang melakukan ritual lagi sebelum mengurus perizinan, tambahnya.
Karena masih melakukan ritual, warga melaporkan ke Polsek Pajangan pada Senin, 11 November, agar menindak tegas, kata Setiawan.
“Akhirnya, warga standby di dekat lokasi. Dan, dari Polsek masuk untuk menghentikan acara,” ujar Setiawan.
Utiek Suprapti: ‘Saya Hindu’
Utiek Suprapti mengisahkan kepada reporter Tirto bagaimana perjalanan spiritualnya sampai-sampai kemudian ia dituding warga telah “menyimpang dari ajaran agama.”
Dusun Mangir Lor merupakan tempatnya dilahirkan pada 1962. Selepas lulus SMA, ia tinggal di Bandung.
Pada 1988, ia kembali ke Mangir Lor. Ia jadi subjek cibiran warga saat memutuskan pindah agama pada 2011.
“Mungkin warga dan keluarga saya kaget,” kata Utiek. “Saya [dulu] muslim.”
“Tiba-tiba jiwa saya bangkit. Yang bangkit dari nurani saya adalah ajaran dharma. Semenjak 2011 itu saya diruwat secara spiritualis Hindu,” ungkapnya.
Utiek mendaku sebagai keturunan Ki Ageng Mangir. Ia meyakini ia keturunan Mangir pertama yang menikah dengan keturunan Nepal dari Negeri Tibet.
Di Mangir, ia pemimpin spiritual tertinggi dengan gelar Pemangku Candi Mahalingga Padma Buwana sekaligus Ketua Paguyuban Padma Buwana.
Ia berujar pilihannya menjadi Hindu karena “terpanggil” oleh leluhurnya. Ia merasa “mendapatkan energi spritual yang sangat kuat.”
Berkat energi spritual yang kuat itu ia merasa banyak guru yang mendatanginya untuk membimbing dia, termasuk sesepuh Pedanda Putra Manuaba yang menjadi guru spiritualnya.
Utiek berkata dia penganut ajaran Hindu.
“Hindu Siwa Buddha, istilahnya. Kalau di sini, Jawa Siwa Buddha,” ujarnya.
Utiek menjelaskan bangunan mirip pura yang ia sebut “sanggar pamujan”. Sanggar itu menggunakan simbol “linggayoni bapak angkasa ibu bumi—simbol bapak dan ibu.”
Dalam keyakinan Hindu, kata Utiek, pamujan menghadap ke selatan; orang yang berdoa menghadap ke utara, ke arah gunung atau tempat yang tinggi.
Dalam keyakinan Hindu, ujar Utiek, gunung atau tempat yang tinggi adalah “perantara doa.”
Berkali-kali Diprotes Warga
Selasa sore pekan ini, 12 November, bukan kejadian kali pertama warga berkerumun memprotes upacara doa di sekitar rumah Utiek Suprapti.
“Saya berkali-kali pernah dikepung orang. Sekarang saya bersyukur, banyak saudara saya [di sini]," katanya.
“Pertama saya didemo lautan manusia pada 2012. Sebenarnya bukan karena legalitas, tapi tidak boleh di sini," ujar Utiek.
Mengenai legalitas, Utiek berkata upaya mendapatkan izin sebagai tempat ibadah maupun kegiatan upacara keagamaan sudah dilakukan dia sejak beberapa tahun lalu. Namun, izin itu selalu kandas saat sampai di tingkat dusun.
Sejak sembilan tahun, ia mengajukan izin untuk melakukan sosialisasi kepada warga. Namun, ia hanya dijanjikan otoritas setempat dan tak pernah mendapatkan persetujuan.
“Sayangnya pemerintah setempat memperlakukan saya tidak adil dan memihak warga yang tidak menyukai tempat kami dan kegiatan kami," katanya.
Menurut Utiek, aksi protes yang dilakukan oleh warga hanya dilakukan oleh “orang-orang tertentu yang menjadi provokator.”
Kapolres Bantul: 'Kami akan Memperjelas Status Paguyuban'
Kapolres Bantul AKBP Wachyu Tri Budi kepada wartawan berkata tidak ada pembubaran dalam upacara doa di rumah Utiek Suprapti.
Polisi mendatangi lokasi upacara doa itu “dalam kapasitasnya untuk mengamankan,” ujar Wachyu.
“Tidak ada yang membubarkan atau menghentikan," kata dia.
Menurutnya, upacara doa di rumah Utiek dilaksanakan hingga selesai. Sementara sejumlah warga yang berkumpul di sekitar rumah hanya untuk mempertanyakan kejelasan status izin.
Ia berkata masyarakat meragukan tempat tersebut sebagai tempat ibadah maupun tempat melaksanakan kepercayaan atau keagamaan.
Karena itu, demi memperjelasnya dan mengantisipasi ada “konflik”, polisi akan segera melakukan rapat.
“Forkominda akan merapatkan itu untuk memperjelas status Paguyuban tertentu,” kata Wachyu menyebut Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, terdiri dari pejabat tingkat desa hingga kabupaten serta kepolisian, yang akan menilai Paguyuban Padma Buwana Manggir.
“Apakah aliran itu kepercayaan yang terdaftar atau tidak? Kemenag akan melihatnya."
“Apakah,” katanya, “jangan-jangan ada penyimpangan?”
“Nanti kami tanyakan kepada ahlinya.”
Wahcyu menekankan "kejadian" di Mangir Lor tidak ada hubungan dengan organisasi masyarakat tertentu. Dan masyarakat, katanya, berkomitmen bahwa tidak ada warga dari luar dusun yang “ikut campur.”
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Fahri Salam