Menuju konten utama

Simsalabim! Kartel Garam Kembali Berjaya

Dari 21 perusahaan yang dapat jatah impor garam pada 2018, nama PT Mitra Tunggal Swakarasa memunculkan beberapa kejanggalan.

Simsalabim! Kartel Garam Kembali Berjaya
Pekerja menyortir garam beryodium di sebuah industri rumahan pengolahan garam beryodium di Desa Kedungmalang, Kedung, Jepara, Jawa Tengah, Selasa (16/1/2018). ANTARA FOTO/Aji Styawan

tirto.id - Ada rapat mendadak di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian Jalan Lapangan Banteng Timur pada Jumat, 16 Maret lalu. Beberapa pejabat eselon I dan II dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) turut hadir.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang didampingi Deputi Bidang Pangan dan Pertanian Musdhalifah Machmud saat memimpin rapat mengumumkan polemik soal impor garam telah berakhir. Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.

PP yang ditandatangani sehari sebelum rapat mendadak itu menjadi kunci untuk meloloskan impor garam yang selama ini harus melalui restu KKP karena mempertimbangkan dampak pada petani garam lokal. Darmin memastikan melalui PP itu pemenuhan impor garam industri tak lagi perlu rekomendasi KKP, cukup dengan rekomendasi Kemenperin, sebelum Kemendag mengeluarkan izin impor. Namun, terbitnya PP ini bukan berarti masalah garam impor selesai dan tanpa cela.

Beberapa bulan sebelum rapat itu atau tepatnya 4 Januari 2018, Kemendag sudah menerbitkan izin impor garam terhadap 21 perusahaan tanpa sepengetahuan KKP. Total alokasi impor itu mencapai 2,37 juta ton. Angka ini angka persis seperti muncul pada lampiran PP pasal 7 ayat a. Tentu saja, ada kejanggalan administrasi dalam proses impor garam tersebut.

Kejanggalan lain adalah munculnya nama perusahaan yang mendapatkan alokasi impor garam tetapi diragukan kebenarannya sehingga memunculkan tanda tanya. Ada nama PT Mitra Tunggal Swakarasa yang statusnya sebagai perusahaan pengasinan ikan. Pada dokumen Kemendag, perusahaan ini mendapatkan alokasi impor garam sebanyak 70.000 ton.

Pada rapat yang digelar di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian medio Maret lalu, muncul pertanyaan dari salah satu peserta soal status perusahaan ini. Apakah PT Mitra Tunggal Swakarasa tercatat sebagai perusahaan pengasinan ikan?

Dalam dokumen izin impor yang dirilis Kemendag pada 4 Januari 2018, memang PT Mitra Tunggal Swakarasa bergerak di industri pengasinan ikan. Namun, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan tak bisa menjawab rinci pertanyaan ini. Hanya kalimat singkat terlontar dari mulutnya.

"Kita akan cek," kata Nurwan.

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita tak mau banyak komentar terkait munculnya nama PT Mitra Tunggal Swakarsa yang mengundang pertanyaan. "Terserah, pokoknya saya mengeluarkan izin sesuai rekomendasi," kata Enggartiasto kepada Tirto, 28 Maret lalu.

Ia menegaskan soal kebenaran status perusahaan PT Mitra Tunggal Swakarasa sebagai pengasinan ikan bukan menjadi ranahnya sebagai orang yang memimpin kementerian teknis, yang mengeluarkan izin impor garam industri.

"Kenapa saya harus cek, nanti kami jadi panjang urusannya," ujar Enggartiasto.

Status Industri Pengasinan Ikan yang Janggal

Nama PT Mitra Tunggal Swakarasa tak hanya memunculkan pertanyaan soal kebenaran statusnya sebagai perusahaan pengasinan ikan. Perusahaan ini juga membuat kegaduhan bagi kalangan petani garam Pamekasan, Madura, Jawa Timur pada Januari 2018.

PT Mitra Tunggal Swakarasa beroperasi di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Catatan resmi Kemendag bahwa PT Mitra Tunggal Swakarasa bergerak di bidang pengasinan ikan, pada kenyataannya tak sesuai di lapangan. Berdasarkan catatan pemerintah daerah, perusahaan ini tidak memiliki gudang dan unit pengolahan pengasinan ikan. Pejabat di Kabupaten Pamekasan tak tahu menahu ihwal PT Mitra Tunggal Swakarasa bergerak di bidang industri pengasinan ikan.

"Di kami, mereka tidak terdaftar sebagai perusahaan pengelola ikan asin, tapi sebagai pengelola garam," kata Bambang Edy Suprapto, Kadisperindag Kabupaten Pamekasan, kepada Tirto, 6 April lalu.

Kami mendapatkan salinan dokumen tanda daftar perusahaan yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal Pamekasan. Isi dokumen juga menyebut jenis industri PT Mitra Tunggal Swakarasa hanya mencakup tiga hal: ekstraksi garam, pengolahan garam non-pangan, dan garam konsumsi. Tak ada soal kegiatan pengasinan ikan.

Saat dikonfirmasi oleh Tirto, Direktur PT Mitra Tunggal Swakarasa, Arya Sugieta Mulyono, menyebut perusahaannya memang tak bergerak di bidang pengasinan ikan secara langsung. "Bukan berarti kami memiliki pengasinan ikan. Bukan. Tapi, pengelolaan garam kami lakukan diolah untuk kepentingan pengasinan ikan," kata Arya, 12 April kemarin.

Menurut Arya, PT Mitra Tunggal Swakarasa bukanlah pengguna terakhir dari garam impor, tapi garam ini diolah oleh perusahaannya lalu didistribusikan kepada industri pengasinan ikan. Pernyataan Arya ini tentu bertolak belakang dari dokumen yang kami dapatkan.

Dalam surat persetujuan impor yang dikeluarkan Direktorat Perdagangan Luar Negeri Kemendag pada 4 Januari 2018, pada poin kedua tertulis: "Garam industri tersebut hanya dipergunakan untuk pengadaan kebutuhan PT Mitra Tunggal Swakarasa dan dilarang diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada pihak lain."

Saat proses permohonan surat bongkar muat kepada Disperindag Jawa Timur, PT Mitra Tunggal Swakarasa pun menyertakan surat lampiran yang isinya tak akan memperjualbelikan garam impor pada pihak lain.

Surat pernyataan bermaterai ini ditandatangani langsung oleh Direktur PT Mitra Tunggal Swakarasa, Rudi Sudjono. Pernyataan Arya yang bertolak belakang dari isi dokumen mengindikasikan ada pelanggaran oleh PT Mitra Tunggal Swakarasa.

Infografik HL Indepth Garam

Perusahaan Baru

Selain status bidang usaha, kemunculan PT Mitra Tunggal Swakarasa sebagai perusahaan yang dapat jatah impor garam juga dipertanyakan oleh Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI). Ketua APGRI, Jakfar Sodikin, menganggap penunjukan PT Mitra Tunggal Swakarasa sangat tidak lazim.

"Perusahaan ini baru banget, kok bisa mereka dapat jatah impor yang jumlahnya juga cukup besar? Sesuatu hal yang tak mungkin dilakukan oleh yang lain," kata Jakfar kepada Tirto.

Jakfar benar. Proses durasi dari pendirian perseroan hingga diberi jatah impor oleh Kemendag tak lebih dari 3 bulan 20 hari. Dari dokumen akta perusahaan, kami menemukan PT Mitra Tunggal Swakarasa disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 15 September 2017.

Pada 2 Oktober 2017, perusahaan ini mendapat Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dari Dinas Penanaman Modal Kabupaten Pamekasan, Madura. Berselang 21 hari kemudian, PT Mitra Tunggal Swakarasa mendapatkan Angka Pengenal Importir (API) dari Dinas Penanaman Modal Pemprov Jawa Timur. Pada 2 November 2017, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memberikan akses kepabeanan kepada PT Mitra Tunggal Swakarasa sebagai importir dan eksportir.

Kelengkapan dokumen ini membuat PT Mitra Tunggal Swakarasa jadi landasan mengajukan izin impor garam industri kepada Kemendag per 10 November 2017.

Permintaan kali pertama langsung disetujui oleh Kemendag lewat surat bertanggal 4 Januari 2018. Surat persetujuan ini ditandatangani oleh Sekretaris Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Marthin Simanungkalit. Tercantum surat izin impor juga ditembuskan pada beberapa instansi termasuk KKP dan Kemenperin.

Namun, KKP membantah pernah menerima surat tembusan izin PT Mitra Tunggal Swakarasa. "Saya belum pernah terima. Saya sudah cek ke sekretaris, enggak ada surat itu," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Brahmantya Satyamurti Poerwadi kepada Tirto, 12 April kemarin.

Brahmantya menegaskan sampai saat ini KKP tidak pernah dilibatkan dalam surat rekomendasi Kemendag yang keluar pada 4 Januari 2018. Pihak KKP tak tahu menahu soal surat rekomendasi impor garam, apalagi mengetahui secara rinci soal 21 perusahaan yang mendapatkan kuota impor.

Berbeda dari KKP, Kemenperin tahu soal izin rekomendasi ini. Namun, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono menyebut rekomendasi yang diketahuinya "hanya garis besar".

Info detail seperti izin pada PT Mitra Tunggal Swakarasa dilakukan oleh Kemendag tanpa melibatkan Kemenperin. "Kami hanya menentukan alokasi. Soal perusahaannya siapa saja, ada di Kementerian Perdagangan," ucapnya, dikutip dari Tempo.

Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin Muhammad Khayam, anak buah Achmad, membenarkan perkataan atasannya. "Ya jelaslah, enggak. Kami baru punya hak keluarkan rekomendasi setelah PP terbit," katanya kepada Tirto saat ditemui di Kantor Kemenperin, 5 April lalu.

Khayam berharap status PT Mitra Tunggal Swakarasa sebagai pendatang baru importir garam tak usah diributkan. "Kalau ada investasi baru, kenapa tidak? Asal memenuhi persyaratan sebagai industri."

"Dulu selalu bahwa garam ini dibilang ada tujuh samurai kartel penguasa garam. Nah, KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menghendaki semakin banyak pengolahan. Sekarang bagus, dong, ada PT Mitra Tunggal Swakarasa, malah kami mendorong ada perusahaan lain," dalih Khayam.

Kedok Baru Pemain Lama

Apakah PT Mitra Tunggal Swakarasa betul-betul pemain baru?

Pada kenyataannya, PT Mitra Tunggal Swakarasa hanyalah kamuflase pemain lama dengan wajah baru. Perusahaan di balik PT Mitra Tunggal Swakarasa adalah PT Garindo Sejahtera Abadi (PT Garindo)

Kantor dan pergudangan yang dijadikan domisili PT Mitra Tunggal Swakarasa di Jalan Raya Ambat, Pamekasan, adalah kantor milik PT Garindo.

"Kantor PT Mitra itu itu menumpang di kantor cabang Garindo di Pamekasan," kata Ketua APGRI, Jakfar.

Saat gaduh kedatangan garam impor milik PT Mitra Tunggal Swakarasa pada akhir Januari lalu, Jakfar sempat meminta asosiasi petani garam mendatangi lokasi gudang PT Mitra Tunggal Swakarasa.

"Kami tidak paham, tapi sepertinya memang ada kerja sama di antara mereka," ucap Kadisperindag Pamekasan Bambang, ketika disodorkan soal alamat PT Mitra Tunggal Swakarasa yang sama dengan PT Garindo.

Temuan sama didapat Komisi B DPRD Jawa Timur saat menggelar sidak ke gudang PT Mitra di kawasan Manyar, Gresik pada 5 Februari lalu. Nama alamat gudang ini muncul dalam dokumen bongkar muat garam impor yang diajukan PT Mitra Tunggal Swakarasa ke Pemprov Jawa Timur.

Dalam dokumen tercantum bahwa usai bongkar muat dari kapal MV Nord Tokyo pada 28 Januari, garam impor langsung didistribusikan ke kawasan Manyar.

"Di sana ada belasan gudang. Dan gudang ini memang milik PT Garindo. PT Mitra sendiri katanya sih cuma nyewa," kata Ketua Komisi B DPRD Jatim Achmad Firdaus Febrianto saat dihubungi Tirto via telepon, 6 April lalu.

Spekulasi PT Garindo yang menyaru lewat PT Mitra bukan sebatas rumor belaka. Ada relasi antara pemilik saham PT Mitra dan PT Garindo. Penelusuran dokumen membuktikan itu.

Bila ditilik komposisi saham PT Garindo, mayoritas 70 persen saham dipegang oleh Legieta Mulyono. Sedangkan sisanya, masing-masing 15 persen, milik Tjintera Djohan dan Sintera Djohan.

Pada PT Mitra, 40 persen saham dikuasai PT Mustika Adhi Perkasa. Di bawahnya ada Agus Mulyono dengan penguasaan 39 persen. Setelah itu Arya Sugieta Mulyono dengan 13 persen. Dan terakhir, Ana Lindawati Pramono, dengan komposisi 8 persen.

Enam nama yang disebut di atas memiliki ikatan darah. Legieta, Tjintera, Sintera dan Arya adalah anak kandung dari Agus Mulyono. Sementara Ana adalah istri Agus.

Sebelum PT Mitra Tunggal Swakarasa muncul, PT Garindo dikenal sebagai salah satu perusahaan importir garam terbesar di Indonesia. PT Garindo disebut-sebut masuk dalam tujuh kartel samurai garam. Samurai dalam bisnis garam merujuk kepada para distributor atau pedagang besar. Istilah ini muncul untuk menggambarkan penguasaan stok dan harga garam.

Kekuatan bisnis PT Garindo berkat Agus Mulyono. Pria kelahiran Malang, 30 September 1946, ini sudah berkecimpung puluhan tahun di industri pengolahan garam.

Namun, dalam tiga tahun terakhir, perusahaan yang dibesarkannya itu terseret beberapa kasus besar.

Pada 2015, misalnya, PT Garindo tertangkap basah melakukan suap kepada mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Partogi Pangaribuan. Sang direktur, yang juga anak Agus Mulyono, Tjintera Djohan sempat ditetapkan Polda Metro Jaya sebagai tersangka. Beruntung Tjintera bebas dan tak dijatuhi vonis penjara.

Menjelang bulan Ramadan tahun lalu, tepatnya 19 Mei 2017, Kapolda Jatim Irjen Pol Machfud Arifin didampingi Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Wagub Jatim Syaifulah Yusuf (Gus Ipul), Kasdam V Brawijaya Brigjen Agus Suhardi menggerebek gudang milik PT Garindo di Gresik. Pemerintah menyita 116 ribu ton garam impor asal Australia yang ditengarai sengaja ditimbun untuk dijual ke pasaran.

Menurut Jakfar, Agus memilih menanggalkan kedok PT Garindo karena sudah dicap sebagai kriminal dengan perseroan baru yang tak dikenal orang.

"Intinya hanya ganti baju saja, toh orang dibaliknya itu-itu juga," kata Jakfar.

Data akta perusahaan mencatat sejak 18 Februari, nama Agus Mulyono tidak muncul sebagai pemilik saham PT Garindo. Kepemilikan mayoritas yang ia punya diserahkan seluruhnya kepada Legieta, salah seorang anaknya.

Keberpihakan pemerintah pada pemain garam impor tak hanya dilakukan dengan menggelontorkan kuota impor pada PT Mitra Tunggal Swakarasa. Sehari setelah PP kebijakan impor garam ditandatangani Jokowi, Kemenperin langsung memberikan kuota tambahan pada Agus Mulyono lewat anak perusahaan PT Garindo lain bernama PT Pagarin Anugerah Cemerlang. Perusahaan ini mendapat jatah kuota impor 30 ribu ton garam industri untuk periode Januari-Desember 2018.

Saat menguliti pemilik saham PT Pagarin Anugerah Cemerlang, yang muncul adalah satu keluarga Agus. Komposisinya: Agus Mulyono dapat 25 persen, sisanya Ana, Legieta, Arya, Sintera dan Tjintera sama-sama kebagian 15 persen.

Tirto sempat mengkonfirmasi relasi PT Pagarin, PT Garindo, dan PT Mitra kepada Agus Mulyono secara langsung. Dari telepon, suara Agus terdengar parau. "Saya sedang sakit, sedang berobat di Singapura. Ada apa, ya?" katanya.

Ketika disodorkan pertanyaan, Agus langsung menampiknya. "Ketiga perusahaan ini tidak dikontrol saya sepenuhnya."

"Tapi perusahaan itu dikontrol oleh anak-anak Bapak?" tanya saya.

"Ah, enggak juga. Enggak semua. Terutama PT Mitra, itu bukan punya saya," katanya.

Pada akta PT Mitra Tunggal Swakarasa, pemilik saham terbesar memang PT Mustika Adhi Perkasa sebesar 40 persen dan Agus hanya 39 persen, tapi jika digabung dengan saham anaknya, Arya (13 persen), dan istrinya (8 persen), Agus tetap disebut pemilik mayoritas PT Mitra Tunggal Swakarasa.

Bantahan Agus ini diucapkan juga oleh sang anak, Arya. Ia membantah memiliki saham di PT Mitra Tunggal Swakarasa. "Enggak ada. Saya enggak ada di sana. Salah dokumen, mungkin," ucapnya.

Akta perusahaan yang kami miliki didapat secara legal dari Kemenkumham. Apalagi akta PT Mitra Tunggal Swakarasa ini kali terakhir diperbaharui pada 15 September 2017. Sampai diakses oleh Tirto pada 3 April lalu, belum ada perubahan komposisi direksi dan komisaris.

Pada 5 April lalu, Kemenperin mengajak importir garam menandatangani nota kesepahaman dengan petani garam di kantor Kemenperin, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta. Arya hadir pada acara ini. Manariknya, ia mengklaim hadir di sana mewakili PT Garindo, bukan PT Mitra.

"Kalau PT Mitra ada orangnya sendiri. Saya wakili PT Garindo," katanya.

Di PT Garindo, Arya tak memiliki saham. Sedangkan di PT Mitra Tunggal Swakarasa, ia punya 13 persen saham dan menjabat sebagai komisaris. Kenapa ia lebih memilih menyatakan diri sebagai wakil dari PT Garindo ketimbang PT Mitra?

"Enggak. Saya dari Garindo," katanya.

Namun, Arya dan Agus Mulyono tak menampik saat disodorkan relasi PT Pagarin dan PT Garindo. "Itu memang satu grup kami. Pagarin difokuskan untuk memenuhi kebutuhan garam industri untuk pengeboran minyak," kata Arya.

"Perusahaannya masih aktif, tapi beroperasi sendiri-sendiri," ucap Agus Mulyono saat dihubungi terpisah.

Soal jatah impor pada PT Garindo yang diberikan via PT Pagarin, Agus membantahnya. "Mana? Enggak ada." Ia minta Tirto memeriksanya lagi.

Landasan pemberian kuota pada PT Pagarin Anugerah Cemerlang terlampir dalam surat Menteri Perindustrian No. 183/M-IDN/3/2018. Surat ini ditandatangani Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada 16 Maret.

Seluruh izin kuota impor didapat PT Garindo dan anak perusahaannya sudah diketahui oleh Kemenperin. Hal ini dibenarkan Airlangga. "Semuanya lewat Kemenperin," kata dia kepada Tirto, 9 April lalu.

Ketika disinggung soal PT Mitra, ia bertanya balik: "Kenapa tertarik dengan PT Mitra tunggal?" Nada Airlangga meninggi.

Airlangga tak mempermasalahkan saat disodorkan informasi bahwa pemilik tiga perusahaan yang mendapatkan jatah impor garam adalah pihak yang sama.

"Kalau PT-nya (satu pemilik), ya enggak ada masalah. PT Indofood punya berapa PT? Mereka ditangkap (polisi) enggak?" ujarnya, diplomatis.

Baca juga artikel terkait IMPOR GARAM atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan & Arbi Sumandoyo
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Suhendra