tirto.id - Sejuknya angin pegunungan menari bersama lantunan musik di amfiteater terbuka Jiwa Jawa Resort, Probolinggo, Jawa Timur. BRI Jazz Gunung Series 2 Bromo 2025 kembali digelar, sebuah festival yang sejak 18 tahun lalu tidak sekadar menghadirkan konser, tapi membelah kesunyian alam lewat musik serta menghadirkan pengalaman spiritual yang menyentuh bagi para pecinta seni dan keheningan.
Monita Tahalea membuka hari pertama, Jumat (25/7), dengan lagu-lagu dari album terbarunya, Merona. Nuansa pop jazz elektronik berpadu dengan sentuhan Jepang menyelimuti suaranya yang tenang dan lembut. Meski sudah tiga kali tampil di Jazz Gunung, Monita tetap menyebut panggung ini sebagai tempat yang magis.
“Saya banyak mempersiapkan stamina karena menyanyi di udara sedingin ini benar-benar menantang. Tapi justru itu yang membuatnya seru dan berkesan,” ungkapnya.
Tak hanya tampil, Monita juga terlibat sebagai pelatih vokal dalam program Jazz Camp, pelatihan intensif selama enam hari untuk sepuluh musisi muda terpilih. Bersama Kevin Yosua (bassis), Sri Hanuraga (pianis), Hansan Arief (drummer), dan Alfado Jacob (gitaris), mereka membentuk generasi baru musisi jazz Indonesia. Program ini tak sekadar melatih teknik, tetapi juga membangun karakter musikal.
Sebelumnya kejutan datang dari Lorjhu, band asal Madura. Di tengah dinginnya udara sore, mereka membawa semangat panas pesisir lewat musik surf rock yang dibalut lirik berbahasa Madura, jujur dan sangat otentik. Badrus Zeman (gitar dan vokal) dan Insan Negara (gitar bass) tampil enerjik, menyuntikkan warna berbeda ke lanskap musikal Jazz Gunung yang selama ini lebih lekat dengan aliran konvensional.“Lorjhu ingin mengenalkan sisi lain Madura yang jarang diketahui, bahwa kami juga bisa berkesenian dan berinteraksi dengan ekosistem seni yang hidup di masyarakat,” terang Badruz.
Tak lama berselang, eksplorasi eksperimental dari Bintang Indrianto, sang bassist kawakan memandu penonton menyusuri lanskap bunyi yang lentur dan tak tertebak, menawarkan bentuk jazz yang lepas dari batas di tengah sore yang tertutupi kabut.
Lalu, disusul penyanyi jazz masa kini, Natasya Elvira, yang tampil di hari kedua membawakan Bye Bye Blackbird bersama peserta Jazz Camp, dilanjut It Don’t Mean a Thing dengan percaya diri dan kepekaan improvisasi yang kuat. Jamaah Al-Jazziyah tenggelam dalam alunan suara dan gestur panggungnya yang matang.
Malam Panjang di Tengah Hawa Dingin Bromo
Malam kedua pun terus berlanjut. Tohpati Ario Hutomo tampil dengan sentuhan etnik-modern melalui komposisi seperti Reog dan Srikandi. Petikan gitarnya yang khas membungkus udara pegunungan, menciptakan atmosfer musikal yang menyatu dengan alam.
Trio jazz asal Perancis, Rouge, menambah kekayaan sonik festival. Vokal yang solid dan permainan instrumen yang presisi berpadu lembut dengan hawa dingin, menciptakan arus musik yang halus, namun penuh energi.

Puncak malam datang saat Sal Priadi naik ke panggung. Dengan kelembutan suara dan lirik yang menggugah, Sal Priadi menutup Jazz Gunung dengan lagu-lagu dari album Markers and Such Pens Flashdisks lewat sentuhan jazz.
Menyusup pelan ke dalam hati, membawa keintiman di tengah kabut dan hawa dingin yang menggigit. Sal Priadi tak sekadar menyanyi, tapi juga bercerita, menciptakan ruang yang hangat di antara ratusan penonton.
Namun kisah belum selesai, BRI Jazz Gunung akan berlanjut di series ketiga, 9 Agustus 2025, di lereng Gunung Ijen, Banyuwangi.
Penulis: Sherani S Putri
Editor: Intan Umbari Prihatin
Masuk tirto.id


































