tirto.id - Kota Solo memperingati hari jadinya yang ke 280 pada 17 Februari 2025 ini. Untuk merayakan HUT Kota Solo itu setiap tahunnya diadakan salah satu agenda yang menarik perhatian publik, Festival Jenang. Dalam kegiatan ini akan ada berbagai jenis jenang yang dihadirkan dalam festival tersebut.
Satmaka, Kepala Bidang Pengembangan Sumber Daya Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Surakarta, menyebut kegiatan ini akan melibatkan PKK, pelaku UMKM, dan sekolah. Rangkaian agenda Festival Jenang tahun ini di antaranya adalah Bladhahan & Ngiras Jenang yang diselenggarakan pada 13 Februari 2025 di Ngarsopuro, pada 16 Februari terdapat agenda masak besar jenang, & pentas seni di Simpang 4 Pasar Pon saat Car Free Day. Terakhir, puncak acara pada 17 Februari 2025.
Festival Jenang tahun ini menjadi pagelaran ke-14 sejak diadakan pertama kali pada 2012 silam dan diinisiasi oleh Yayasan Jenang Indonesia. Ketua Yayasan Jenang Indonesia, Tundjung Wahadi, menyebut kegiatan ini awalnya merupakan keinginan dari kawan-kawan pemerhati dan juga Pemerintah Kota Surakarta untuk menyelenggarakan festival yang belum pernah ada di mana saja.
“Kekayaan budaya kita salah satunya jenang, akhirnya muncul ide membuat Festival Jenang. Di Solo, di segala penjuru Solo mudah ditemui orang menjajakan jenang. Kemudian itu diangkat untuk supaya festival juga menjadi satu media pelestarian budaya,” kata Tundjung saat ditemui Tirto, Kamis (13/2/25).
Asal Mula Jenang sebagai Festival Khas Kota Solo
Saat ini, Festival Jenang Solo masuk ke dalam kalender event tahunan di Kota Solo. Pemilihan jenang dalam acara ini didasarkan pada tradisi Jawa yang selalu menghadirkan olahan makanan jenang dalam ritual-ritual slametan.
“Oleh karenanya, keberadaan Festival Jenang terasa sesuai dengan perayaan hari jadi Kota yang penuh dengan doa, harapan dan permohonan,” ujar Satmaka pada Tirto, Rabu (12/2/25). “Sebagai sebuah festival, acara ini juga dimaksudkan untuk melestarikan kuliner tradisional,” imbuhnya.
Tundjung juga menyebut alasan jenang selalu hadir dalam peringatan HUT Kota Solo tiap tanggal 17 Februari karena jenang merupakan simbol kehidupan. “Jenang akhirnya menjadi satu produk festival yang dimanifestasikan dalam kegiatan untuk memperingati hari jadi dengan harapan tetap hidup dalam kehidupannya sendiri,” ujar Tundjung.
“Dan bisa diharapkan fungsinya memayu hayuning buwono atau memperindah dunia dengan adanya jenang yang menjadi satu simbol menandai kehidupan,” lanjutnya.
Tundjung lantas menegaskan kembali terkait jenang sebagai simbol kehidupan dengan menyebut bahwa kata ‘jenang’ berasal dari kata serapan jannah yang berarti surga. Dia pun menceritakan bagaimana perpindahan dari Keraton Kartasura ke Surakarta ditandai dengan sesaji 17 macam jenang. Selain itu, jenang juga menjadi manifestasi atau simbol integrasi sosial.
“Akhirnya menjadi satu simbol tiap Festival Jenang selalu hadir 17 macam. Ada Jenang Sengkolo, Moncowarno, Saloka dan sebagainya yang memiliki orientasi pada kehidupan. Dengan adanya Festival Jenang Solo jadi satu perekat (masyarakat),” terang Tundjung.
Kerekatan antar elemen masyarakat dalam Festival Jenang diwujudkan melalui kolaborasi komunitas, ibu-ibu PKK, penjual jenang di Solo, hingga chef hotel untuk membuat dan berkreasi dengan kuliner jenang. Jadi, jenang yang dihadirkan dalam festival ini tidak hanya mencakup jenang klasik, namun juga terdapat jenang kreasi. Tak hanya itu, dalam Festival Jenang Solo tahun ini diramaikan dengan partisipasi teman-teman dari Bali dengan menghadirkan jenang khas Bali yakni Bubur Mengguh.
Akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, Insiwi Febriary Setiasih, juga mengatakan hal serupa. Jenang dapat dimaknai lebih dari sekedar makanan atau wisata kuliner. Hal ini karena jenang memiliki nilai filosofis yang berbeda dari budaya lain.
“Perlu dilihat sebagai tradisi masyarakat untuk nguri-uri (merawat) sesuatu yang memiliki daya tarik magis. Jenang tidak dibuat pada momen umum, tapi pada momen tertentu. Jenang tidak hanya makanan tapi juga memiliki nilai filosofis dan tradisi dengan makanan yang lainnya,” papar Insiwi, Kamis (13/2/25).
“Bagaimana mengkreasikan sesuatu yang biasanya menjadi makanan pokok, bisa jadi bentuk makanan yang lain. Ini bagian dari survival technology masyarakat di masa lalu,” imbuhnya.
Festival Jenang sebagai Edukasi
Festival Jenang Solo menjadi salah satu cara edukasi kepada anak-anak supaya mereka lebih mengenal dan memupuk rasa bangga terhadap produk budaya yang dimiliki, yakni jenang. Ini yang kemudian menjadi dasar penyelenggara Festival Jenang Solo mengajak anak-anak sekolah untuk berpartisipasi dalam event ini, khususnya dalam kegiatan Bladahan sebagai pre-event Festival Jenang Solo.
“Melalui edukasi untuk melestarikan pengetahuan tidak boleh hilang. Ada transform of knowledge dalam saluran pendidikan. Misal dengan Bladahan yang merupakan tradisi kuno Jawa di mana tiap keluarga yang mau ada hajat dan ia akan menerima tamu, maka mereka membuka sekat kayu di rumahnya yang bernama ‘bladah’, kemudian membersihkan rumah. Kami mengikuti spirit itu sebelum melaksanakan festival, berarti kita ikhlas menerima tamu. Kegiatan ini juga diikuti anak-anak. Harus ada transformasi sampai mereka bangga sejak dini bahwa mereka punya satu produk gastronomi atau sejarah budaya, dan bukan sekedar kuliner,” papar Tundjung.
Insiwi lantas menambahkan, cara lain untuk mempopulerkan makanan jenang selain dengan adanya bazar dan festival, adalah dengan mengajak para food vlogger untuk membuat konten mengenai jenang.
“Banyak food vlogger yang mulai review makanan tradisional. Ini juga bisa jadi cara mempopulerkan jenang. Kalau jenang, kan jarang yang me-review atau membuat video tentang jenang karena mungkin hanya keluar pada momen tertentu. Mungkin besok tanggal 17 Februari perlu publikasi yang luas, bukan hanya bagaimana jenang ditampilkan tapi bagaimana proses pembuatannya,” pungkas Insiwi.
Penulis: Adisti Daniella Maheswari
Editor: Rina Nurjanah