tirto.id - Data kembali menjadi masalah. Awal Januari, Kementerian Pertanian (Kementan) berseteru dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait polemik impor beras. Menurut Kemendag, Indonesia membutuhkan impor beras karena stok yang tersedia di gudang Bulog hanya 950 ribu ton. Sedangkan, Kementan menyatakan produksi beras terus tumbuh karena sepanjang 2017, ada kenaikan luas panen sebanyak 350.000 hektare.
Perseteruan kembali terjadi, kali ini masalah impor garam. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang melindungi produsen lokal, dalam hal ini petani dan PT Garam, dengan Kementerian Perindustrian yang menjadi pelindung untuk pebisnis yang menggunakan garam sebagai bahan dasarnya. KKP merekomendasikan impor garam sebesar 2,1 juta ton. Namun, Kemenperin melalui Kemenko Perekonomian, menyatakan membutuhkan impor garam sebesar 3,7 juta ton untuk kebutuhan industri.
Angka mana yang harus dipercaya? Siapa yang harusnya bertanggung jawab untuk memutuskan impor garam? Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, dalam pasal 37 ayat, Pemerintah Pusat lah yang berhak mengendalikan impor komoditas perikanan dan pergaraman.
Pemerintah Pusat disini, berdasarkan pasal 1 ayat 32 adalah Presiden yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Diterangkan kembali dalam pasal 37 ayat 3, bahwa untuk melakukan impor, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Kembali merujuk ke pasal 1 ayat 34, bahwa rekomendasi ini berasal dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan Perikanan.
Dengan kata lain, jika Kemenperin atau kementerian manapun yang berencana untuk impor garam, maka harus mendapatkan rekomendasi dari KKP. Dengan tanggung jawab yang besar sebagai pelaksana UU, KKP pun secara berkala menerbitkan Neraca Garam Nasional. Berdasarkan data tersebut, pada 2015, kebutuhan garam nasional sebesar 3,75 juta ton. Jumlah ini meningkat sebesar 6,16 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 3,53 juta ton.
Kebutuhan terbesar pun terlihat berasal dari garam industri. Pada 2016, sebesar 65,25 persen kebutuhan garam nasional atau setara dengan 2,45 juta ton berasal dari permintaan industri. Sedangkan, untuk konsumsi, kebutuhannya hanya 1,30 juta ton.
Dalam hal produksi, sejak 2010, jumlahnya meningkat tajam. Tercatat, pada 2010, produksi nasional hanya 30.600 ton dan meningkat 3.537,6 persen pada 2011 menjadi 1,11 juta ton. Pada 2015, Indonesia bahkan mampu memproduksi 2,84 juta ton atau meningkat 29,86 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Garam rakyat adalah produsen terbesar. Pada 2015, produksi dari lini mengambil porsi 87,85 persen atau sebesar 2,50 juta ton. Sisanya, diproduksi oleh PT Garam, yaitu sebesar 345 ribu ton. Polemik impor muncul dari perbedaan data mengenai kebutuhan garam oleh industri. Berdasarkan data KKP, pada 2015, kebutuhan garam untuk industri sebesar 2,45 juta ton.
Kebutuhan ini dihitung dari empat industri, pertama farmasi yang membutuhkan NaCL minimal 99,8 persen sebanyak 2.418 ton. Kedua, industri kimia dengan NaCL minimal 96 persen sebanyak 1,80 juta ton, industri aneka pangan dengan NaCL minimal 97 persen sebanyak 509,6 ribu ton. Serta, industri perminyakan, penyamakan kulit, pakan ternak/ikan, water treatment, es batu dan lainnya dengan NaCL minimal 85 persen, membutuhkan 140.000 ton.
Sayangnya, untuk kebutuhan garam industri 2018, hingga saat ini, KKP belum memberikan rincian penggunaannya. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan pihaknya telah menghitung perkiraan produksi dan kebutuhan garam industri.
Berdasarkan perhitungannya, angka 2,1 juta ton itu muncul karena mempertimbangkan kebutuhan garam secara total di tahun ini yang mencapai 3,9 juta ton, perkiraan produksi sebesar 1,5 juta ton, dan stok sisa sebanyak 340 ribu ton. Sedangkan, menurut perhitungan Kemenperin, kebutuhan garam industri pada 2018 sebesar 3,8 juta ton dengan rincian penyaluran pada industri Chlor Alkali Plant (CAP) yang akan memenuhi permintaan industri kertas dan petrokimia sebesar 2,49 juta ton. Untuk industri farmasi dan kosmetik sebesar 6.846 ton, industri aneka pangan sebesar 535 ribu ton. Sisanya, sebesar 740 ribu ton akan disalurkan untuk industri pengasinan ikan, penyamakan kulit, pakan ternak, tekstil dan resin, pengeboran minyak serta sabun dan detergen.
Permasalahan beda data memang bukan hal baru di Indonesia. Tak sulit untuk menemukan perbedaan angka dari instansi pemerintah yang berkepentingan. Seperti kasus impor garam ini. Melihat data tersebut, baik KKP maupun Kemenperin sebenarnya memiliki sudut pandangan yang berbeda dalam berhitung. Dari sisi KKP, perhitungannya selain didasari oleh informasi industri, juga mempertimbangkan perkiraan produksi dan stok sisa.
Sedangkan, dari Kemenperin, perhitungannya hanya berdasarkan estimasi kebutuhan industri. Maka wajar jika kedua kementerian ini tidak akan memiliki titik temu dalam mengagregasi kebutuhan nasional. Di sisi lain, yang terpenting dalam polemik impor garam adalah rincian produksi nasional. Baik KKP maupun Kemenperin tidak ada yang memberikan informasi jelas mengenai produksi garam berdasarkan kandungan NaCL.
Masyarakat hanya diberikan data umum mengenai jumlah produksi garam, tetapi tidak ada rinciannya. Mungkin, sebelum sampai ke pertanyaan berapa ton yang dibutuhkan untuk impor garam, pemerintah berpikir untuk memperbaiki penyajian data neraca garam. Selain itu, menyamakan persepsi dan asumsi dalam perhitungan pun harus dilakukan. Karena, baik KKP maupun Kemenperin seharusnya memiliki satu tujuan, yaitu pemenuhan permintaan dalam negeri sehingga garam tak menjadi barang langka di negara ini.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti