tirto.id - Perhelatan Jazz Gunung Series 3 Ijen menutup rangkaian festival tahunannya secara lebih personal dan membumi. Nada, budaya, dan karya menyatu dan menimbulkan bunyi-bunyian nan indah di Amfiteater Taman Gandrung Terakota, Jiwa Jawa Resort, Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu (9/8/2025).
Pada puncak acara ini, penampilan didominasi oleh musisi jazz lokal, nasional maupun internasional. Meski demikian, ada pula suguhan menarik sekaligus mengejutkan musisi lintas genre yang lekat dengan unsur kebudayaan di dalamnya. Festival dibuka dengan dentuman ritmis dari dua musisi asal Jawa Timur: Jazz Patrol Kawitan dari Banyuwangi dan Surabaya Pahlawan Jazz.
Dentuman musik menggema dari Panggung Suka Ria, memecah kesunyian dan memanggil warga sekitar untuk turut meramaikan hajatan jazz tahunan ini. Penampilan ini bukan hanya sebagai pembuka, tetapi juga sebagai simbol keterlibatan komunitas lokal dalam perayaan musik lintas genre dan generasi ini.
Melalui panggung tersebut, Jazz Gunung menghadirkan sebuah inisiatif baru yang patut diapresiasi: area khusus untuk warga sekitar. Ruang ini menjadi suguhan spesial yang disiapkan panitia, dan menjadi pembeda nyata dari penyelenggaraan tahun-tahun sebelumnya.

Di tengah sejuknya angin dan kicauan burung yang bersahutan dengan embusan angin pergunungan, Jazz Patrol Kawitan tampil memikat. Mereka membawakan deretan tembang-tembang nostalgia dari era 1960-an, seperti "Basanan", "Gelang Alit", "Ulang Adung-adung", hingga "Impen-impenan". Suasana terasa magis ketika suara perkusi bambu yang menjadi ciri khas musik patrol berpadu dengan vokal merdu dan tegas dari sang penyanyi. Penampilan ini menjadi bukti bagaimana warisan budaya lokal dapat menyatu harmonis dengan konsep jazz yang lebih modern.
“Jazz Patrol itu kan membawakan lagu-lagu tahun 60-an. Tujuannya supaya adik-adik kita, anak-anak kami, lebih mengenal lagu-lagu zaman dulu. Dan nyatanya, lagu-lagu itu bisa dinikmati secara utuh lewat konsep Jazz Patrol,” ujar Eko Rastiko, Ketua Komunitas Jazz Patrol Kawitan.
Bila ditilik ke akar sejarahnya, musik patrol berasal dari tradisi warga yang membangunkan sahur dengan kentongan bambu. Namun melalui Jazz Patrol, warisan tersebut diolah kembali menjadi pertunjukan yang tak hanya menghibur, tetapi juga membuka ruang edukasi bagi generasi muda.
Eko menuturkan bahwa Dewan Kesenian Blambangan, Banyuwangi, sejatinya rutin menggelar festival musik patrol setiap bulan Ramadhan sebagai upaya menjaga agar tradisi ini tidak punah. Sayangnya, sejak diberlakukannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi pelaksanaan APBN dan APBD, festival musik khas Jawa Timur itu tak lagi terselenggara secara optimal. Sebuah ironi di tengah upaya pelestarian budaya yang justru sedang bersemangat untuk menjangkau khalayak lebih luas.
Regenerasi dan Personalitas Jadi Napas Panjang Musik Jazz
Sementara itu, di panggung utama yang berlatar hamparan hijau persawahan dan deretan pohon kelapa, tampaklah wajah khas Jazz Gunung, musik yang berpadu erat dengan alam. Nuansa alami ini menjadi daya tarik tersendiri, bukan hanya bagi penikmat jazz dari dalam negeri, namun juga mancanegara. Kekhasan tersebut terasa dalam hampir setiap penampilan, lewat kolaborasi lintas negara yang menyatu dalam harmoni.
Salah satu momen istimewa datang dari The Aartsen, grup musik keluarga yang dipimpin oleh pianis legendaris Nita Aartsen. Bersama drummer sekaligus komposer asal Polandia, Adam Zagorsky, mereka membawakan komposisi orisinil instrumental dan deretan lagu jazz klasik dengan penuh daya pikat. Penampilan semakin hidup ketika lagu “Bunga Kamboja” karya Ismail Marzuki mengalun, menampilkan kekompakan Nita dengan anak-anaknya serta sang suami, Alexander Aartsen. Tabuhan drum Adam menambah semangat sore itu di panggung Ijen yang sejuk dan menenangkan.
Lebih dari sekadar penampilan, The Aartsen menjadi simbol regenerasi musik jazz. Nita menegaskan bahwa keterlibatan anak-anaknya bukan sekadar kebetulan, tapi bagian dari upaya untuk memperluas cakrawala bermusik lintas generasi dan lintas benua—dari Indonesia hingga ke Amerika dan Eropa.
“Dulu saya main sama orang dewasa, sekarang saya main sama anak-anak saya. Ini memang bentuk regenerasi. Dan festival seperti ini penting banget, karena bisa mendorong perkembangan musik di berbagai level—umur, bangsa, dan pengalaman. Apalagi Indonesia itu punya lebih dari 150 festival jazz, mungkin yang masih perlu kita benahi adalah kontennya,” ujar Nita ditemui selepas penampilannya.
Semangat penonton tak surut, sorak-sorai menyambut penampil lain, Kevin Yosua Trio yang terdiri dari Kevin (upright bass), Rio Manuel (piano), dan Hansen Arief (drums) meriahkan amfiteater Jiwa Jawa Ijen. Baru-baru ini, mereka mengharumkan nama Asia setelah mencetak sejarah sebagai grup Asia pertama yang tampil di Festival da Jazz di Swiss, pada pertengahan Juli lalu.
Di Jazz Gunung, mereka berkolaborasi dengan Fabian Mary, trumpeter asal Prancis. Meski baru pertama kali bermain bersama dengn persiapan singkat, mereka berhasil menyuguhkan performa solid dalam balutan hujan rintik yang justru menambah romantika suasana. Lagu-lagu jazz klasik seperti “I Should Care”, “Take The A Train”, “All Too Soon”, hingga “Bean And The Boys” dibawakan secara apik dan penuh chemistry.

Menanggapi isu yang sempat beredar soal “Festival Jazz yang Tidak Ngejazz”, Kevin memberikan sudut pandang berbeda. Menurutnya, Jazz Gunung justru merupakan bukti nyata dari hadirnya ekosistem jazz yang sehat. Tak hanya menampilkan musik berkualitas, tetapi juga mengadakan program edukatif seperti Jazz Camp dalam rangkaian Jazz Gunung Series 1 & 2 di Bromo, Juli 2025 lalu. Kevin sendiri turut menjadi pelatih dalam program tersebut.
“Eksklusivitas jazz itu harus lebih menyentuh orang secara langsung. Tapi sekarang, jazz sudah menjadi musik rakyat,” ujarnya mantap.
Sebelum itu, penampilan memukau juga datang dari Irsa Destiwi yang tampil bersama William Lyle, pemain kontra bass asal New York, serta drummer Grady Boanerges. Mereka membawakan sejumlah karya orisinal Irsa, seperti “Rosy Cheeks,” “It Could Happen to You,” “My Name is Ruby,” “Those 5 Days,” dan “Tree House.”
Bagi Irsa, panggung terbuka Jazz Gunung memiliki daya tarik tersendiri. Elemen kejutan seperti hujan yang tiba-tiba turun di tengah penampilan justru menjadi bagian dari pengalaman yang memperkaya ekspresi musikalnya. Meski demikian, musisi yang kini tinggal di Bali ini merasa bahagia bisa kembali ke Jazz Gunung, terutama karena diberi ruang untuk menampilkan karya-karyanya sendiri secara penuh.
Semangat untuk menyampaikan karya personal juga terasa kuat dari duo gitar jazz, Dua Empat, yang digawangi oleh Alvin Ghazalie dan Misi Lesar. Di panggung Jazz Gunung, mereka secara khusus mempersembahkan seluruh lagu dari album self-titled mereka yang baru dirilis pada 27 Juni 2025. Lewat album ini, keduanya tak hanya bermain gitar, tetapi juga menciptakan seluruh lirik, notasi, dan aransemen secara mandiri.
“Di album kali ini kita bikin lirik, notasi, dan aransemennya sendiri, jadi bisa dibilang ini sebuah pencapaian gitu, karena jauh lebih personal,” ungkap Alvin.
Meski baru muncul di kancah jazz tanah air pada 2017, konsistensi mereka dalam berkarya telah mendapat pengakuan luas. Penghargaan sebagai Album Jazz Terbaik pada 2023 dan Artis Jazz Terbaik pada 2024 menjadi bukti eksistensi serta warna baru yang mereka bawa ke dalam musik jazz Indonesia.
Menjelang akhir acara, suasana berubah semakin semarak saat musisi campursari asal Banyuwangi, Suliyana, naik ke atas panggung. Membawa nuansa berbeda, ia membawakan sejumlah lagu seperti “Cundamani” hingga “Layang Sworo” dalam balutan aransemen unik bernuansa orkestra jazz. Penampilan puncaknya datang saat ia menyanyikan lagu “Rungkad” yang langsung menggemparkan malam panjang di Ijen. Seluruh penonton larut dalam euforia, bahkan tak segan meneriakkan permintaan tambahan lagu, menandakan betapa kuatnya sambutan terhadap kolaborasi lintas genre yang segar ini.
Ruang Kontemplasi yang Menggantung di Alam Terbuka
Sigit Pramono dan Butet Kertaredjasa, para pendiri Jazz Gunung, mengungkapkan sukacitanya atas pertunjukan festival tahunannya yang masih bisa bertahan hingga saat ini di tengah gempuran berbagai deretan festival musik. Pelibatan unsur lain seperti pameran seni rupa ruang luar serta hadirnya UMKM dari warga sekitar, turut memperluas makna dari ekosistem jazz yang tak sekadar hiburan musik semata.
“Bahwa pengertian jazz tidak terlalu sempit, tapi bisa melebar kemana-mana,” tegasnya.
Sementara alunan musik jazz mengisi udara pegunungan, di sudut lain kawasan taman, hadir sebuah pameran yang tak kalah mencuri perhatian. Bertajuk Beta Jemur, pameran batik terbuka ini digagas oleh maestro batik asal Pekalongan, Dudung Alisyahbana.
Berbeda dari pameran pada umumnya yang berlangsung di ruang tertutup atau gedung bertingkat, Beta Jemur justru memilih lanskap alam terbuka sebagai ruang ekspresi. Sebanyak 50 lembar kain batik dipajang menggantung di antara batang-batang bambu di kawasan Taman Gandrung. Instalasi ini tidak hanya menyuguhkan keindahan visual, tetapi juga menghadirkan suasana kontemplatif yang membawa pengunjung kembali pada akar kesederhanaan.

Lebih lanjut, Mikke Susanto, kurator pameran bertajuk Fora Fauna: Kebun Binatang Seni di Jazz Gunung, menghadirkan 40 karya yang tersebar di area Jiwa Jawa Ijen. Karya-karya ini berasal dari para seniman lulusan ISI Yogyakarta, dosen, dan juga mahasiswanya.
“Saya melihat area ini adalah area yang seperti rimba hutan yang terjaga ekosistemnya. Menginspirasi saya untuk berkarya dengan tema Fora Fauna. Fora itu bentuk jamak dari forum. Semoga bisa memberikan satu dimensi lebih dari sekadar melihat tontonan karya seni tapi juga ada nilai lain dari persoalan lingkungan dan politik di sini,” tutup Mikke Susanto.
Penulis: Sherani S Putri
Editor: Intan Umbari Prihatin
Masuk tirto.id


































