tirto.id - Kapal kargo curah berbendera Singapura MV Nord Tokyo berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, pada 28 Januari 2018. Kapal itu baru saja datang dari Australia.
Informasi MV Nord bersandar ini menyebar cepat dan menimbulkan kegaduhan di kalangan petani garam se-Jawa Timur. Di atas geladak kapal memuat 27.500 ton garam impor untuk PT Mitra Tunggal Swakarsa—selanjutnya disebut PT Mitra. Garam impor itu diperuntukkan industri, khususnya industri pengasinan ikan—izin yang dikantongi PT Mitra. Di atas kertas, semestinya tak mengganggu garam konsumsi yang selama ini dipasok para petani garam lokal.
Faktanya, di lapangan, ada indikasi kuat garam-garam impor industri merembes ke pasar umum. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 125 Tahun 2015 tentang ketentuan impor garam menyebut importir garam industri tak boleh memperdagangkan atau memindahtangankan ke pihak lain, tercantum pada pasal 10. Ini menegaskan garam industri tak boleh masuk pasar garam konsumsi untuk rumah tangga.
Pada 5 Februari 2018, beberapa asosiasi petani garam serta komisi B DPRD Provinsi Jawa Timur dan instansi lokal menyidak gudang PT Mitra di Kawasan Manyar, Gresik. Gudang ini tempat menampung garam impor Australia yang diangkut kapal MV Nord. Di lokasi yang sama juga ditemukan garam impor dari India.
Saat mendatangi lokasi, Ketua Komisi B DPRD Jatim, Achmad Firdaus, mengaku heran karena di gudang tak ada aktivitas orang yang bekerja sama sekali. Garam curah ini ditaruh begitu saja di tengah gudang. Di sekelilingnya berjejer garam-garam yang sudah dimasukkan dalam karung. Achmad kaget saat mengetahui di gudang itu ada garam petani lokal selain tumpukan garam impor
"Ada juga garam dari Pamekasan dan Sampang," katanya.
Kondisi itu, ditambah pengawasan yang minim, memunculkan kekhawatiran soal penyimpangan. Ada potensi PT Mitra mengklaim garam industri impor sebagai garam rakyat. Istilahnya ada "perembesan" garam industri impor ke pasar garam konsumsi produksi petani garam lokal.
Lia Widajatiningrum, Kepala Seksi Konservasi Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Timur, ikut dalam sidak tersebut.
Temuannya mengungkapkan ada hal janggal soal kadar NaCl (Natrium klorida) garam impor asal Australia dan India. Bila menginduk pada Permendag No 125 Tahun 2015, garam industri yang diimpor mestinya kadar NaCl-nya tak boleh kurang dari 97 persen.
"Hasil tes kami tidak seperti itu," kata Lia kepada Tirto, 6 April lalu.
Hasil tes: kadar NaCL garam impor Australia hanya 93 persen, sedangkan garam India hanya 91 persen. Angka ini lebih buruk ketimbang garam rakyat asal Pamekasan yang mencapai 94 persen.
Pertanyaan, kenapa izin bongkar muat garam impor PT Mitra bisa lolos padahal kadar garamnya tak sesuai ketentuan?
Kadisperindag Pemprov Jawa Timur M Ardi Prasetiawan membela diri atas pertanyaan itu. "Kami tidak cek terhadap kadarnya. Tetapi berdasarkan data yang diberikan oleh surveyor yang melakukan pengawasan itu. Dinas hanya melakukan cek terhadap volume sisa dan monitor penggunaannya," kata Ardi lewat pesan singkat, 12 April kemarin.
Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk beralasan bahwa kadar garam impor PT Mitra di bawah standar karena peruntukannya untuk pengasinan ikan. Pertanyaannya: jika kualitas garam impor masih kalah dari garam lokal, mengapa perlu repot-repot mendatangkan garam dari Australia dan India?
"Ya intinya stok barang petani di sini ada atau tidak?" kata Tony, diplomatis.
Kiprah PT Garindo
Kekhawatiran DPRD dan petani terhadap potensi kecurangan PT Mitra memang beralasan. Berkaca dari kasus-kasus sebelumnya, induk perusahaan ini, yaitu PT Garindo Sejahtera Abadi (PT Garindo), pernah tertangkap basah bermain culas. Tahun lalu, mereka ketahuan menimbun 116 ribu ton garam dari Australia di gudang mereka di kawasan Manyar, Gresik.
Garam milik PT Garindo sengaja ditimbun, sebanyak 83 ribu ton di antaranya sudah dikemas ulang dan siap dilempar sebagai garam dapur untuk konsumsi rumah tangga.
Agus Mulyono, pemilik dan pendiri PT Garindo, membantah anggapan itu. Ia enggan dituding sebagai bagian dari kartel garam.
"Ya enggaklah. Bagaimana mau disebut kontrol garam? Saya dapat cuma sedikit, kok. Unichem (PT. UnichemCandi Indonesia) itu yang besar. Tahun ini kami enggak dapat apa-apa." kata dia.
Agus ingin meluruskan soal anggapan kartel "tujuh samurai" garam yang sering dialamatkan kepada para importir garam. Ia menegaskan tudingan kartel itu keliru.
"Enggak mungkin, mana ada kartel? Kalau kartel tidak bersaing dan bersatu. Kalau ini bersaing sekali, sekarang ini bunuh-bunuhan," katanya.
Saat disodorkan siapa penguasa dan kompetitor terkuat industri garam, Agus enggan memapar rinci. "Saya ini sekarang kalau boleh dibilang pensiun. Sudah enggak ngurusin garam lagi. Tanya saja anak saya," tukasnya.
PT Garindo tercatat oleh BPOM sebagai salah satu produsen garam konsumsi beryodium. Bisnis garam memang cukup menggiurkan, apalagi pasokannya dari impor. Agus mengakui harga beli garam dari petani cukup mahal. Biayanya berkisar Rp2.700 per kg. Angka ini belum termasuk modal proses pengolahan dan pengemasan. Harga modal keseluruhan yang dilempar ke pasar bisa mencapai Rp4.000 per kg.
"Sedang kalau pakai impor jelas lebih murah. Kami bisa jual tiga ribu rupiah saja. Sebagai pengusaha, ya tentu kami cari untung. Cari impor pasti lebih murah. Coba ditelusuri kenapa petani kita jual mahal?" kata Agus, membela diri.
Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin menyatakan sikap Agus sebagai "sifat tamak dan egois" dari korporasi besar yang lebih mementingkan laba ketimbang memikirkan nasib petani garam.
Menurut Jakfar, para pengusaha biasanya merembeskan garam impor untuk industri menjadi garam konsumsi.
Modusnya, garam jatah industri diolah dan dikemas dalam kantong plastik berukuran seperempat kilogram, lalu didistribusikan untuk kebutuhan rumah tangga. Praktik ini tentu membuat perusahaan mereguk untung lebih banyak. Jakfar menyebut harga garam industri dari Australia atau India biasa dibeli Rp600-700 per kg.
"Itu sudah termasuk biaya distribusi dari luar negeri," katanya.
Ia mengklaim biaya pengemasan dan pengolahan garam impor ini tak sebesar seperti klaim Agus. "Besarannya paling Rp300-Rp350 per kg," katanya.
Menurutnya, harga bahan baku dan pengemasan garam impor hanya berkisar Rp1.200 per kg. Bila perusahaan menjual langsung garam untuk kebutuhan rumah tangga, keuntungannya bisa berlipat-lipat. Harga garam konsumsi saat ini berkisar Rp4.000 hingga Rp5.000 per kg.
"Dalam konteks kasus PT Mitra yang dapat jatah 70.000 ton saja, kalau semua itu dirembeskan, bisa dapat untung hingga Rp140 miliar. Itu pun jika margin keuntungan yang diambil hanya Rp2.000 (per kg), dan realisasi keuntungan pasti lebih dari itu," ucap Jakfar.
Modus Garam Industri Merembes ke Pasar
Untuk menyelami lebih dalam rembesan garam industri ke pasar garam konsumsi, kami bertemu seorang pemain bisnis garam yang biasa merembeskan garam industri ke pasar. Ia mengatakan garam industri yang akan dilepas ke pasar umum tak langsung dilepas oleh perusahaan besar.
"Biasanya garam dijual ke IKM atau industri pengolah garam kecil-kecil yang tersebar di Jatim, Jateng, dan Jabar dulu. Baru setelah itu dijual ke pasar," ucapnya.
Pola ini membuat tindakan kriminal perusahaan besar akan sulit terlacak. "Tentu saja jadi gampang cuci tangan," ujarnya.
Pengakuan soal rembesan garam industri impor ke pasar garam konsumsi tentu memunculkan kekhawatiran besar terhadap garam petani, apalagi izin impor yang diberikan untuk para importir garam tahun ini cukup besar.
Pada 16 Maret, sehari setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018, Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto memberikan rekomendasi impor garam kepada para importir. Di antaranya ke PT Sumatraco Langgeng Makmur, PT Susanti Mega, PT Saltindo Perkasa, PT Cheetam Garam Indonesia, PT Unichem Candi Indonesia, PT Niaga Garam Cemerlang, dan PT Pagarin Anugerah yang merupakan anak perusahaan PT Garindo.
Dari 676.000 ton rekomendasi impor garam tersebut, hampir 80 persen di antaranya atau 538 ribu ton diberikan pada tujuh perusahaan di atas. Pihak Kemenperin berjanji akan mengawasi bahwa kerembesan garam impor tak terjadi.
"Ya nanti kami akan mengawasi volume produksinya," kata Airlangga.
Namun, Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) enggan ambil pusing soal potensi rembesan garam industri impor. "Ya itu urusan polisi, tapi perusahaan ini kan memang tidak bermasalah. Kalau mereka melanggar aturan ya kenapa dari dulu tidak ditangkap?" kata Tony Tanduk.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Suhendra