Menuju konten utama

Di Balik Gurihnya Garam, Ada Polemik Impor & Kontaminasi Plastik

Indonesia masih mengimpor lebih dari setengah kebutuhan garam dalam negeri.

Di Balik Gurihnya Garam, Ada Polemik Impor & Kontaminasi Plastik
Header Insider Masalah Pelik Pergaraman. tirto.id/Tino

tirto.id - Garam merupakan bumbu dasar penting dan harus selalu tersedia di dapur. Jika takaran garam tidak sesuai, maka masakan akan terasa hambar. Bahkan, para pejuang diet sehat sulit melepaskan diri dari bumbu satu ini.

Uniknya, Indonesia, yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, belum mampu menyandang statusnya sebagai negara produsen garam terbesar. Sampai saat ini, produksi dalam negeri masih rendah dan belum mampu mengakomodasi kebutuhan domestik, sehingga impor menjadi pilihan setiap tahunnya.

Hampir dalam satu dekade terakhir, nilai impor garam Ibu Pertiwi terus mencatatkan tren kenaikan. Dari hanya 88,71 juta dolar AS di tahun 2013 menjadi 124,42 juta dolar AS pada penghujung 2022. Merujuk Statista, Indonesia bahkan menjadi 10 negara teratas pengimpor garam di dunia.

Tidak ingin terus-menerus impor, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional. Peraturan yang ditetapkan Oktober 2022 lalu itu, ditujukan untuk mendorong percepatan pembangunan pergaraman dalam rangka pemenuhan kebutuhan garam domestik.

Dalam peraturan ini, Jokowi menegaskan bahwa kebutuhan garam nasional tersebut harus dipenuhi dari garam produksi dalam negeri oleh petambak garam dan badan usaha paling lambat tahun 2024.

Namun, kebutuhan garam untuk industri kimia (chlor alkali) masih diperbolehkan impor. Hal ini mengingat industri tersebut membutuhkan kandungan natrium klorida (NaCl) yang sangat tinggi, yakni di atas 98,5 persen.

Sayangnya, belum terlihat langkah signifikan untuk mewujudkan target Jokowi tersebut. Hal ini dikarenakan produksi garam lokal belum mampu memenuhi standar industri pengolahan yang notabenenya memiliki porsi kebutuhan yang jauh lebih besar. Saat ini, para petambak garam harus berpuas hati memasok garam konsumsi domestik.

“Jadi seluruhnya masih impor karena mereka butuh spesifikasi khusus untuk menjaga daya saing karena mereka ekspor," ujar Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), Cucu Sutara, kepada Tirto.

Akar Masalah

Kecenderungan akan impor garam selama ini bukan tanpa alasan. Pusat kajian anggaran DPR RI, mengungkapkan rendahnya produksi dan kualitas garam lokal masih menjadi persoalan utama yang perlu diperbaiki. Selain itu, wilayah tambak garam juga masih berfokus di wilayah Jawa dan Madura.

Jika berkaca pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), total produksi garam (rakyat, BUMN, dan perusahan swasta) hanya sebesar 2,5 juta ton di 2023. Walaupun meningkat dari target 1,7 juta ton pada tahun lalu, namun produksi tersebut belum mampu menutupi bahkan setengah kebutuhan nasional yang mencapai sekitar 4,46 juta ton.

Sedangkan dari sisi kualitas, garam lokal belum dapat memenuhi persyaratan untuk beberapa sektor industri seperti Chlor Alkali Plant (CAP), farmasi dan kosmetik, pengeboran minyak, dan aneka pangan.

Hal ini disebabkan garam hasil produksi lokal memiliki kandungan NaCl yang cukup rendah, yakni hanya 88-94 persen. Sementara, untuk kebutuhan industri, kandungan NaCl setidaknya harus 97 persen. Alhasil, garam rakyat yang diolah secara tradisional, perlu diproses kembali sebelum dijadikan garam konsumsi maupun industri.

Selain kendala kandungan NaCl, intervensi teknologi pada produksi garam dalam negeri juga masih minim. Saat ini, teknologi yang digunakan masih sangat sederhana, yakni teknologi evaporasi.

Pada teknologi evaporasi, produksi garam masih sangat bergantung pada cuaca dan sinar matahari. Di sisi lain, Ibu Pertiwi juga masih menggunakan kincir angin serta pengeruk kayu yang membatasi kapasitas produksi.

Kemudian, teknologi yang belum lama ini berkembang, seperti geomembran telah membantu mempersingkat proses produksi dari 3 minggu menjadi 2 minggu. Lalu, penggunaan teknologi ini dalam ruang tertutup berhasil mengatasi keterbatas produksi saat musim hujan.

Alhasil, produksi garam meningkat dengan kualitas yang lebih baik, di mana kandungan NaCl sekitaran 90-99 persen.

Harus diakui memang, pemanfaatan teknologi modern dalam produksi garam Indonesia membutuhkan biaya besar. Untuk itu, pemerintah mendorong investasi di bidang pergaraman agar produksi nasional meningkat. Hal ini pula yang menjadi amanah Perpres Nomor 126/2022.

Perlu diketahui, garam merupakan salah satu satu dari 21 komoditas terpilih dalam peta jalan investasi hilirisasi strategis 2023-2035.

Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn), Moeldoko, mengatakan saat ini sudah ada beberapa perusahaan dari negara lain yang tertarik untuk berinvestasi di bidang pergaraman. Salah satunya Salt & Hemp, perusahaan asal Korea Selatan yang bergerak di bidang produksi garam industri.

Perusahaan yang berpusat di provinsi Gyeongsang Selatan itu menyatakan tertarik untuk berinvestasi di bidang pergaraman di Indonesia. Bahkan mereka juga menyatakan siap untuk bekerjasama dengan masyarakat dan mengintegrasikan produksinya dengan kantong-kantong produksi garam rakyat.

Kim Yong Deok, Chairman Salt & Hemp menawarkan proses produksi garam dengan menggunakan teknologi nano filter, yakni menyedot air laut menggunakan pompa. Air laut tersebut kemudian dialirkan melalui membrane nano filter yang memiliki pori-pori berukuran sangat kecil.

Dengan teknologi tersebut, waktu yang digunakan untuk memporduksi garam menjadi hanya dalam hitungan jam tanpa terpengaruh faktor cuaca. Kim mengeklaim perusahaannya bisa memproduksi garam sebanyak 5,5 ton per hari dengan waktu produksi hanya satu jam dan lahan seluas 1.650 meter persegi.

Di sisi lain, pemerintah juga sedang berupaya melakukan ekstensifikasi lahan garam di daerah Indonesia Timur, seperti Teluk Kupang, Malaka, Sumbawa, dan Timor Tengah Selatan. Lalu, juga terdapat investasi untuk pembangunan lahan garam industri di NTT seluas 2.444 hektare.

Perluasan lahan garam tersebut, diharapkan dapat meningkatkan produksi dan memperluas jalur distribusi garam di Tanah Air.

Garam Terkontaminasi Plastik

Meskipun demikian, terdapat satu masalah pelik lainnya yang belum terpecahkan, yakni kontaminasi. Studi yang dilakukan Syamsu dan rekan berjudul Global Journal of Environment Science and Management menemukan sampel garam lokal mengandung mikroplastik.

Mikroplastik adalah partikel plastik berukuran kurang dari 5 milimeter yang mampu memasuki sel dalam tubuh manusia dan memberikan dampak negatif pada kesehatan.

Menurut jurnal yang diterbitkan National Library of Medicine pada Mei 2023, menyebutkan mikro dan nanoplastik mampu stres dan kerusakan fisik, apoptosis, nekrosis, peradangan, stres oksidatif, dan respons imun.

Lebih lanjut, sampel garam dari penelitian Syamsu dan rekan berasal dari Kota Padang dan Jambi, di mana partikel mikroplastik lebih banyak ditemukan pada garam kasar dibandingkan garam halus. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa air laut yang digunakan sebagai bahan baku garam di wilayah itu telah tercemar mikroplastik.

Kontaminasi mikroplastik pada garam dapat disebabkan oleh air laut yang terkontaminasi sebagai bahan baku pembuatan garam produksi, serta garam yang tidak memadai dan tidak higienis fasilitas produksi. Yang paling sering terdeteksi bentuk mikroplastik berupa fragmen (67,49 persen), disusul berdasarkan serat (23,82 persen), film (6,08 persen), dan pelet (2,61 persen).

Studi tersebut memperkirakan setiap orang dewasa di Indonesia terpapar 60.225 - 571.225 partikel mikroplastik/tahun dengan mengonsumsi garam 5 gram per hari. Atau 120,45 - 1142,45 partikel/tahun dengan mengkonsumsi 10 gram garam/hari.

Indonesia masuk dalam daftar 10 negara terbesar untuk produsen dan penyumbang sampah plastik laut di dunia. Chartered Institution of Water and Environmental Management (CWEM) menyebutkan Ibu Pertiwi berada di urutan ketiga dibawa India dan China.

Terlebih lagi, sebuah studi menyatakan bahwa teknologi produksi garam yang saat ini umum digunakan di Tanah Air, belum mampu menghilangkan kontaminasi plastik sepenuhnya. Teknologi yang ada hanya mampu meminimalisir.

Ini berarti solusi atas permasalah kontaminasi mikroplastik pada garam adalah mengurangi atau bahkan menghilangkan sampah-sampah plastik yang tersebar di lautan. Bahkan, juga harus menghindari pembakaran sampah plastik di ruang terbuka. Pasalnya partikel mikroplastik dapat menyebar lewat udara.

Pemerintah Indonesia sejatinya telah berkomitmen mencegah kebocoran pembuangan sampah ke laut dengan membentuk Rencana Aksi Nasional Penanganan Sampah Laut (RAN PSL) tahun 2018-2025. Arahan-arahan strategis tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 83 Tahun 2018.

Tidak hanya itu, demi mengurangi konsumsi plastik, Kementerian Keuangan juga berencana mengenakan cukai pada produk-produk plastik. Rentang cukai bervarisi tergantung tipe plastik, yakni dari Rp10 per cup hingga Rp30.000 per kg kemasan makanan styrofoam.

Sayangnya, ekstensifikasi cukai yang telah direncakan sejak 2022 silam masih belum terlaksana karena tersandung oleh berbagai konflik kepentingan. Cukai ini tentu akan menambah biaya operasional pabrik plastik, industri pengolahan makanan, restoran hingga lapisan masyarakat kelas bawah, yakni pedagang kaki lima.

Meskipun begitu, pemerintah tetap akan bersikap tegas dan berniat memberlakukan aturan cukai plastik pada tahun 2024.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas