tirto.id - Terbitnya PP 9/2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman Sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri menuai banyak kejanggalan. Resmi diundangkan pada 16 Maret 2018, draf beleid itu hanya diteken oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Ekonomi Darmin Nasution.
Sehari setelah dibahas di Kantor Kementerian Ekonomi, Presiden Joko Widodo menandatangani draf PP tersebut. Namun, sebelum PP ini terbit, Kementerian Perdagangan telah merilis impor 2,37 juta ton garam. Angka ini tertulis dalam PP tersebut.
Ini kali pertama sebuah peraturan pemerintah mencantumkan angka impor. Belakangan, PP ini dijawab Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Ia berkata tak dilibatkan dalam pembahasan PP tersebut. PP ini juga mengalihkan wewenang Susi terkait impor garam industri kepada Airlangga.
Airlangga menyanggah jawaban Susi. “Namanya draf Rancangan Peraturan Pemeritah (RPP) itu lintas-kementerian,” ujarnya kepada Tirto di kantornya, 10 April lalu. “Sama seperti pembentukan undang-undang di DPR, tidak mungkin satu fraksi saja yang tanda tangan."
Berikut petikan wawancara Airlangga Hartarto, yang juga ketua umum Golkar, mengenai polemik impor garam kepada Arbi Sumandoyo, Jay Akbar, dan Aqwam Fiazmi Hanifan.
Ada silang pendapat mengenai angka kebutuhan garam. Berapa sebetulnya angka kebutuhan versi Kemenperin?
Kebutuhan sekitar 3,7 juta ton. Persoalannya bukan pada kebutuhan, tapi berapa produksi nasional bisa dikembangkan. Jadi, pada 2016 sekitar 290 ribu ton, sedangkan potensinya 1,5 juta ton. Pada 2017 hampir mendekati 1 juta ton. Tentu yang perlu dilihat adalah berapa kebutuhan yang dipakai industri. Memang ada perbedaan antara garam yang dihasilkan petani dan kebutuhan industri.
Ada perbedaan waktu antara petani dan kebutuhan industri itu sepanjang tahun. Sejak 15 tahun lalu, kebutuhan garam industri dari garam impor. Garam domestik, yang dihasilkan oleh pabrik, terutama untuk konsumsi. Tentu yang diberi yodium adalah garam yang diproduksi oleh masyarakat, oleh petani garam.
Di Indonesia, produksi garam petani itu terbatas karena keterbatasan wilayah dan pengaruh cuaca. Tidak seluruh wilayah Indonesia bisa memproduksi garam.
Angka 3,7 juta ton garam ini angka kebutuhan atau angka impor?
Itu angka kebutuhan dan tentu kita akan melihat sejauh mana produksi nasional bisa terbentuk.
Sejak kapan industri mulai gelisah soal ketiadaan bahan baku, dan akhirnya muncul PP 9/2018 ini?
Sudah dalam periode tiga tahun terakhir ini menjadi persoalan. Kebutuhan-kebutuhan ini terkait investasi, terkait lapangan pekerjaan, terkait ekspor. Bagi industri, ketersediaan bahan baku adalah hal mutlak.
Apakah ada rapat kementerian sebelum merilis PP 9 Tahun 2018?
Sudah ada rapat.
[Catatan redaksi: Pembahasan draf PP dilakukan dua kali: pertama di kantor Sekretariat Kabinet pada 13 Maret; kedua di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 14 Maret.]
Menteri Susi Pudjiastututi mengatakan di depan Komisi IV DPR bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak dilibatkan?
Hadir juga. Kalau hadir berarti dilibatkan.
Maksud Anda, ada KKP terkait PP 9/2018?
Fisiknya hadir, dan ikut menandatangani presensi.
Tapi dalam draf PP tersebut hanya Anda dan Menko Darmin Nasution yang meneken?
Kalau drafnya lintas-kementerian.
Jadi semua tandatangan?
Namanya Rancangan Peraturan Pemerintah lintas-kementerian.
Mengenai alokasi impor garam, angkanya menuai sorotan oleh sejumlah kalangan termasuk DPR?
Petani garam tanda tangan dengan industri dan ada 100 petani sudah menandatangani dengan 10 industri. Jadi, sebenarnya kebutuhan mereka sudah terserap oleh industri.
Impor garam ini berbarengan panen petani garam?
"Kalau panen petani bulan apa sekarang? tanya Airlangga.
“Dalam pemberitaan dimulai pertengahan tahun sampai bulan kesembilan,” jawab saya.
"Kalau industri mulai dari bulan apa?" tanya Airlangga, lagi
“Pada awal tahun biasanya sudah mulai,” jawab saya lagi
"Kalau bulan Januari, apakah seluruh tenaga kerjanya disuruh libur sampai menunggu bulan Juni?" jawab Airlangga, diplomatis.
Jadi tidak berbarengan dengan kehadiran garam impor dan panen petani garam?
Saya tanya, "Kalau sampai bulan Juni, pabrik tidak berproduksi, bagaimana?"
Bulan Februari, petani garam di Pamekasan, Madura, mengeluh bahwa garam mereka tak terserap?
Ini bukan persoalan Pamekasan.
Tapi petani sempat mengatakan mereka memiliki stok garam?
Kalau ada stok garam pasti sudah diserap industri.
Jadi stok garam sebenarnya tidak ada?
Kalau ada stok, pasti diserap.
Dalam PP 9/2018, tertulis angka yang jumlahnya sama seperti impor garam yang sudah dilakukan Kemendag pada 4 Januari. Apakah Kemenperin mengetahui?
Itu sudah dibahas juga. Itu yang 2,3 juta ton itu sudah dibahas.
Jadi PP bisa dibilang melegalkan impor yang sudah dilakukan pada 4 Januari oleh Kemendag?
Itu hal yang sudah dibahas dan sudah dilaksanakan.
Menteri Susi pada 28 Januari lalu mengeluarkan rekomendasi impor garam, apakah kuotanya sama dari izin impor yang dikeluarkan Kemendag pada 4 Januari?
Itu bagian dari 3,7 juta ton.
Apakah peruntukannya sama bagi perusahaan-perusahaan yang tertera dalam izin impor garam Kemendag?
Kalau Ibu Susi tidak memberikan langsung kepada perusahaan-perusahaan. Semua pintu impor ada di perdagangan.
Soal impor garam sebesar 2,3 juta ton oleh Kemendag, apakah Kemenperin mengetahui?
Semua tahu. Kemenperin tahu. KKP tahu.
Karena sudah dibahas dalam rapat?
Wajarnya begitu. Karena sudah dibahas dalam rapat, pihak terkait tahu semua.
Apakah Kemenperin mengetahui nama-nama perusahaan penerima kuota impor?
Namanya perusahaan, Kementerian Perindustrian yang memiliki kapasitas masing-masing.
Tanggal 16 Maret, Anda mengeluarkan surat rekomendasi penerima kuota impor garam. Ada satu perusahaan (PT Pagarin) yang pemiliknya sama dengan PT Mitra Tunggal Swakarsa yang sudah mendapat kuota impor garam pada 4 Januari oleh Kemendag?
Saya tidak hapal.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam