tirto.id - “Yang paling ngerti soal garam industri di Indonesia adalah Menteri Perindustrian,” ujar Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, 19 Maret lalu.
Luhut melontarkan pernyataan ini setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan PP 9/2018 tentang impor garam. Beleid ini kembali mengebiri kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Sejak beleid ini resmi diundangkan pada 16 Maret 2018, kewenangan impor garam sebagai bahan baku kebutuhan industri beralih ke Kementerian Perindustrian. Kewenangan inilah menjadi pangkal kisruh pada Kabinet Kerja Joko Widodo. Selain kewenangan, kegaduhan itu bermula dari keluhan pelaku industri karena ketiadaan bahan baku garam industri.
Dalam surat bertanggal 8 Maret 2018, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) menyurati Susi Pudjiastuti agar Kementerian Kelautan dan Perikanan segera menerbitkan rekomendasi impor garam industri. Surat ini ditembuskan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat ini tertulis bahwa industri makanan mengklaim keteteran karena stok bahan baku garam mulai menipis.
“Intinya surat saya kepada Ibu Susi sangat membutuhkan garam, dan bahkan beberapa industri berhenti beroperasi,” klaim Adhi S. Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan & Minuman Indonesia, kepada Tirto, 27 Maret lalu.
Ketiadaan bahan baku garam untuk kebutuhan industri sudah dikeluhkan pada akhir tahun 2017.
Menurut Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, beberapa perusahaan terancam tak berproduksi karena ketiadaan bahan baku. Salah satu perusahaan yang berinvestasi triliunan rupiah bahkan mengancam akan merelokasi pabrik dari Indonesia jika pemerintah tak bisa menyediakan bahan baku garam.
“Industri kitakolaps kalau garam tidak cepat-cepat masuk,” ujar Musdhalifah kepada Tirto, 3 April lalu.
Alasan inilah yang membuat Kementerian Ekonomi di bawah Darmin Nasution mengambil alih rapat koordinasi antarkementerian untuk membereskan masalah kebutuhan garam. Tujuannya. pemerintah bisa mengimpor garam.
“Masih ada sekian perusahaan yang akan tutup kalau tidak segera mendapatkan alokasi impor garam,” dalih Musdhalifah.
Beda Angka Kebutuhan Garam
Tapi, sebelum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia melayangkan surat kepada Menteri Susi, pembahasan mengenai angka kebutuhan garam nasional sudah pernah digelar di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. Dalam rapat itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan memaparkan agar angka kebutuhan garam impor menyesuaikan data dari produksi garam dalam negeri.
Brahmantya Satyamurti Poerwadi, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, yang mewakili Menteri Susi memaparkan bahwa kebutuhan garam impor hanya 2,17 juta ton untuk tahun 2018. Ini berdasarkan hasil riset kerja sama dengan Badan Pusat Statistik, yang menaksir produksi petani garam sebanyak 1,5 juta ton dan stok tahun 2018 ada 340 ribu ton.
Namun, usulan KKP itu diabaikan. Menteri Darmin Nasution mengumumkan rencana pemerintah bakal mengimpor garam sebanyak 3,7 juta ton.
Dalam rapat kerja di depan Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat, 22 Januari, Menteri Susi mengatakan bahwa rekomendasi kementeriannya tak digubris. “Mereka tidak mengindahkan kami,” ujar Susi.
Melapor kepada Presiden buat Meretas Proteksi KKP
Demi mengakomodasi keluhan pelaku industri, Menteri Industri Airlangga Hertarto dan Menteri Ekonomi Darmin Nasution mengakalinya agar kebijakan impor garam bisa lepas dari rekomendasi Menteri Susi Pudjiastuti. Airlangga melaporkan hal ini kepada Presiden Joko Widodo.
Itu disambut Presiden Jokowi dengan meminta Menteri Sekretariat Negara menengahinya. Hasilnya, ada pertemuan di Kantor Sekretariat Kabinet, yang dipimpin oleh Satya Bhakti Parikesit, Deputi Bidang Kemaritiman. Dalam pertemuan bertanggal 13 Maret, ujar Satya, Setkab memanggil kementerian terkait untuk berdiskusi mengenai rencana mengimpor garam.
Tapi, sayangnya, pertemuan ini tak dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Rapat yang menurut Satya cuma "diskusi" itu menghasilkan perlunya langkah menyusun rancangan peraturan pemerintah mengimpor garam. Thus, sehari kemudian, 14 Maret, pertemuan buat membahas PP ini digelar di kantor Kementerian Perekonomian.
Sehari berikutnya, 15 Maret, PP No 19 tahun 2018 itu diteken oleh Presiden Jokowi.
Masalahnya, PP ini terbit tanpa mengindahkan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dan, karena itu, Menteri Susi disalahkan.
Kementerian Perdagangan berdalih bahwa mengimpor garam untuk kebutuhan industri bakal sulit dilakukan jika tanpa rekomendasi dari KKP. Begitupun Kementerian Perindustrian yang mengeluhkan dampak peralihan rekomendasi impor ke tangan KKP melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016.
Padahal, Kementerian Perindustrian memiliki amanat menjamin ketersediaan bahan baku untuk keberlangsungan produksi seperti tertuang dalam UU 3/2014 tentang perindustrian.
Menurut Satya, sebagai jalan tengah untuk mengatasi rencana impor garam, diusulkanlah rekomendasi peraturan pemerintah kepada Presiden Joko Widodo. Usulan itu, ia menjelaskan, tetap mengakomodasi kepentingan Kementerian Perindustrian (menjaga ketersediaan bahan baku industri) dan KKP (melindungi para petambak garam).
“Nah, solusi yang kami putuskan itu dengan PP,” kata Satya kepada Tirto, 2 April lalu.
Rapat itulah yang menjadi landasan perumusan rancangan peraturan pemerintah untuk mengimpor garam. Meski dalam PP ini kewenangan KKP menjaga produksi garam nasional tak berubah, tetapi berpotensi meretas upaya Menteri Susi memproteksi para petani garam dari serbuan garam impor.
Apalagi beleid ini mengatur tempat pemasukan, jenis, hingga waktu pemasukan, serta volume garam. Dan kewenangan itu dialihkan ke Kementerian Perindustrian. Otomatis, pengawasan KKP atas produksi dan volume garam diambil alih. Dan, lewat kebijakan baru impor garam ini, KKP sangat mungkin tak bisa mencegah potensi garam impor untuk industri merembes ke pasaran, yang akhirnya makin menyulitkan kehidupan dan kesejahteraan para petani lokal.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam