tirto.id - Fadel Muhammad dan Mari Elka Pangestu bergandengan tangan usai keluar dari lift. Senyum pun tersungging dari keduanya pada Rabu sore, awal September 2011 silam. Hatta Rajasa nampak ikut dalam suasana "cair" di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta enam tahun lalu.
Seolah tak pernah ada persoalan yang berkecamuk antara Fadel yang menjabat menteri kelautan dan perikanan (KKP) dan Mari sebagai menteri perdagangan (mendag) waktu itu. Padahal sebelumnya keduanya sempat ribut gara-gara beda pendapat soal impor garam.
Kegaduhan kebijakan impor garam memang bukan drama baru di internal pemerintah. Berselang empat tahun setelah pemerintahan berganti, kejadian mirip-mirip juga sempat terjadi, kali ini antara Susi Pudjiastuti dengan Rachmat Gobel yang masing-masing sebagai menteri KKP dan mendag. Persoalannya masih sama, berselisih paham soal impor garam di awal pemerintahan Presiden Jokowi.
Garam memang isu yang sensitif untuk Indonesia sebagai negara maritim di bawah pemerintahan yang mengglorifikasi tak mau memunggungi lautan. Di samping menyangkut hajat hidup orang banyak dan nasib para petani.
Drama impor garam kembali terjadi, saat Susi Pudjiastuti yang sempat memegang kendali sebagai "penjaga gawang" impor garam harus merelakan kewenangan rekomendasi impor yang berpindah tangan kepada rekan satu kabinet Menteri Perindustrian (menperin) Airlangga Hartarto.
“Jadi, pemerintah mengimpor garam untuk kebutuhan bahan baku industri-industri. Sedangkan untuk garam konsumsi, masih akan dipenuhi oleh industri garam nasional.”
Pernyataan Airlangga menjadi penegas bahwa kewenangan rekomendasi impor garam industri kembali berpindah ke kementerian perindustrian. Sebelumnya kewenangan ini dipegang oleh kementerian kelautan dan perikanan (KKP) di bawah Susi Pudjiastuti.
Pengalihan kewenangan ini atas restu Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri yang diteken Jokowi pada 15 Maret 2018. Proses penerbitan PP ini di bawah tanggung jawab Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang membawahi kementerian perindustrian.
“Rekomendasi impor garam industri, kewenangan di Kementerian Perindustrian,” ujar Darmin pada Jumat (16/3/2018).
Alasan pemerintah mengalihkan kewenangan rekomendasi impor ini agar industri besar yang membutuhkan garam industri tidak mati. Sejak awal 2018, di internal pemerintah ada masalah selisih angka antara KKP dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian terkait kuota impor garam. KKP menilai impor garam 2018 hanya 2,1 juta ton, sedangkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang membawahi Kemenperin punya hitungan lain, sehingga keluar rekomendasi impor sampai 3,7 juta ton garam industri untuk kebutuhan 2018.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi menyebutkan angka 2,1 juta ton itu muncul dari perhitungan yang berbasis pada neraca garam 2016-2018. Kebutuhan garam secara total (konsumsi dan industri) di 2018 diperkirakan mencapai 3,9 juta ton.
Rincian versi KKP, kebutuhan garam bisa dipenuhi dari perkiraan produksi sebesar 1,5 juta ton dan sisa stok 340 ribu ton, sehingga masih ada kekurangan pasokan sebesar 2,13 juta ton sebagai garam industri sebagian garam rumah tangga. Kuota impor garam untuk rumah tangga sebesar 313 ribu, oleh PT Garam, dan sekitar 1,8 juta ton garam industri yang diimpor oleh para industri besar.
“Sehingga rekomendasi KKP yang dikeluarkan untuk garam bahan baku industri pada Januari 2018 adalah 1,8 juta ton,” kata Brahmantya kepada Tirto.
Impor garam industri setiap tahun memang terus bertambah, pada 2014 misalnya kuota impor garam industri mencapai 2,26 juta ton dengan nilai US$ 104,35 juta (kurs:Rp13.700) atau sekitar Rp1,4 triliun. Tahun ini tentunya nilai impor akan semakin membesar semakin bertambahnya alokasi impor.
“Karena industrinya kan bertambah terus. Dengan demikian kebutuhan garam industrinya pun bertambah,” kata
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar.
Jalan Panjang di Ladang Garam Impor
Permasalahan impor garam memang sudah menjadi polemik jauh sebelum pemerintahan Jokowi. Persoalan klasik seperti produktivitas dan kualitas masih jadi momok yang menghinggapi para petani garam. Tuntutan industri besar yang menghendaki garam khusus untuk kebutuhan industri menjadi alibi akan kebutuhan dan kebijakan impor garam industri.
Proses impor garam pun beberapa kali mengalami perubahan, termasuk kementerian/lembaga yang bertanggung jawab. Bongkar pasang kewenangan dalam pemberian rekomendasi izin impor garam bukan cerita baru.
Pusat Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat setidaknya sejak 1990 impor garam telah terjadi dalam jumlah terbatas dalam rentang 300 ribu sampai 900 ribu ton sampai 1998. Namun, sejak 1999 impor garam hampir menembus 2 juta ton. Satu-satunya lembaga yang punya kewenangan mengatur impor adalah departemen perindustrian dan perdagangan. Impor garam diatur antara lain dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang Yang Diatur tata Niaga impor.
“Ini bukan isu baru. Tapi yang jadi masalah adalah bagaimana kita jadi kecanduan impor ketimbang memperbaiki tata kelola pergaraman,” ujar Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati kepada Tirto.
Pemerintahan silih berganti, peraturan soal impor garam dipoles sana sini dengan segala revisi yang pada intinya masih dalam rezim impor. Pada 2004 terbit aturan yang mengatur khusus tentang impor garam melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 360 Tahun 2004 tentang Ketentuan Impor Garam, dan beberapa aturan teknis lainnya. Sampai di sini, kewenangan impor garam masih di bawah departemen perindustrian dan perdagangan.
Namun, setelah ada kebijakan pemisahan nomenklatur lembaga pemerintah di bawah Presiden SBY, departemen perdagangan dan perindustrian menjadi entitas berbeda sejak 2004. Kebijakan soal impor garam juga mengalami perubahan setahun setelahnya, pada 2005 terbit Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2005 tentang Ketentuan Impor Garam. Permendag ini mengatur bahwa rekomendasi impor garam diterbitkan oleh Direktur Jenderal Agro dan Kimia (Direktur Jenderal Agrokim) Departemen Perindustrian. Sedangkan departemen perdagangan yang mengeluarkan izin impor.
Ketentuan tentang impor garam mengalami revisi dengan hadirnya Permendag Nomor 58 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Garam. Namun, tiga tahun setelahnya, Permendag itu mengalami sejumlah perubahan signifikan dengan terbitnya Permendag Nomor 125 Tahun 2015 tentang ketentuan impor garam jenis konsumsi dan industri. Rekomendasi impor garam dari dapartemen/kementerian perindustrian jadi tidak diperlukan.
Sebagai gantinya, rencana kebutuhan garam untuk industri cukup ditentukan dan disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian/lembaga terkait. Aturan tersebut tak lain sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Permendag Nomor 125. Sedangkan KKP punya kewenangan memberikan rekomendasi hanya untuk garam konsumsi yang tercantum pada pasal 12.
Namun, setelah adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam diterbitkan pada 14 April 2016. Sejak itu, KKP memiliki kewenangan penuh memberikan rekomendasi terkait impor semua jenis garam, konsumsi maupun industri.
KKP mengeluarkan turunan atas UU Nomor 7 Tahun 2016 tersebut. Melalui Pasal 9 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 66 Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor Komoditas Pergaraman, KKP kembali menegaskan soal rekomendasi impor garam disampaikan kepada menteri perdagangan untuk seterusnya mengeluarkan izin impor. UU ini semangatnya untuk melindungi petani garam.
Sayangnya, UU ini hanya sebatas payung hukum, kenyataannya impor garam semakin membesar di 2016 dan 2017. Di internal ada persoalan fenomena la nina yang terjadi sejak 2016 sehingga mempengaruhi produksi garam di dalam negeri. Namun, tahun ini persoalan garam kembali mencuat soal perbedaan angka kuota impor antara KKP dengan kemenko perekonomian yang membawahi kementerian perindustrian.
Pihak kementerian perindustrian selalu menegaskan garam industri yang diimpor dengan garam konsumsi yang diproduksi lokal berbeda spesifikasinya. Ketergantungan ini yang menjadi persoalan, sehingga saat ada upaya pengurangan kuota impor 2018 oleh KKP sebagai pemegang rekomendasi impor, menuai respons industri seperti Gabungan Industri Makanan dan Minuman (Gapmmi) yang awal Maret melayangkan surat KKP ihwal kekosongan stok garam industri makanan dan minuman.
Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk menyebutkan industri besar sudah sangat memerlukan bahan baku garam. Menurut Tony, stok bahan baku garam untuk industri makanan dan minuman saat ini tidak sampai 100 ribu ton dan hanya cukup antara 2-3 minggu ke depan.
“Jadi memang garam yang diimpor itu untuk bahan baku industri. Kalau bahan bakunya tidak ada, tentu industri tidak berproduksi,” kata Tony kepada Tirto.
Alarm dari Gapmmi ini tentu membuat pemerintah memikir ulang soal risiko-risiko bagi ekonomi terutama stabilitas harga jelang Puasa dan Lebaran. Belum lagi soal aspek kepastian investasi yang menjadi konsen pemerintahan Jokowi. Namun, pada akhirnya ada fokus lain yang terabaikan soal janji dan ambisi swasembada garam yang terus meleset. Pemerintah sempat bertekad agar Indonesia dapat menjadi negara swasembada garam pada 2020 dengan menggunakan teknologi industri garam.
“Saat ini kita masih impor garam dari luar, padahal kita Negara Maritim dengan laut yang luas. Oleh karena itu, Pak Presiden memerintahkan supaya kita swasembada pada 2020,” kata Menko Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan pada Oktober tahun lalu.
Keputusan Jokowi mengeluarkan PP No 9 tahun 2018 membuktikan rezim impor garam masih berlanjut saat mimpi mencapai swasembada di tengah keputusan pragmatis.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Suhendra